Sebagaimana telah dimaklumi bersama, NU merupakan جمعيّة دينيّة
إجتماعيّة (organisasi keagamaan yang bersifat sosial). Sebagai
organisasi keagamaan Islam, tugas utama NU adalah menjaga, membentengi,
mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman أهل
السّنّة والجماعة di bumi nusantara pada khususnya dan di seluruh bumi
Allah pada umumnya.
Tugas ini tidaklah sederhana, di tengah-tengah era keterbukaan yang
memberi peluang masuknya aliran-aliran dan kelompok-kelompok keagamaan
yang cenderung memanfaatkan kebebasan untuk mencaci maki dan
menyesat-nyesatkan (تضليل), bahkan menkafir-kafirkan (تكفير) terhadap
pihak lain yang berbeda pemahaman keagamaan dengan dirinya. Padahal
seharusnyalah era keterbukaan dan kebebasan membuat setiap kelompok
semakin memantapkan sikap toleran (تسامح) dalam menyikapi perbedaan.
Alangkah dalamnya makna ungkapan Al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dalam kaitan ini:
مذهبنا صواب يحتمل الخطأ, و مذهب غيرنا خطأ يحتمل الصواب
(Pendapat saya benar namun mungkin memuat kesalahan, pendapat orang lain salah namun mungkin juga ada benarnya: Red)
Menghadapi kenyataan yang tidak menggembirakan tersebut, menjadi
tugas PBNU untuk menggerakkan secara optimal perangkat organisasi yang
terkait dengan fungsi menjaga, mengembangkan dan melestarikan ajaran
Islam ASWAJA, seperti mendorong optimalisasi peran dan kinerja Lembaga
Dakwah NU (LDNU), Lembaga Takmir Masjid NU (LTMNU) dan Lajnatut-Ta’lif
wan-Nasyr NU (LTNNU). Dengan pendekatan حكمة dan موعظة حسنة dapat
dipelihara kelangsungan ajaran ASWAJA, tanpa harus terlibat dalam
tindakan-tindakan anarkhis yang sangat merugikan citra paham ASWAJA
sebagai representasi ajaran Islam رحمة للعالمين.
Sebagai
organisasi sosial (جمعيّة إجتماعيّة), NU harus mencurahkan perhatiannya
secara serius pada bidang sosial, seperti ekonomi, kesehatan,
pendidikan, pertanian dan lain-lain yang menjadi problem kehidupan
sehari-hari warga, masyarakat dan bangsa.
Hal ini perlu diingatkan, menjelang tahun 2014 yang merupakan tahun
politik bangsa kita, karena dikhawatirkan tidak sedikit pengurus NU di
berbagai tingkatan yang memperlakukan NU seakan-akan sebagai sebuah
partai politik (حِزْبٌ سِيَاسِيٌّ), yang bergerak pada tataran politik
praktis alias politik kekuasaan.
Politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (low
politics/سياسة سافلة) adalah porsi partai politik dan warga negara,
termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga,
harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik
diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (high politics/سياسة عالية
سامية ), yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik.
Politik
kebangsaan berarti NU harus إستقامة dan proaktif mempertahankan NKRI
sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan
antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang
hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari
perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.
Etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya
pada khususnya, dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar
berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak
menghalalkan segala cara.
Dengan menjaga NU untuk bergerak pada
tataran politik tingkat tinggi inilah, jalinan persaudaraan di
lingkungan warga NU (أخوّة نهضيّة) dapat terpelihara.
Sebaliknya,manakala NU secara kelembagaan telah diseret ke pusaran
politik praktis, أخوّة نهضيّة akan tercabik-cabik, karenanya نعوذ بالله
من ذلك !
Oleh karena itu, sinyalemen adanya Rais Syuriyah dan Ketua
Tanfidziyah di beberapa daerah yang dicalegkan dan lain sebagainya,
wajib mendapatkan respons yang sungguh-sungguh dari Rapat Pleno ini,
sesuai dengan ketentuan AD/ART tentang larangan rangkap jabatan.
Kiranya inilah pesan dan arahan yang perlu kami sampaikan.
DR. KH. M. A. SAHAL MAHFUDH
Rais ‘Aam PBNU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar