A.
PENDAHULUAN
Seiring dengan cepatnya akselerasi
wacana ekonomi Islam atau Syariah di tengah – tengah masyarakat, fiqh muamalah
menjadi bahan diskusi terus menerus. Persoalan yang selalu mengemuka adalah
apakah fiqh muamalah persoalan hukum ataukah persoalan ekonomi. Apa lagi
didalam istilah “muamalah” tersebut memang terkandung dua sisi, ekonomi dan
hukum. Dari sisi bahwa, di dalam muamalah di bahas tentang berbagai macam
tehnis transakasi dalam hubunganya dengan aktifitas melakukan produksi,
distribusi, dan konsumsi, maka muamalah serat dengan isu – isu ekonomi. Namun
dari sisi lain juga dalam muamalah digariskan tentrang berbagai ketentuan dan
persyaratan yang harus dipenuhi dalam sebuah aktifitas produksi, distribusi,
dan konsumsi tersebut dapat dianggap syah, maka muamlah serat dengan isu – isu
hukum.[1]
Bank syariah mulai digagas di Indonesia pada
awal periode 1980-an, di awali dengan pengujian pada skala bank yang relatif
lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung. Dan di Jakarta
didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.[2]
Berangkat dari sini, Majlis Ulama’
Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syari’ah,
yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,
dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada
tanggal 22-25 Agustus 1990.
Produk-produk yang
ditawarkan oleh bank syariah, menurut mereka, hanyalah produk-produk bank
konvensional yang dipoles dengan penerapan akad-akad yang berkaitan dengan
syariah. Alasannya karena sistem bagi hasil dalam prakteknya masih menyerupai
sistem bunga bagi bank konvensional. Begitu pula penyaluran dana bank syariah yang
lebih besar bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil keuntungan
berdasarkan margin, dianggap oleh masyarakat hanyalah sekedar polesan dari cara
pengambilan bunga pada bank konvensional.
Menurut mereka masih
sangat sulit untuk membedakan antara bagi hasil, margin dan bunga bank
konvensional. Kalaupun bisa hanyalah pada tataran teorinya saja, sedang
prakteknya masih terlihat rancu untuk membedakan bagi hasil, margin dan bunga.
Meski secara teoritis sistem bagi hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah
sangat baik, namun yang terjadi pembiayaan perbankan syariah dengan pola
tersebut belum menjadi barometer bank syariah, sehingga perbandingannya cukup
kecil jika dibandingkan dengan pembiayaan dengan pendapatan tetap. Hal tersebut
lebih disebabkan pada tuntutan yang harus dipenuhi oleh bank syariah yang
mengikuti struktur bank komersial. Sehingga pembiayaan dengan basis pendapatan
tetap cenderung menjadi pilihan bagi bank syariah.
B.
SISTEM
BAGI HASIL PADA PERBANKAN SYARIAH PRESPEKTIF
HUKUM ISLAM
1.
Pengertian
Bagi hasil (profit Sharing)
Bagi
hasil menurut terminologi asing (bahasa Inggris) dikenal dengan profit
sharing. Profit dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara
definisi profit sharing diartikan "distribusi beberapa bagian dari
laba pada pegawai dari suatu Perusahaaa".[3] Menurut
Antonio, bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian
Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan
pengelola (Mudharib).[4]
Secara
umum prinsip prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam
empat akad utama, yaitu, al Musyarokah,
al Mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqolah. Sungguhpun demikian prinsip
yang paling banyak dipakai adalah al musyarakah dan al mudharabah, sedangkan al
muzara’ah dan al musaqolah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau
pembiayaan pertanian untuk beberapa Bank Islam.[5]
Bagi Hasil adalah Keuntungan/Hasil yang diperoleh
dari pengelolaan dana baik investasi maupun transaksi jual beli yang diberikan
kepada Nasabah dengan persyaratan:[6]
a. Perhitungan Bagi Hasil disepakati menggunakan
pendekatan/pola :
1) Revenue Sharing
2) Profit & Loss Sharing.
b. Pada saat akad terjadi wajib disepakati sistem bagi
hasil yang digunakan, apakah RS, PLS atau Gross Profit. Kalau tidak disepakti
akad itu menjadi gharar.
c. Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati oleh
kedua belah pihak, misalnya setiap bulan
atau waktu yang telah disepakati.
d. Pembagian bagi hasil sesuai dengan nisbah yang
disepakati diawal dan tercantum dalam akad.
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana
dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha.
Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan
yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem
perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan
di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus
ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya
penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai
kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak
tanpa adanya unsur paksaan.[7]
2.
Konsep Bagi Hasil
Konsep bagi hasil ini
sangat berbeda sekali dengan konsep bunga yang diterapkan oleh sistem ekonomi
konvensional. Dalam ekonomi syariah, konsep bagi hasil dapat dijabarkan sebagai
berikut.
a. Pemilik dana menanamkan dananya melalui institusi
keuangan yang bertindak sebagai pengelola dana.
b. Pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem
yang dikenal dengan sistem pool of fund (penghimpunan dana),
selanjutnya pengelola akan menginvestasikan dana-dana tersebut kedalam proyek
atau usaha-usaha yang layak dan menguntungkan serta memenuhi semua aspek
syariah.
c. Kedua belah pihak membuat kesepakatan (akad) yang
berisi ruang lingkup kerjasama, jumlah nominal dana, nisbah, dan jangka waktu
berlakunya kesepakatan tersebut.[8]
d. Sumber
dana terdiri dari:
1)
Simpanan: tabungan dan simpanan berjangka.
2)
Modal : simpanan pokok, simpanan wajib, dana
lain-lain.
3)
Hutang pihak lain.
3.
Jenis-jenis
Akad Bagi Hasil
Bentuk-bentuk kontrak
kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat dilakukan dalam
empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah.
Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan kontrak
kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah.
a.
Musyarakah (Joint
Venture Profit & Loss Sharing)
Menurut Antonio Musyarakah adalah
akad kerja sama antara dun pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana
masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Manan
mengatakan, musyarakah adalah hubungan kemitraan antara bank dengan
konsumen untuk suatu masa terbatas pada suatu proyek baik bank maupun konsumen
memasukkan modal dalam perbandingan yang berbeda dan menyetujui suatu laba yang
ditetapkan sebelumnya, Lebih lanjut Manan mengatakan bahwa sistem ini juga
didasarkan atas prinsip untuk mengurangi kemungkinan partisipasi yang menjerumus
kepada kemitraan akhir oleh konsumen dengan diberikannya hak pada bank kepada
mitra usaha untuk membayar kembali saham bank secara sekaligus ataupun secara
berangsurangsur dari sebagian pendapatan bersih operasinya.
Musyarakah
adalah mencampurkan salah satu dari macam harta
dengan harta lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya.
Dalam pengertian lain musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[9]
b.
Mudharabah (Trustee
Profit Sharing)
Mudharabah
atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah
laian mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya
dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah istilah
maksud yang sama.[10]
Mudharabah
termasuk juga perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan
pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha
/proyek dan pengusaha setuju untuk
mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian.[11]Di
samping itu mudharabah juga berarti suatu pernyataan yang mengandung pengertian
bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan
dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai
perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Oleh
karena itu ada beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang harus diperhatikan yaitu:
1) Pelaku
(pemilik modal maupun pelaksana usaha)
Akad
mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertamabertindak sebagai
pemilik modal (shahibul maal), pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib).
Syarat keduanya adalah pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi
dan sah secara hukum.
2) Objek
mudharabah (modal dan kerja)
Objek
merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku.
Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal
yang diserahkan berbentuk uang.
Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling
skill, management skill dan lain-lain.
3) Persetujuan
kedua belah pihak (ijab-qabul)
"Persetujuan
kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip 'an-taraadhim minkum
(sama-sama rela)” (Q.S. An-Nisa ayat 29). Kedua belah pihak harus secara rela
bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju
dengan perannya untuk mengkontribusikan dana dan si pelaksana usaha pun setuju
dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja. Syaratnya adalah melafazkan ijab
dari yang punya modal dan qabul dari yang menjalankannya.
4)
Nisbah Keuntungan
"Nisbah
adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual
beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak
yang bermudharabah." Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan
shahib al-maal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan
inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak
mengenai cara pembagian keuntungan.
Adapun
bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari
penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
a)
Tabungan Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga yang penarikannya
dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.
b)
Deposito
Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga
(perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan bagi hasil.
c)
Investai Mudharabah
Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana kegiatan investasi jangka
pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan
prinsip mudharabah di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah
pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya.[12]
C. SISTEM
BAGI HASIL DAN PENDAPAT ULAMA MENGENAI BAGI HASIL BANK SYARI’AH
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil
dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu :
1)
Pendekatan profit
sharing (bagi laba)
Profit sharing menurut etimologi
Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.[13]
Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total
pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total
(total cost).
Di
dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil
didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[14]Pada
perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing,
di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari
pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
2)
Pendekatan revenue sharing (bagi
pendapatan).
Revenue
(pendapatan)
dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari
penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang
dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).[15]
Dalam
arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara
jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan
harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan
laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu
pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh
pendapatan tersebut.
Prinsip revenue sharing diterapkan
berdasarkan pendapat dari Syafi'i yang mengatakan bahwa mudharib tidak
boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan
menetap maupun bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah
mendapatkan bagian keuntungan maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah)
dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian
shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing diterapkan
berdasarkan pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang mengatakan bahwa mudharib
dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya itu
diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian dan sebagainya.
Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta mudharabah
baik dalam keadaan menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal,
tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal
(menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.[16]
D.
ANALISIS
BAGI HASIL BANK SYARI’AH
Pengumpulan
dana yang dilakukan oleh Bank Syariah yang berasal dari para Nasabah, para
pemilik modal atau dana titipan dari pihak ketiga perlu dikelola dengan penuh
amanah dan istiqomah, dengan harapan dana tersebut mendatangkan keuntungan yang
besar, baik untuk nasabah maupun syariah.
Prinsip
utama yang harus dikembangkan bank syariah dalam kaitan dengan manajemen dana
adalah bahwa Bank Syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan
dana, minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di
bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah
daripada bunga yang berlaku di bank konvensional. Oleh karena itu upaya
manajemen dana bank syariah perlu dilakukan secara baik. Hal tersebut harus dilakukan guna untuk mencapai hasil
keuntugan yang besar, agar bagi hasil yang dilakukan dapat peningkatan tabungan
nasabah.
Selain
mengenai pengumpulan dana, yang perlu di analisis lagi adalah mengenai
perbedaan anatara bagi hasil dengan bunga bank pada perbankan konvensional. Perbedaan
itu dapat dilihat dari tabel berikut ini:
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi
harus selalu untung.
|
Pcnentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat
pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
|
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang
(modal) yang dipinjamkan.
|
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperoleh
|
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa
pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau
rugi.
|
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang
dijalankan Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak.
|
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun
jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
|
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
dengan peningkatan jumlah pendapatan
|
Eksistensi bunga diragukan ( kalau tidak dikecam)
oleh semua agama, termasuk islam.
|
Tidak ada yang meragukan keabsahan
bagi hasil
|
Dari
tabek diatas dapat dilihat beberapa perbedaan mendasar tentang bank syariah dan
bank konvensional, sehingga dalam waktu yang relative muda bank syariah mampu dijadikan
rekonstruksiasi perbankan nasional. [17]
E.
PENUTUP
Bagi hasil adalah suatu
sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha
antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib). Pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi
hasil, menggunakan dua macam kontrak
kerjasama yaitu akad Musyarakah dan Mudharabah. Dimana musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana
masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang)
dengan pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha
/proyek dan pengusaha setuju untuk
mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan
dengan dua macam pendekatan, yaitu :
a.
Pendekatan profit sharing (bagi laba)
b.
Pendekatan revenue sharing (bagi
pendapatan).
[1]
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah, (Yogyakarta:Logung Pustaka,2009) hlm. 1
[2]Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Wacana Ulama’ dan
Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999).hal.. 278
[3]Muhammad,
Teknik Perhitungan Bagihal.asil di Bank Syariah. ( Yogyakarta, UII
Press, 2001)
[4]
Syafi’I Antonio, Bank Syariah Teori dan Praktek ( Jakarta, Gema Insani.,
2001),hal. 90
[5] Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari teori
ke praktik,(Jakarta:Gema Insani , 2011)hlm. 90
[6] Agustianto. Penentuan Bagihal.asil
Deposito Mudharabah Di Bank Syariah. (www.iaei-pusat.net
email: agusmingka66@yahoo.com)
[9] M. Syafei Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta:
Tazkia Institute dan BI, 1999) Cet. ke-I,hal.. 129
[10]
Rachmat Syafei, MA. Fiqh Muamalah, (Bandung:Pustaka Setia,2001) hlm. 223
[11]Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan
Lembaga-Lembaga Terkait..(Jakarta: PT. Grafindo Persada,2004)hal.. 32.
[12]Akmal
Yahya, Profit Distribution,hal.ttp//www.ifibank.go.id
[13]Muhammad,
Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002)hal.. 101
[14]Tim
Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep,
Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta : Djambatan, 2001),hal.. 264
[15] Cristopher Pass dan Bryan
Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi
ke-2. Jakarta: Erlangga, 1994.hal.. 583
[16]Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusihal.asil Usaha Bank
Syariah, (Jakarta, PT. Grasindo, 2005),hal. 118
[17]
Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah,(Yogyakarta:Sukses Offset,2011) hlm.
112