I. Pendahuluan.
Peranan ekonomi Islam dalam mengatur mekanisme
kegiatan pasar pada saat dewasa ini merupakan faktor yang sangat
penting, bagi majunya dan berkembangnya perekonomian dunia pada umumnya
dan khususnya bagi bangsa Indonesia, yang sekarang ini laju
perekonomiannya masih cukup lambat, setelah krisis moneter singgah
dinegara yang kita cintai ini.
Dua paham ekonomi yang selama ini
menjadi acuan dan barometer dunia, yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi
sosialis ternyata tidak dapat mengatur mekanisme kegiatan pasar saat
ini yang serba tidak menentu dan tidak jelas, malah semakin memperparah
keadaan. Ekonomi Islam yang lebih dahulu lahir, sekitar abad ke VI,
eksistensinya cenderung diabaikan dan dilupakan. Ekonomi Islam lahir
semenjak diturunkannya wahyu Allah (ayat-ayat suci Al-Quran) melalui
Rasullnya yaitu Nabi Muhammad SAW. Al-Quran sebagai pedoman hidup atau
The Way of Live yang komprehensif, yang termasuk mengatur di dalamnya
kehidupan bermuamalah, terutama di bidang ekonomi.
Allah SWT
mewahyukan agama Islam ini di tanah yang memiliki ekonomi yang tinggi
yaitu kepada Bangsa Arab. Bangsa Arab adalah merupakan suatu bangsa
yang peradaban kegiatan berekonominya sudah maju dan sudah berkembang
pesat dibandingakan dengan bangsa-bangsa di dunia lainnya. Bangsa Arab
sudah berpengalaman selama tak kurang dari ratusan tahun dalam kegiatan
berekonomi. Bangsa Arab telah melakukan kegiatan ekonomi di jalur
perdagangan ketika itu yang terbentang dari Yaman sampai
kedaerah-daerah mediteranian. Ajaran Islam yang diwahyukan oleh Nabi
Muhammad SAW, Nabi besar kita yang terlahir dari keluarga pedagang,
Rasulullah menikah dengan seorang saudagar kaya yaitu Siti Khadijah dan
beliaupun melakukan perjalanan berdagang dan bertransaksi sampai
kenegeri Syiria.
Kemajuan pembangunan ekonomi dan teori ekonomi,
banyak diilhami dan dipengarui oleh kemunculannya budaya Islam yang
banyak memberikan kontribusi yang sangat besar, bagi kemajuannya. Pada
abad keenam belas, diperkirakan pemahaman yang sudah maju mengenai
definisi dan fungsi pasar, telah ditemukan pada bahan kajian akademik
para sarjana. Sejarah peradaban kuno sebagai bahan kajian perbandingan,
diperkirakan kajian para sarjana muslim mempengaruhi perkembangan
pemikiran di sekolah tersebut.
II. Mekanisme Pasar Menurut Islam.
Islam
memacu umatnya untuk melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi dan sosial, salah satunya adalah kegiatan
berdagang. Berdagang adalah aktivitas yang paling umum yang dilakukan
di dalam pasar. Pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam
sistem perekonomian. pasar memiliki fungsi strategis, yaitu sebagai
sebuah wadah bertemunya para produsen (penjual) dan konsumen (pembeli)
dalam kegiatan perdagangan. Kedua pihak tersebut akan saling
mempengaruhi dan menentukan harga. Kesepakatan keduanya dalam
menentukan harga, haruslah saling memuaskan satu sama lain dan saling
ridha. Pencapaian terhadap kepuasan sebagaimana tersebut tentunya
haruslah diproses dan ditindak lanjuti secara berkesinambungan, dan
masing-masing pihak hendaknya mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana
keputusan yang harus diambil dalam pemenuhan kepuasan ekonomi tersebut.
Islam memiliki rambu-rambu dan aturan main yang dapat diterapkan
dipasar dalam upaya menegakan kepentingan semua pihak, rambu dan aturan
tersebut terdapat dalam Al-Quran dan Hadist. Seperti dalam Al-Quran
Surah Al-Furqan ayat 7.
Surah Al-Furqan ayat 7 :
7. Dan
mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar
malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?,
Surah Al-Furqan ayat 20 :
20.
Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh
memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan
sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu
bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.
Banyak para
pemikir-pemikir ekonomi Islam yang berbicara mengenai mekanisme pasar
menurut konsep Islam tentunya, seperti diantaranya, Abu Yusuf
(731-798), Abdul Hamid Al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Taimiyah
(1263-1328), dan yang terakhir Ibnu Khaldun (1332-1404).
A. Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf (731-798).
Para
sarjana muslim telah menulis jauh sebelum para skolastik Eropa abad
pertengahan yang menawarkan diskursus mekanisme pasar dan penetapan
harga yang lebih rinci dan canggih. Catatan yang paling awal
ditemukannya mengenai peningkatan dan penurunan produksi yang berkaitan
dengan perubahan suatu harga adalah yang dikemukakan oleh Abu Yusuf.
Abu
Yusuf adalah seorang mufti pada kekhalifahan Harun Al-Rasyid. Ia
menulis buku pertama tentang sistem perpajakan dalam Islam yang
berjudul Kitab Al-Kharaj. Buku ini ditulis berdasarkan permintaan
khalifah untuk digunakan sebagai panduan manual perpajakan.
Berbeda
dengan pemahaman saat itu yang beranggapan bila tersedia sedikit barang
maka hrga akan mahal dan sebaliknya, Abu Yusuf menyatakan, “Tidak ada
batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Murah
bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan
kelangkaan makanan. Murah dan mahal adalah ketentuan Allah.
Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang
makanan sangat sedikit tetapi murah.” (Abu Yusuf, Kitab Al-Kharaj
Beirut: Dar al-Ma’rifah,1979,hlm.48).[1]
Bahwa
peryataan Abu Yusuf diatas sepertinya menyangkal pendapat umum tentang
hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga
tidak bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada
kekuatan permintaan. Karena itu, peningkatan atau penurunan harga tidak
selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan dalam produksi,
Abu Yusuf menegaskan bahwa ada variabel lain yang mempengaruhi, tetapi
dia tidak menjelaskan lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah
pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar disuatu
negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut.
Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith
menulis The Wealth of Nations.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih
rinci apa yang disebutkannya sebagai variabel lain, ia tidak
menghubungkan fenomena yang diobservasinya terhadap perubahan dalam
penawaran uang. Namun, pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari
permintaan dan penawaran dalam penentuan harga (Muhammad Nejatullah
Siddiqi, Abu Yusuf Ma’ahi fikr, Economic Thought of Abu Yusuf, in Fikr
va Najar (Aligarh), vol 5, No. 1, Januari 1964, hlm. 86).[2]
Menurut
Muhammad Nejatullah Siddiqi, ucapan Abu Yusuf harus diterima sebagai
pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni keberadaan yang
bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta
kelangkaan barang dan harga rendah.[3]
B. Mekanisme Pasar Menurut Abdul Hamid Al-Ghazali (1058-1111).
Pandangan
Abdul Hamid Al-Ghazali (1058-1111), Mungkin cukup mengejutkan jika dia
menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan
timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan
penawaran. Maklum ia dikenal sebagai ahli tasawuf. Bagi Ghazali, pasar
merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci dia juga
menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar.
Al-Ghazali
mengatakan “Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak
tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan
pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi
kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan
makanan,tetapi petani tidak memerlukan alat-alat tersebut atau
sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh, karena itu, secara
alami pula orang-orang akan terdorong untuk menyediakan tempat
peyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil
pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli
sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar.
Petani,tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan
barter, juga terdorong pergi kepasar ini. Bila dipasar juga tidak
ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada
pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan
sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat
keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.” (Ihya
Ulumuddin, III:227).[4]
Imam
Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan perdagangan regional.
Al-Ghazali mengatakan, “ Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di
berbagai kota dan negara. Orang –orang melakukan perjalanan keberbagai
tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ketempat
lain. Urusan ekonomi orang diorganisasikan dikota-kota dimana tidak
seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya
menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. Terciptalah kelas
perdagangan regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari
keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang
lain dan mendapat keuntungan, dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh
orang lain juga.” (Ihya,III:227).[5]
Jelaslah,
Imam Ghazali menyadari kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi
dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga
menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan
menyediakannya pada waktu dan tempat dibutuhkan.
Ghazali tidak
menolak kenyataan bahwa keuntungnlah yang menjadi motif perdagangan.
Lebih Jauh, Ghazali menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam
menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan
pertumbuhan ekonomi. Akhirnya ia memberikan definisi yang jelas tentang
etika bisnis. (Ihya, II:75, 78, 79).[6]
Walaupun
Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi
modern, beberapa paragraf dari tulisannya jelas menunjukan bentuk kurva
penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri
bawah kekanan atas”dinyatakan oleh dia sebagai”jika petani tidak
mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang
lebih murah (Ihya, III:227).[7]
Sementara untuk kurva permintaan yang”turun dari kiri atas kekanan
bawah”dijelaskan oleh dia sebagai “harga dapat diturunkan dengan
mengurangi permintaan.”(Ihya, III:87).[8]
Untuk
zamannya, agak mengejutkan bahwa Ghazali telah pula paham akan konsep
elastisitas permintaan “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual
pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan ini
pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.” (Ihya, II:80).[9]
Bahkan ia telah pula mengidentifikasikan produk makanan sebagai
komoditas dengan kurva permintaan yang inelastis. “Karena makanan
adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal mungkin
didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi
melalui pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar.
Keuntungan semacam ini seyogyanya dicari dari barang-barang yang bukan
merupakan kebutuhan pokok.” (Ihya, II:73).[10]
Imam
Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga
biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum
secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali
keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis,
dan ancaman keselamatan diri sipedagang (Ihya, IV,110).[11]
Walaupun, ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi
motivasi pedagang. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi
pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan
diakherat kelak (Ihya, II:75-6, 84).[12]
C. Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Taimiyah (1263-1328).
Ibnu
Taimiyah jelas tidak pernah membaca Wealth of Nations karena ia hidup
lima abad sebelum kelahiran Adam Smith, bapak ekonomi klasik yang
menulis buku termasyur itu. Namun, ketika masyarakat pada masanya
beranggapan bahwa peningkatan harga merupakan akibat dari ketidakadilan
dan tindakan melanggar hukum dari pihak penjual atau mungkin sebagai
akibat manipulasi pasar, Taimiyah langsung membantahnya. Dengan tegas,
ia mengatakan bahwa harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan.
Ia menyatakan bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu
disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat
transaksi. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang menurun akibat
inefisiensi produksi, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta
atau juga tekanan pasar. Karena itu, jika permintaan terhadap barang
meningkat, sedangkan penawaran menurun, harga barang tersebut akan
naik. Begitu pula sebaliknya. Kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin
disebabkan dengan tindakan yang adil atau mungkin juga karena tindakan
yang tidak adil (Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Shaykh al-Islam, VIII:583).[13]
Menurut
Taimiyah, penawaran bisa datang dari produksi domistik dan impor.
Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau
penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan
sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Besar-kecilnya kenaikan
harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan.
Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi
merupakan kehendak Allah (Ibnu Taimiyah, al-hisbah fi al-Islam, 24).[14]
Hal tersebut menunjukan sifat pasar yang impersonal. Dibedakan pula dua
faktor penyebab pergeseran kurva penawaran dan permintaan, yaitu
tekanan pasar yang otomatis dan perbuatan melanggar hukum dari penjual,
misalnya penimbunan.
Adapun faktor lain yang mempengaruhi penawaran
dan permintaan antara lain adalah intensitas dan besarnya permintaan,
kelangkaan atau melimpahnya barang, kondisi kepercayaan, serta diskonto
dari pembayaran tunai. Permintaan terhadap barang acap kali
berubah-ubah. Perubahan tersebut bergantung pada jumlah penawaran,
jumlah orang yang menginginkannya, lemah-kuatnya dan besar-kecilnya
kebutuhan terhadap barang tersebut. Bila penafsiran ini benar, Ibnu
Taimiyah telah mengasosiasikan harga tinggi dengan intensitas kebutuhan
sebagaimana kepentingan relatif barang terhadap total kebutuhan
pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar, harga akan naik. Demikian pula
sebaliknya.
Harga juga di pengaruhi oleh tingkat kepercayaan
terhadap orang-orang yang terlibat dalam transaksi. Bila seseorang
cukup mampu dan terpercaya dalam membayar kredit, penjual akan senang
melakukan transaksi dengan orang tersebut. Namun, apabila kredibilitas
seseorang dalam masalah kredit telah diragukan, penjual akan ragu untuk
melakukan transaksi dengan orang tersebut dan cenderung memasang harga
tinggi. Demikian juga dengan melakukan kontrak (Ibnu Taimiyah, Majmu
Fatawa, op.cit, XXIX:523-525).[15]
Ibnu
Taimiyah mengemukakan relevansi antara kredit terhadap penjualan.
Implikasinya yaitu transaksi kredit merupakan hal yang wajar. Ketika
menetapkan harga, para penjual harus memperhitungkan ketidakpastian
pembayaran pada masa mendatang. Ia juga menengarai kemungkinan penjual
menawarkan diskon untuk transaksi tunai. Argumen Ibnu Taimiyah bukan
hanya menunjukan kesadarannya mengenai kekuatan penawaran dan
permintaan, melainkan juga perhatiannya pada insentif, disinsentif,
ketidakpastian, dan resiko yang terlibat dalam transaksi pasar.
Keduanya menunjukan kontribusi yang berarti terhadap analisis ekonomi,
terutama ketika seseorang berada pada era Ibnu Taimiyah menulis.
Harus
dicatat disini bahwa Ibnu Taimiyah tidak pernah menggunakan istilah
kompetisi (konsep yang muncul pada akhir evolusi pemikiran ekonomi)
ataupun menjelaskan kondisi dari kompetisi sempurna dalam istilah
kontemporer. Karena itu, ia kemudian menulis bahwa untuk memaksa orang
agar menjual berbagai benda yang tidak diharuskan untuk menjualnya atau
melarang mereka menjual benda-benda yang diperbolehkan untuk dijual,
adalah tidak adil dan karenanya melanggar hukum (Ibnu Taimiyah,
al-Hisbah, 41).[16] Dalam istilah kontemporer, hal ini secara jelas merujuk pada kebebasan penuh untuk masuk atau keluar pasar.
Lebih jauh, ia mengkritik adanya kolusi antara pembeli dan penjual (ibid,hlm.25).[17]
Ia menyokong homogenitas dan standarisasi produk dan melarang pemalsuan
produk serta penipuan pengemasan produk untuk dijual (ibid, hlm 21).[18]
Penekanannya terhadap pasar dan komoditas, seperti juga kontrak jual
beli, bergantung pada izin, dan izin memerlukan pengetahuan dan
pemahaman (ibid, hlm.49, 50).[19]
Ibnu
Taimiyah menentang peraturan yang berlebihan ketika kekuatan pasar
secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif. Dengan
tetap memperhatikan pasar tidak sempurna, ia merekomendasikan bahwa
bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih
tinggi dibandingkan dengan harga normal, padahal orang-orang
membutuhkan barang ini, maka para penjual diharuskan untuk menjualnya
pada tingkat harga ekuivalen (ibid, hlm.25).[20]
Secara kebetulan, konsep ini bersinonim dengan apa yang disebut harga
yang adil. Lebih jauh bila ada elemen-elemen monopoli (khususnya dalam
pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya), Pemerintah harus
turun tangan melarang kekuatan monopoli (ibid hlm. 25-26).[21]
D. Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Khaldun (1332-1404).
Ibnu
Khaldun adalah ulama besar dan juga dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi.
Karya monumental Ibnu Khaldun adalah al-Muqaddimah yang menulis secara
khusus satu bab berjudul “ Harga-harga di kota-kota”. Ia membagi jenis
barang menjadi barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurut dia,
bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah
banyak, harga-harga barang kebutuhan pokok akan mendapat prioritas
pengadaannya. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya
harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat
sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya,
harga barang mewah meningkat.
Ibnu Khaldun juga menjelaskan
mekanisme penawaran dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan.
Secara lebih rinci, ia menjabarkan pengaruh persaingan diantara
konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi permintaan. Setelah itu, ia
pula menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak
dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut, pada sisi penawaran (The
Muqaddimah of Ibnu Khaldun, II:276-8).[22]
Pada
bagian lain dari bukunya, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan
turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan, “ Ketika
barang-barang yang tersedia sedikit, harga-harga akan naik. Namun, bila
jarak antarkota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak
barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melilmpah, dan
harga-harga akan turun” (ibid. 338).[23]
Hal ini menunjukan bahwa Ibnu Khaldun, sebagaimana Ibnu Taimiyah, telah
mengidentifikasikan kekuatan permintaan dan penawaran sebagai penentu
keseimbangan harga.
Bahwa Al-Ghazali pernah menyatakan bahwa motif berdagang adalah mencari keuntungan (Ihya, II:73).[24]
Ghazali juga menyatakan bahwa hendaknya motivasi keuntungan itu hanya
untuk barang-barang yang bukan kebutuhan pokok. Keuntungan yang
didefinisikan Ghazali adalah sebagai keuntungan di dunia maupun di
akaherat.
Nah, Ibnu Khaldun menjelaskan secara lebih rinci. Menurut
dia, keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan,
sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan
karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya, bila pedagang
mengambil keuntungan sangat tinggi, juga akan membuat lesu perdagangan
karena lemahnya permintaan konsumen (ibid, 340-341).[25]
III. Kebijakan Harga Menurut Islam.
Dalam
perspektif ekonomi Islam, pasar (market) mendapat kedudukan yang
penting. Pada masanya, Rasulullah sangat menghargai harga yang
terbentuk oleh pasar yang dikatakan beliau sebagai harga yang adil dan
menyuruh umatnya agar mematuhi harga pasar ini. Beliau menolak untuk
membuat kebijakan penetapan harga pada saat tingkat harga ketika itu di
Madinah tiba-tiba naik. Sepanjang kenaikan terjadi karena kekuatan
permintaan dan penawaran yang murni, yang tidak disertai dengan
dorongan-dorongan monopolistik dan monopsonistik, maka tidak ada alasan
untuk tidak menghormati harga pasar.
Dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh enam imam hadis utama (kecuali Al Nasai) seorang
sahabat bertanya kepada rasulullah ”Wahai rasulullah tentukanlah harga
untuk kita !”. Rasul menjawab, ”Allah itu sesungguhnya adalah penentu
harga, penahan, pencurah, serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat
menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku
karena kedzaliman dalam hal harta dan darah”
Hadis di atas maknanya,
bahwa harga yang terbentuk di pasar merupakan hukum alam (sunnatullah),
individu tidak dapat mempengaruhi pasar, sebab pasar adalah kekuatan
kolektif yang telah menjadi kekuatan Allah. Pelanggaran terhadap harga
pasar, yaitu penetapan harga merupakan suatu ketidakadilan
(zulm/injustice) yang akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan
Allah.
IV. Kaidah Fiqh dalam Mekanisme Pasar.
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa penentuan harga tidak terlepas dari
kekuatan-kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan
penawaran. Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dengan penawaran
tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang
merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut.
Keseimbangan pasar terjadi pada saat perpotongan antara kurva supply
dan demand dalam keadaan ’an taraddim minkum (rela sama rela). Bila ada
yang mengganggu keseimbangan ini, maka pemerintah harus melakukan
intervensi ke pasar. Seperti firman Allah dalam Surah An-Nisaa ayat 29.
Surah An-Nisaa ayat 29.
29.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dalam
hal harga, para ahli fiqh merumuskannya sebagai the price of the
equivalent (istilah fiqihnya thaman al mithl). Konsep the price of the
equivalen ini mempunyai implikasi penting dalam ilmu ekonomi, yaitu
keadaan pasar yang kompetitif. Merupakan konsekuensi dari konsep
tersebut, dalam ekonomi Islam, monopoli, duopoly, dan oligopoly dalam
artian hanya ada satu penjual, dua penjual, atau beberapa penjual tidak
dilarang keberadaannya, selama mereka tidak mengambil keuntungan di
atas keuntungan normal.
Hadist Rasulullah SAW. Menjelaskan dengan
lebih rinci tentang hal yang diperkenankan dalam transaksi perdagangan
yang dilakukan oleh seorang muslim dalam bentuk larangan-larangan
sesuai dengan kondisi yang saat itu terjadi. Beberapa hadist tersebut
adalah :
“ Nabi melarang jual beli anak kambing yang masih dalam
kandungan ibunya” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’I dan Tirmidzi).
Artinya ” Nabi melarang jual beli ikan dalam air (HR. Ahmad). Artinya ”
Nabi melarang adanya dua jenis transaksi dalam satu akad/kontrak (HR.
Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i). Artinya ” Janganlah kamu menjual
sesuatu yang tidak dimiliki (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Artinya “ Nabi melarang menjual barang yang belum diserahterimakan”
(HR. Bukhari dan Muslim). Artinya ” Nabi melarang kami berjual beli
dengan Talaq ar-Rukhban dab Hadir al-Bad” (HR. Muslim). Artinya ” Nabi
melarang jual beli dengan penawaran palsu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari
Inbu Abbas, ”Rasulullah SAW. Bersabda, ’ Jangan kamu mencegat
orang-orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di
pasar’.” (Sepakat Ahli Hadist).
Dari Abu Hurairah, ” Rasulullah
SAW. Telah bersabda, ‘ Janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang
sudah di beli oleh orang lain’.”(Sepakat Ahli Hadist).
Dari Ibnu
Umar, ” Nabi SAW. telah melarang menjual buah-buahan sebelum buahnya
tampak masak (pantas diambil).” (Sepakat ahli Hadist).
Dari Abu
Hurairah. Ia berkata, ” Nabi SAW. telah melarang memperjualbeliakan
barang yang mengandung tipu daya.” (Riwayat Muslim dan lainnya).
”Janganlah engkau menjual sesuatu yang engkau beli sebelum engkau terima ”.(Riwayat Ahmad dan Baihaqi).
Dari
Abu Hurairah, ” Bahwasannya Rasulullah SAW. Pernah melalui onggokan
makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukan tangan beliau
kedalam onggokan itu, tiba-tiba didalamnya jari beliau meraba yang
basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu, seraya berkata,
’Apakah ini ? ’ jawab yang punya makanan, ’ Basah karena hujan, ya
Rasulullah. ’ Beliau bersabda, ’ Mengapa engkau tidak taruh di bagian
atas supaya dapat dilihat orang ? Barang siapa yang menipu, maka ia
bukan umatku’.” (Riwayat Muslim). Artinya ” Nabi melarang jual beli
yang mengandung unsur tipu daya”. (HR. Muslim dan Ahmad).
Islam
mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil. Setiap bentuk
yang dapat menimbulkan ketidakadilan dilarang, antara lain :
Talaqqi
rukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota
mendapat keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari kampung akan harga
yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang ke kota ini (entry
barrier) akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
Mengurangi timbangan dilarang karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.
Menyembunyikan cacat barang dilarang karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk.
Menukar
kurma kering dengan kurma basah dilarang karena takaran kurma basah
ketika kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar.
Menukar
satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas sedang
dilarang, karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasarnya.
Rasulullah menyuruh menjual kurma yang satu, kemudian membeli kurma
yang lain dengan uang.
Transaksi Najasy dilarang karena si penjual
menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi
agar orang lain tertarik.
Ikhtikar dilarang, yaitu mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit
barang untuk harga yang lebih tinggi.
Ghaban fa hisy (besar) dilarang, yaitu menjual di atas harga pasar.
V. Kesimpulan.
Mekanisme
pasar menurut Islam adalah suatu sistem mekanisme pasar yang diatur
dalam Konsep Islam dan Konsep Islam memiliki rambu-rambu dan aturan
main yang dapat diterapkan dipasar dalam upaya menegakan kepentingan
semua pihak, rambu dan aturan tersebut terdapat dalam Al-Quran dan
Hadist.
Daftar Pustaka
Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Adiwarman A. Karim, Gema Insani, 2001.
Fiqh Islam, Sulaiman Rasjid., Sinar Baru Algensinndo, 2001.
Pengenalan
Ekslusif Ekonomi Islam, Mustafa Edwin Nasution, Budi Setyanto, Nurul
Huda, Muhammad Arief Mufraeni, Bey Sata Utama, Kencana Prenada Media
Group, 2006.
Quran Player, “ Versi 2.0.1.0”, Copyright 2005 Wawan Sjachriyanto dari Ali Abdurrahman Al- Hudzaifi Muhammad Ayyub.
Beberapa Literatur dari Internet.
[1] Adiwarman A.Karim, Ekonomi Islam suatu kajian kontemporer, Gema Insani 2001, hlm. 154
[2] Ibid hlm. 156
[3] Ibid hlm. 156
[4] Ibid hlm 157
[5] Ibid hlm 158
[6] Ibid hlm 158
[7] Ibid hlm 158
[8] Ibid hlm 158
[9] Ibid hlm 158
[10] Ibid hlm 158
[11] Ibid hlm 159
[12] Ibid hlm 159
[13] Ibid hlm 160
[14] Ibid hlm 160
[15] Ibid hlm 161
[16] Ibid hlm 161
[17] Ibid hlm 161
[18] Ibid hlm 161
[19] Ibid hlm 162
[20] Ibid hlm 162
[21] Ibid hlm 162
[22] Ibid hlm 163
[23] Ibid hlm 164
[24] Ibid hlm 164
[25] Ibid hlm 164
http://slamet-wiharto.blogspot.com/2008/09/mekanisme-pasar-menurut-ekonomi-islam.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar