Pertanyaan
Ustadz, benarkah negara kita negara
kafir (meskipun warganya masyoritas muslim)karena tidak menggunakan hukum
islam? Sebagaimana orang katakan, kalau benar negara kita kafir mengapa yang
mengatakan negara Ind
onesia
kafir masih hidup di Indonesia dan makan minum produk orang kafir juga?
Mohon penjelasan, karena saya bingung dengan ilmu saya yang sedikit untuk memahaminya.
Mohon penjelasan, karena saya bingung dengan ilmu saya yang sedikit untuk memahaminya.
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Apakah Indonesia ini negara kafir
atau bukan, sebenarnya merupakan perdebatan panjang yang tidak ada habisnya.
Mengapa demikian?
Sebab sejak menetapkan kriteria
negara Islam, para ulama sudah berbeda pendapat. Apakah suatu negeri pantas
disebut sebagai negara Islam atau tidak, rupanya tidak ada batasan yang
disepakati bersama.
Setidaknya kalau kita lihat
perbedaan kriteria negara Islam dan contoh-contohnya di dunia ini, kita bisa
membaginya menjadi empat macam kriteria :
1. Berpenduduk Mayoritas Muslim
Sebagian berpendapat bahwa apabila suatu
negeri dihuni oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam, otomatis pantas
disebut dengan negara Islam. Bahwa di negeri itu diterapkan hukum syariat atau
tidak, dalam arti hukum hudud dan jinayat, itu lain urusan.
Kalau batasannya seperti ini, maka kita
bisa menyebut bahwa Indonesia termasuk negara Islam. Bahkan posisinya nomor
satu, karena Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Jumlahnya mencapai 200 juta lebih. Tidak ada di dunia ini negara yang punya
penduduk muslim sampai 200 juta.
Menurut estimasi tepatnya berjumlah
202.867.000 jiwa, 88,2% dari seluruh penduduk negeri ini, atau 12,9% dari
populasi muslim dunia. Itu berarti dari seluruh umat Islam di permukaan planet
bumi, 1/8 dari mereka adalah bangsa Indonesia. Seandainya seluruh penduduk di
negeri Arab sana memutuskan untuk melebur negara mereka menjadi satu negara,
belum tentu jumlah penduduknya akan menyamai penduduk muslim di Indonesia.
Di belakang Indonesia ada India.
Walaupun persentase penduduk muslimnya hanya 13,4 %, tapi jumlahnya
ketiga terbesar dunia, yaitu 160.945.000 jiwa, atau 10,3% dari jumlah Muslim
dunia. Seandainya muslim India tidak memisahkan diri menjadi negara tersendiri,
yaitu Pakistan, seharusnya India dan Pakistan berpenduduk muslim kurang lebih
33 juta jiwa, menjadi penduduk muslim terbesar di dunia.
Urutan berikutnya adalah Bangladesh,
Mesir, Nigeria, Iran, Turki dan seterusnya. Arab Saudi sendiri malah tidak
masuk hitungan, kalau kriterianya seperti ini.
2. Negeri Dengan Syiar Islam Yang
Dzhahir
Sebagian lagi berpendapat bahwa
batas suatu negara dikatakan Islam adalah apabila syiar-syiar Islam berjalan
secara lahiriyah. Syiar-syiar itu misalnya adanya shalat berjamaah,
berkumandangnya adzan dan iqamah, dikenakannya jilbab oleh para wanita, berjalannya
syariat zakat, haji, puasa Ramadhan, shalat Jumat dan seterusnya. Bahkan bisa
saja negara itu punya asesori atau lambang-lambang keislaman secara resmi.
Kalau batasannya seperti ini, maka
yang termasuk di dalamnya antara lain Somalia, Libya dan juga Indonesia.
a. Somalia
Republik Somalia di Afrika. Negara
itu punya motto yang unik, yaitu lafadz Laa Ilaah Illallah Muhammad
Rasulullah. Ini bukan moto ormas atau pengajian, melainkan moto sebuah
negara secara resmi yang nyaris hampir semua penduduknya muslim.
b. Libya
Selain itu kita juga mengenal Libya
yang asalnya bagian dari khilafah Turki Utsmani, lalu dicaplok oleh tentara
Italia dan kemudian memerdekakan diri. Yang menarik, ternyata judul lagu
kebangsaan resmi Libya adalah : Allahu Akbar.
c. Indonesia
Para founding father negara
Indonesia di dalam pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945,
menyebutkan bahwa kemerdekaan negara Indonesia adalah berkat rahmat Allah
Negara Yang Berdasarkan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan
Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya.
Meski pun tujuh kata pada sila
pertama dari Piagam Jakarta ini kemudian dihapus atas ultimatum kalangan non
muslim di wilayah bagian timur, namun mengalahnya para founding father pada 18
Agustus 1945 lebih karena menjaga keutuhan integritas bangsa yang nyaris
terkoyak.
Tetapi yang menjadi pertanyaan besar
adalah : apakah sebuah negara bisa disebut sebagai negara Islam, hanya dengan
mencantumkan hal-hal yang berbau keislaman, baik dalam moto, lagu kebangsaan
atau pun juga dalam pembukaan UUD-nya?
3. Menyatakan Secara Formal
Berlakunya Hukum Islam
Sebagian lagi berpendapat bahwa
batasan hukum Islam itu adalah apabila di suatu negeri menyatakan berlakunya
hukum Islam secara formal. Kalau kriterianya seperti ini, maka di dunia ini
cuma ada dua negara Islam, yaitu Kerajaan Saudi Arabia dan Malaysia.
a. Kerajaan Saudi Arabia.
Bentuk negara ini adalah monarki
mutlak Islam, hukum-hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Bahkan negara ini memberlakukan
hukum jinayat dalam arti sesungguhnya, seperti merajam pezina, memotong tangan
pencuri, mencambuk peminum khamar dan juga menjalankan hukum qishash dalam
urusan pembunuhan atau melukai orang lain.
Tentang bagaimana penerapannya,
tentu akan ada banyak versi penilaian yang berbeda. Tetapi setidaknya, Saudi
Arabia secara tegas menyebutkan bahwa negara mereka menerapkan hukum Islam.
b. Malaysia
Negara tetangga kita, Malaysia,
ternyata diam-diam mencantumkan Islam sebagai hukum resmi yang berlaku. Tetapi
istilah diam-diam rasanya kurang tepat, mungkin yang lebih tepat, tanpa kita
sadari. Sebab memang secara resmi negara itu menetapkan bahwa hukum yang
berlaku adalah hukum Islam.
Tetapi bagaimana aplikasi dan
penerapannya, tentu akan ada banyak versi penilaian. Tetapi kalau dibandingkan
dengan Indonesia, jelas berbeda.
4. Negara Dengan Nama Resmi Negara
Islam
Versi yang keempat dari batasan
negara Islam adalah apabila negara itu mencantumkan kata Islam dalam nama resmi
negara. Memang banyak negara di dunia ini yang secara formal telah mengklaim
diri sebagai negara Islam, baik kata ‘Islam’ itu dijadikan bagian dari nama
resmi negara itu, atau pun hanya disebutkan sebagai hukum yang resmi berlaku.
Di antaranya adalah Iran,
Afghanistan, Pakistan dan Brunai Darussalam.
a. Republik Islam Iran
Negara itu secara resmi
menambahkan kata ‘Islam’ di dalam nama resmi negara itu. Dalam bahasa Inggris,
nama negara itu adalah Islamic Republic of Iran.
b. Republik Islam Pakistan
Negara lain yang secara resmi
menyebut diri sebagai negara Islam adalah Pakistan. Nama resmi negara hasil
pecahan dari India yang merdeka pada tahun 1947 itu adalah Republik Islam
Pakistan.
Berdirinya Republik Islam Pakistan
tidak lepas dari peran seorang pengacara muslim Muhammad Ali Jinnah. Pada
awalnya, berdirinya Pakistan merupakan problem tersendiri, terutama dalam
mencari alasan atau raison d’etre Pakistan merdeka. Apakah the
founding fathers Pakistan bermaksud mendirikan Negara Islam atau tengah
berupaya membangun tanah air bagi orang Islam? Lebih dari itu, apakah
kekhawatiran sebagai warga minoritas di India yang mayoritas Hindu dapat
dijadikan alasan berdirinya Pakistan merdeka.
Berbagai teori telah dimunculkan
tentang alasan-alasan pokok berdirinya Pakistan sebagai sebuah negara dengan identitas
Islam.
c. Afghanistan
Sepeninggal Uni Sovyet, bangsa
Afghanistan memproklamirkan diri dan menyatakan kemerdekaan mereka, serta
menamai negara mereka dengan nama resmi Republik Islam Afghanistan.
d. Brunai Darussalam
Sedangkan tetangga kita, Negara
Brunei Darussalam, meski tidak mencantumkan kata ‘Islam” sebagai nama resmi,
namun kata ‘darussalam’ di dalam istilah fiqih tidak lain bermakna
negara Islam, sebagai lawan dari istilah darul-kufri (negara kafir).
Yang menjadi pertanyaan, apakah
sebuah negara sudah bisa dianggap sebagai negara Islam, hanya dengan
menambahkan embel-embel kata Islam di dalam nama resmi negara itu?
Perdebatan Belum Selesai
Kalau pun Indonesia mau dibilang
negara kafir, karena tidak menerapkan syariat Islam, maka yang pertama kali
harus dikatakan negara kafir justru negara Madinah Al-Munawwarah di masa
Rasulullah SAW.
Lho kok begitu?
Ya, karena Madinah di masa
Rasulullah SAW tidak sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Saat itu selain
hukum Islam, juga berlaku hukum yahudi dan juga hukum-hukum lainnya. Bahkan
penduduk Madinah saat itu juga bukan sepenuhnya muslim. Sebagian ada yang
yahudi, ada yang penyembah berhala, bahkan ada juga yang memeluk agama majusi
dan agama-agama lainnya.
Hukum syariat hanya diberlakukan
buat sebagian masyarakat saja, yaitu umat Islam. Sedangkan buat pemeluk agama
lain, yang diberlakukan adalah hukum-hukum yang sesuai dengan agama mereka. Dan
saat itu Rasulullah SAW sendiri yang bertindak sebagai kepala negara. Beliau
SAW malah menjamin agar penduduk Yahudi Madinah untuk berhukum dengan hukum
Taurat.
Jadi kalau ukuran sebuah negara
dikatakan sebagai negara Islam adalah pada masalah hukum apa yang berlaku, maka
sebenarnya Madinah malah bukan termasuk negara Islam. Karena hukum yang berlaku
bukan hanya hukum Islam. Dan penduduknya juga banyak yang bukan beragama Islam.
Sebagian Hukum Syariat Berlaku di
Indonesia
Sebenarnya agak kurang tepat kalau
dikatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia sepenuhnya bukan syariat
Islam. Beberapa hukum syariat sebenarnya sudah berlaku di negeri kita.
Bahkan kita punya Pengadilan Agama, dimana hukum yang dipakai adalah hukum
syariat.
Memang Indonesia tidak menerapkan
hukum hudud, qishash dan jinayat. Benar bahwa kita tidak menemukan adanya hukum
potong tangan buat pencuri, juga tidak ada hukum rajam dan cambuk buat pezina,
juga tidak ada hukum cambuk 40 atau 80 kali buat peminum khamar.
Tetapi kalau tiba-tiba dikatakan
bahwa Indonesia adalah negara kafir, tentu tidak terlalu tepat. Sebab nyatanya
bangsa Indonesia masih menerapkan begitu banyak hukum Islam. Apalagi bila kita
memahami hukum syariat bukan hanya sebatas hudud dan jinayat saja.
Bukankah menikah, talak, rujuk,
hukum waris, bahkan shalat berjamaah, puasa, zakat, haji dan jilbab itu juga
bagian dari syariat Islam? Bukankah semua itu masih ada dan masih eksis di
negeri kita? Lalu apakah hanya gara-gara kita tidak menerapkan hukum hudud dan
jinayat, lantas kita berhak memberi predikat kepada Indonesia sebagai negara
kafir?
Yang agak sedikit mendekati
kebenaran adalah bahwa negara kita ini adalah negara Islam, namun belum atau
tidak sepenuhnya menerapkan detail hukum hudud dan jinayat. Sementara dilihat
dari sisi komposisi penduduk, Indonesia justru merupakan negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia.
Mengapa Tidak Semua Hukum Syariat
Berjalan?
Yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah kenapa tidak seluruh detail hukum syariat berlaku di Indonesia? Kenapa
hukum Islam hanya dijalankan sepotong-sepotong? Apa yang menjadi penyebab? Dan
apa tugas kita sekarang ini untuk bisa mengembalikan tegaknya syariat Islam?
1. Penyebab
Ada dua macam penyebab, kenapa
syariat Islam tidak sepenuhnya berlaku di negeri kita.
a. Penyebab Pertama : Penjajahan
Sejak pertama kali masuk ke
nusantara, ajaran Islam sudah dijalankan oleh anak-anak negeri. Perlahan tapi
pasti, kemudian Islam bukan hanya sekedar menjadi ritual ibadah, tetapi kurang
lebih 5 abad kemudian atau tepatnya pada abad 13 menjadi pemerintahan
Islam, alias negara Islam 100%.
Sriwijaya, Demak bahkan Kerajaan
Jawa Mataram Islam adalah contoh yang bisa dengan mudah kita sebutkan, sebagai
negara secara resmi menerapkan hukum hudud, seperti potong tangan, rajam dan
sebagainya. Maka negara Islam itu berlangsung selama beberapa abad.
Sehingga kemudian datanglah para
penjajah Kristen dari Eropa. Maka sejak lebih dari 400 tahun yang lalu
merupakan negara yang dijajah oleh banyak negara. Khususnya ketika Belanda
menjajah selama 350 tahun, nyaris hampir seluruh sekolah dan kurikulum
pendidikan didirikan oleh Belanda. Isi kurikulumnya jelas-jelas mengajarkan
hukum Belanda dan membuang jauh-jauh pelajaran dan mata kuliah hukum Islam.
Parahnya, ketika Belanda sudah
pulang kampung dan bangsa ini mendapatkan kemerdekaannya, sekolah dan perguruan
tinggi tetap saja mengajarkan hukum Belanda. Hukum Islam hanya diajarkan di
madrasah dan pesantren, yang juga tidak diminati oleh para santrinya sendiri.
b. Penyebab Kedua : Kebodohan
(jahil)
Penyebab kedua diakibatkan dari
penyebab pertama, yaitu karena hukum Islam tidak diajarkan, maka lahirnya
berlapis-lapis generasi yang agamanya masih Islam, masih suka shalat ke masjid,
suka puasa, suka haji, bahkan bolak balik ke tanah suci tiap tahun. Tetapi
mereka buta dengan ilmu tentang hukum Islam.
Kenapa buta?
Karena mereka tidak pernah
mendapatkan akses untuk belajar hukum Islam. Sekolah dan kampus tidak
mengajarkan, padahal sekolah dan kampus itu milik umat Islam. Lebih parah lagi,
majelis taklim dan pengajian pun juga tidak pernah mengajarkan. Apalagi media
massa, jelas sama sekali tidak.
Akibatnya, kalau sampai lahir
generasi Islam yang anti hukum Islam, bahkan sampai membenci, alergi, antipati,
padahal lahir dari keluarga muslim yang dijuluki 'muslim taat', kita sudah tahu
sumber masalahnya.
Tanpa mengecilkan peran dan
kedudukan mereka, kita ragu-ragu apakah ratusan ribu jamaah haji Indonesia yang
tiap tahun beribadah ke tanah suci, mereka mengerti dengan hukum Islam?
Pertanyaan bukan mengecilkan peran dan posisi mereka, tetapi sebagai sebuah
bahan renungan saja.
Apakah beratus ribu mahasiswa Universitas
Islam Negeri, yang kampusnya tersebar di berbagai pelosok republik ini,
mengerti dengan detail syariat dan hukum Islam?
Apakah para ustadz, kiyai,
penceramah, da'i sejuta umat, yang punya nama besar dan kesohor itu,
mengajarkan hukum syariah kepada jamaah mereka, di dalam majelis taklim dan
pengajian mereka? Lebih jauh lagi, apa kita yakin bahwa para tokoh itu juga
pernah belajar ilmu syariah dan hukum Islam?
2. Tugas Kita
Kalau kita sudah tahu duduk
persoalannya, maka yang perlu kita pikirkan sekarang bukan meributkan apakah
Indonesia ini negara Islam atau bukan. Bukan waktunya lagi memperdebatkan hal
itu.
Juga bukan saatnya lagi kita hanya
meributkan formalitas hukum Islam di tingkat legilatif, agar secara formal dan
dipermukaan kita bisa disebut negara yang menerapkan hukum Islam. Perjuangan
untuk menegakkan syariat Islam bukan di level formalitas, sebab berapa banyak
negara yang secara formalnya jelas-jelas menyebut negara mereka sebagai negara
Islam, atau bersimbol Islam, atau bernama resmi Islam, tetapi rakyatnya tetap
saja tidak menerapkan hukum Islam.
Kenapa?
Karena ternyata sumber masalahnya
belum dibereskan. Apa sumber masalahnya?
Sumber masalahnya adalah kejahilan
umat ini atas hukum syariat mereka sendiri. Al-Islamu mahjubun bil muslimin,
cahaya Islam itu tertutupi oleh kabut gelap kebodohan umat Islam sendiri.
Jadi mari kita langsung pada praktek
saja, yaitu mari kita populerkan dan ajarkan Ilmu Syariah. Caranya tentu dengan
belajar ilmu syariah terlebih dahulu, baik di pengajian, di rumah, di panggung
ceramah, termasuk juga di dalam kurikulum sekolah dan kampus. Tetapi bukan
dengan meributkan kurikulumnya, nanti akan jadi proyek lagi.
Yang termudah untuk bisa kita
lakukan adalah dengan mendidik para guru di sekolah dan para dosen di kampus-kampus,
agar mereka melek dan mengerti syariah Islam. Meski bidang studi mereka
berbeda-beda, asalkan gurunya paham dan mengerti ilmu syariah, serta
mempraktekkannya dalam kehidupan nyata, pasti murid-muridnya akan mengikuti.
Polisi dan tentara, asalkan beragama
Islam, tentu wajib atas mereka belajar ilmu syariah. Politisi dan para
menteri, asalkan muslim, tentu merupakan fardhu 'ain untuk belajar syariah.
Sopir angkot, taksi, metromini dan Kopaja, juga wajib belajar ilmu syariah.
Bahkan 4,7 juta PNS yang banyak menghabiskan uang negara untuk gajian bulanan
itu, seharusnya wajib belajar ilmu tentang syariat Islam.
Jangan lupa, televisi, radio, koran,
majalah, tabloid dan buku, seharusnya juga digunakan untuk memasyarakatkan ilmu
syariah. Termasuk juga internet dengan website dan jejaring sosial, seharusnya
dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mengajarkan detail-detail syariah.
Pendeknya, akses publik terhadap
ilmu syariah harus dibuka selebar-lebarnya, jangan sampai ilmu syariah itu
hanya terlipat di balik kitab tebal para ulama saja. Dimana kitab itu teronggok
berdebu di perpustakaan yang tidak pernah dikunjungi orang.
Tugas yang berat berikutnya adalah
menyiapkan generasi baru yang nantinya mereka melek Syariah.
Wallahua'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah
Fiqih Indonesia