Rabu, 29 Agustus 2012

IMAM SYAFI'I


Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿīatau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggilImam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 – Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina, namun diantara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
Nasab
Imam Syafi’i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Masa Belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Sabtu, 30 Juni 2012

history PMII


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Latar belakang pembentukan PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
  1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
  2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
  3. Pisahnya NU dari Masyumi.
  4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
  5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Organisasi-organisasi pendahulu

Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU

Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
  1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
  2. M. Said Budairy (Jakarta)
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. Makmun Syukri (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. Ismail Makki (Yogyakarta)
  7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
  9. Laily Mansyur (Surakarta)
  10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
  11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
  12. M. Kholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi

Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII

Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Ideologi PMII



Membandingkan ideologi & NDP dalam ranah ke-PMII-an

Manusia pada hakikatnya yang nyata adalah makhluk sosial. Semenjak lahir sampai matipun keberadaanya saling membutuhkan antara satu dan yang lainnya. Dalam kehidupannya banyak cara dilakukan untuk mengukuhkan keberadaanya sebagai makhluk sosial (bersosialisasi), salah satunya adalah dengan cara berorganisasi. Dalam kesehariannya (bersosialisasi dan berorganisasi) tentunya dibutuhkan landasan berpijak/berfikir atau yang biasa disebut keberadaannya sebagai ideologi, guna melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan dan sebagai dasar dari setiap pemikiran, arah gerakan, juga sebagai landasan tentang kebenaran.
Ideologi dikumandangkan pertama kali oleh Antoine Destutt de Tracy (seorang revolusioner Perancis (1754-1836)). Beliau melihat bahwa ketika revolusi berlangsung, banyak ide atau pemikiran telah menginspirasi ribuan orang untuk menguji kekuatan ide-ide tersebut dalam kancah pertarungan politik dan mereka mau mengorbankan hidup demi ide-ide yang diyakini tersebut (bahkan sampai sekarang). Latar belakang inilah yang mendorong de Tracy (dan saya sekarang) untuk mengkaji tentang ideologi. Terlebih perdebatan tentang ideologi masih memiliki ruangnya sendiri (dalam PMII atau institusi lainnya) tentang keberadaanya yang masih menuai kritik dan evaluasi terhadapnya.
Ideologi secara etimologis (dalam pengertian kalangan santri disebut definisi lugothan (definisi secara bahasa)) berasal dari kata idea (ide/gagasan) dan ology/logos (ilmu). Namun, definisi lugothan ini tidak dapat dijadikan pijakan untuk memahami ideologi lebih mendalam. Oleh karena itu bila ada definisi secara lugothan/bahasa (dikalangan santri) ada pengertian secara istilahan (definisi secara lebih mendalam dan terarah). Secara istilahan ideologi didefinisikan sebagai kumpulan ide/gagasan/aqidah aqliyyah (akidah (keyakinan yang mendasar) yang sampai melalui proses berfikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Oleh sebab itu ideologi juga dianggap sebagai landasan kebenaran yang fundamental (mendasar). Dan karenanya pula tidak terlalu salah juga bila ideologi disebut sebagai sumber kebenaran dan keberadaannya adalah sebagai ruh dari operasi praktis kehidupan (organisasi).
Peranan ideologi adalah sebagai wadah/tempat bagi kebenaran atau bahkan sebagai sumber kebenaran itu sendiri yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah umat, akan tetapi disisi lain juga dijadikan sebagai alat hegemoni (pengunggul) umat. Ideologi juga kadang menjadi tameng pembenaran umat/golongan tertentu atau bahkan individu-individu yang berkepentingan, dan digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya. Karena dalam prosesnya kemudian ideologi ada tidak bebas dari kepentingan prinsip peng-ada-an. Suatu materi diciptakan/diadakan (contohnya organisasi) pasti punya maksud dan tujuan. Ironisnya kepentingan/tujuan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa adanya pengistimewaan/pengklarifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Dalam organisasi ideologi lebih diperankan sebagai identitas dari organisasi tersebut dan di biasanya gunakan sebagai pendoktrin untuk membentuk paradigma keorganisasian.*
Karena alasan-alasan seperti yang tersebut diatas itulah keberadaan ideologi dalam organisasi sangat dibutuhkan sebagai identitas dan landasan berfikir yang sangat fundamental dalam setiap gerakan juga menjadi kerangka yang sistematis agar keberadaa organisasi tidak melenceng dari konsep dan tujuan awal pendiriannya.
Dibawa kedalam ranah PMII, ideologi PMII atau yang biasa di sebut sebagai identitas PMII yang digali dari sumber-sumbernya yaitu ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an dalam pemahaman ke-ASWAJA-an, telah tersublimasi keberadaannya menjadi rumusan materi yang terkandung dalam NDP PMII (Nilai Dasar Pergerakan PMII), semacam Qonun azasi di-PMII atau itu yang di sebut ideologi. ASWAJA sendiri yang pada awal pendirian PMII ingin di perankan sebagai ideologi di-PMII, kini peranannya lebih difokuskan sebagai manhaj al-Fiqr (landasan pemikiran semata/sebagai pengontrol arah pergerakan) dan manhaj at-Taghayyur al-Ijtima’i (perubahan sosial).
Tapi, sebagaimana yang kita tahu/dengar dikalangan warga pergerakan PMII sendiri bahwa NDP PMII tidak dapat dikatakan sebagai ideologi PMII karena telah mengalami pemahaman yang berbeda, meluas, mendalam, juga terumuskan secara rapi dan tersusun. Karena rumusan NDP PMII (seperti yang tersebut diatas) adalah sublimasi dari ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an yang berhaluan Ahlussunnah wal-Jama’ah, yang berisikan tentang ke-Tauhid-an, pengyakinan kita terhadap Tuhan yang maha esa. Dan bentuk pengyakinan itu terletak pada pola relasi/hubungan antara komponen-komponen yang ada di-alam dengan Tuhan. Pola relasi itu yang menjadi rumusan dasar dalam NDP PMII dan di bagi kedalam 4 bagian yakni :
1-Ke-Tauhid-an ;
2-Hubungan antara manusia dengan Tuhan ;
3-Hubungan antara manusia dengan manusia ; dan
4-Hubungan antara manusia dengan alam.
Juga keberadaannya sebagai penyelaras antara vertical line (rumusan ke-1 dan ke-2) juga horizontal line (rumusan ke-3 dan ke-4). Dengan begitu kita tahu bahwa ideologi tidak dapat disamakan keberadaannya dengan NDP PMII, karena selain telah mengalami perbedaan pemahaman yang meluas juga mendalam tentang keberadaanya. NDP PMII sendiri juga sudah berbeda serta lebih tinggi (karena di dalamnya sudah tertanam peranan ideologi) dan terarah kedudukan serta fungsinya dari pada ideologi. Ideologi yang kedudukannya sebagai identitas organisasi dan berfungsi sebagai landasan berfikir serta berpijak untuk suatu tujuan yang idealist. Sedangkan NDP PMII berkedudukan sebagai :
a) sumber kekuatan ideal moral dari aktifis pergerakan ; dan
b) pusat argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap, dan bertindak dalam aktifitas pergerakan.
Dan juga berfungsi sebagai :
a) kerangka refleksi (landasan dalam berfikir) ;
b) kerangka aksi (landasan berpijak) ;
c) kerangka idelogis (sumber motivasi).**
Akhirnya, karena alasan-alasan diatas itulah kalangan warga pergerakan tidak meg-iya-kan bila NDP PMII di sebut sebagai ideologi.
Dan setelah kita memahami sedikit tulisan saya tentang pemahaman ideologi dan bagaimana cara PMII memandang dan menempatkannya, juga memahami sekilas tentang dasar rumusan NDP PMII, barulah kita dapat sedikit tahu apa dan kemana arah/tujuan pergerakan serta keberadaan kita sebagai kader di-PMII.
Oleh :
ABDUL ROSYID
(PMII-INISA)


AKHIRNYA SAYA UCAPKAN TERIMAH KASIH
SALAM PERGERAKAN…!
Tangan terkepal dan maju kemuka…!!!

Sabtu, 23 Juni 2012

BULAN SYA'BAN

Sya'ban adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari kata syi'ab yang artinya jalan di atas gunung. Islam kemudian memanfaatkan bulan Sya’ban sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan, demi mencapai kebaikan.

Karena bulan Sya’ban terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, karena diapit oleh dua bulan mulia ini, maka Sya’ban seringkali dilupakan. Padahal semestinya tidaklah demikian. Dalam bulan Sya’ban terdapat berbagai keutamaan yang menyangkut peningkatan kualitas kehidupan umat Islam, baik sebagai individu maupun dalam lingkup kemasyarakatan.

Karena letaknya yang mendekati bulan Ramadhan, bulan Sya’ban memiliki berbagai hal yang dapat memperkuat keimanan. Umat Islam dapat mulai mempersiapkan diri menjemput datangnya bulan termulia dengan penuh suka cita dan pengharapan anugerah dari Allah SWT karena telah mulai merasakan suasana kemuliaan Ramadhan.

Rasulullah SAW bersabda,


ذاكَ شهر تغفل الناس فِيه عنه ، بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم -- حديث صحيح رواه أبو داود النسائي

Bulan Sya'ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan Nasa'i)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pengakuan Aisyah, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa (sunnah) lebih banyak daripada ketika bulan Sya’ban. Periwayatan ini kemudian mendasari kemuliaan bulan Sya’ban di antar bulan Rajab dan Ramadhan.

Karenanya, pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak berdzikir dan meminta ampunan serta pertolongan dari Allah SWT. Pada bulan ini, sungguh Allah banyak sekali menurunkan kebaikan-kebaikan berupa syafaat (pertolongan), maghfirah (ampunan), dan itqun min adzabin naar (pembebasan dari siksaan api neraka).

Dari sinilah umat Islam, berusaha memuliakan bulan Sya’ban dengan mengadakan shodaqoh dan menjalin silaturrahim. Umat Islam di Nusantara biasanya menyambut keistimewaan bulan Sya’ban dengan mempererat silaturrahim melalui pengiriman oleh-oleh yang berupa makanan kepada para kerabat, sanak famili dan kolega kerja mereka. Sehingga terciptalah tradisi saling mengirim parcel di antara umat Islam.

Karena, di kalangan umat Islam Nusantara, bulan Sya’ban dinamakan sebagai bulan Ruwah, maka tradisi saling kirim parcel makanan ini dinamakan sebagai Ruwahan. Tradisi ini menyimbolkan persaudaraan dan mempererat ikatan silaturrahim kepada sesama Muslim.

Nishfu Sya’ban



Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriyah. Keistimewaan bulan ini terletak pada pertengahannya yang biasanya disebut sebagai Nishfu Sya'ban. Secara harfiyah istilah Nisfu Sya’ban berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya'ban atau tanggal 15 Sya'ban.

Kaum Muslimin meyakini bahwa pada malam ini, dua malaikat pencatat amalan keseharian manusia, yakni Raqib dan Atid, menyerahkan catatan amalan manusia kepada Allah SWT, dan pada malam itu pula buku catatan-catatan amal yang digunakan setiap tahun diganti dengan yang baru.

Imam Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Sya'ban sebagai malam yang penuh dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan Sya'ban Allah SWT memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian, pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karepa pada malam ke-15 bulan Sya’ban inilah, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah SWT.

Para ulama menyatakan bahwa Nisfu Sya'ban juga dinamakan sebagai malam pengampunan atau malam maghfirah, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang saleh.

Dengan demikian, kita sebagai umat Islam semestinya tidak melupakan begitu saja, bahwa bulan sya’ban dalah bulan yang mulia. Sesungguhnya bulan Sya'ban merupakan bulan persiapan untuk memasuki bulan suci Ramadhan. Dari sini, umat Islam dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan mempertebal keimanan dan memanjatkan doa dengan penuh kekhusyukan.


Syaifullah Amin
Pengurus Pusat Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU

Kamis, 21 Juni 2012

Seputih Melati

Melati tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya. Ia tak memiliki
warna dibalik warna putihnya. Ia juga tak pernah menyimpan warna lain untuk
berbagai keadaannya, apapun kondisinya, panas, hujan, terik ataupun badai
yang datang ia tetap putih. Kemanapun dan dimanapun ditemukan, melati selalu
putih. Putih, bersih, indah berseri di taman yang asri. Pada debu ia tak
marah, meski jutaan butir menghinggapinya. Pada angin ia menyapa, berharap
sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ianya tetap putih berseri.
Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. Kekanan ia
ikut, ke kiri iapun ikut. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya, karena
kemanapun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya.

Pada hujan ia menangis, agar tak terlihat matanya meneteskan air diantara
ribuan air yang menghujani tubuhnya. Agar siapapun tak pernah melihatnya
bersedih, karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan itu pula air dari
sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes. Sesungguhnya, ia senantiasa
berharap hujan kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami
setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya,
untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran.
Karena juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan
asanya. Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang
sejuk.

Pada tangkai ia bersandar, agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat
setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya,
menserikan alam. Agar kelak, apapun cobaan yang datang, ia dengan sabar dan
suka cita merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih
Sang Pencipta. Bukankah tak ada cinta tanpa pengorbanan? Adakah kasih sayang
tanpa cobaan?

Pada dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan
hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih.
Jika daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu, kepada siapa ia harus
meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi
putih?

Pada bunga lain ia bersahabat. Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada
persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik, karena masing-masing
memahami tugas dan peranannya. Tak pernah melati iri menjadi mawar, dahlia,
anggrek atau lili, begitu juga sebaliknya. Tak terpikir melati berkeinginan
menjadi merah, atau kuning, karena ia tahu semua fungsinya sebagai putih.

Pada matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan
sinarnya yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang
telah beku oleh pekatnya malam. Sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya
yang memecah kebekuan, seolah membuat melati merekah dan segar di setiap
pagi. Terpaan sinar mentari, memantulkan cahaya kehidupan yang penuh gairah,
pertanda melati siap mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini hingga
menunggu mentari esok kembali bertandang.

Pada alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap
jiwa yang bersamanya. Indah menghiasharumi semua taman yang disinggahinya,
melati tak pernah terlupakan untuk disertakan. Atas nama cinta dan keridhoan
Pemiliknya, ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru, agar
kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih. Yang tetap berseri
disemua suasana alam.

Pada unggas ia berteriak, terombang-ambing menghindari paruhnya agar tak
segera pupus. Mencari selamat dari cakar-cakar yang merusak keindahannya,
yang mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya.

Dan pada akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan
dilindungi selama ia diberikan kesempatan untuk melakoni setiap perannya.
Agar dalam berperan menjadi putih, tetap diteguhkan pada warna aslinya,
tidak membiarkan apapun merubah warnanya hingga masanya
mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya. Jika
pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai melati,
seputih melati. Dan orang memandangnya juga seperti melati.

Dan kepada melatiku, tetaplah menjadi melati di tamanku. Karena, aku akan
menjadi angin, menjadi hujan, menjadi tangkai, menjadi matahari, menjadi
daun dan alam semesta. Tetapi takkan pernah menjadi debu atau unggas yang
hanya akan merusak keindahannya, lalu meninggalkan melati begitu saja. ...

SUARA HATI


Cahayamu telah menerangi kegelapan pikiranku
Kasihmu bersemayam di dalam hatiku
Sinar matamu adalah jiwaku
Kekuasaanmu berada di balik setiap tindakanku

Kedamaianmu adalah ketenangan diriku
Kehadiranmu menuntun aku
Suaaramu terdengar jelas lewat kata yang ku ucapkan
Wajahmu terlihat jelas oleh wajahku

Di balik badan ini adalah jiwamu
Hidup ini adalah nafasmu
Oh,,.. suara hatiku
Diriku adalah dirimu

Rabu, 20 Juni 2012

HUMOR GUS DUR

1. Cerita Gus Dur dan Duta Masyarakat

PAGI-PAGI sekali, Gus Dur mengundang santrinya. “Tolong, Kang, dibacakan lagi tulisanku. Bilang saja kalau ada kalimat yang tidak mudah dipahami atau ada tanda baca yang belum pas,” Gus Dur meminta.

Kang Santri menerima dua lembar tulisan Gus Dur dengan takdim. Lalu duduk di bawah sang guru. Dia langsung membacanya dengan jelas. Tapi, paragraf pertama belum habis dibaca, Gus Dur keluarkan perintah yang lain.

“Sampeyan duduk di sini dong,” minta Gus Dur sambil menepuk-nepuk kursi di sampingnya. Kang Santri berdiri, dan sambil mesam-mesem tidak jelas, duduk di kursi, di samping sang guru.

Sejurus kemudian Kang Santri membacakannya kembali.

Setelah beres, Gus Dur meminta Kang Santri mengirim tulisannya. “Tolong kirim tulisanku ke Duta Masyarakat. Pakai internet Sampeyan ya, Kang,” kata Gus Dur. Yang dimaksud Gus Dur internet adalah surat elektronik atau e-mail.

Namun Kang Santri tidak langsung pergi. Tampak ada yang ingin disampaikan. “Gus, ini tulisan bagus sekali. Jika dikirim di koran nasional pasti dimuat,” Kang Santri usul.

“Ah, Sampeyan ini ngerti apa? Biar Duta Masyarakat itu koran lokal, tapi yang baca kan orang NU. Kirim saja ke sana, biar dibaca jama’ah NU di desa-desa,” ujar Gus Dur memberi pengertian.

“ Tujuanya memang agar orang NU menikmati tulisan bagus,” lanjut Gus Dur sambil ketawa ringan. Kang Santri hanya mantuk-mantuk, lalu mencium tangan Gus Dur. Dan Kang Santri pun bergegas ke warung internet. (Hamzah Sahal)

2. Gus Dur dan Kewalian Mbah Liem
GUS DUR mengenalkan KH Muslim Rifa'i Imampuro atau yang lebih dikenal dengan Mbah Liem, sebagai Wali Allah. Di obrolan terbatas, di pengajian umum, Gus Dur bilang bahwa Mbah Liem itu wali. Kepada wartawan, Gus Dur juga bilang demikian. Ta syak, khalayak ramai percaya Mbah Liem Wali.

M. Said Budairy pernah bercerita pada saya. Suatu kesempatan, dirinya bertanya tentang kewalian Mbah Liem, langsung kepada Mbah Liem, waktu itu Gus Dur juga ada di tengah-tengah keduanya. Mereka ngobrol santai-santai selepas Magrib, di kantor PBNU.

“Mbah, di mana-mana Gus Dur bilang Sampean Wali. Bagaimana ceritanya?” tanya Budairy, mungkin iseng, mungkin juga serius.

“Hahaha... Sampean diapusi Gus Dur,” jawab Mbah Liem sambil terkekeh-kekeh.

“Lho, saya tanya serius Mbah. Saya juga pengen jadi wali,” desak Budairy. Tawa dia antara mereka makin keras, Gus Dur yang tadinya serius baca majalah pun ikut tertawa.

“Begini Mas Said. Gus Dur pancen jago mempromosikan sahabat-sahabatnya, termasuk mempromosikan saya yang pendek, kurus, ndeso, bahasa Indonesia ora lancar,” Mbah Liem menjelaskan.

“Maksudanya pripun, Mbah?” Budairy tidak paham.

“Maksudnya biar saya terkenal, terangkat derajatku, dilirik orang,” ujar Mbah Liem enteng.

“Kok Gus Dur endak promosiin saya sebagai wali ya?” tanya Budairy sambil tertawa dan melirik Gus Dur.

“Lho, Sampean kan sudah jadi orang. Tinggal di tengah kota, jurnalis senior, aktivis PBNU, koncone okeh,” tambah Mbah Liem kalem. Budairy mantuk-mantuk. Gus Dur masih baca majalah. (Hamzah Sahal)
3. Gus Dur: Jauhi Narkobar!
Suatu hari Ketua Umum PBNU, Gus Dur, kedatangan rombongan kyai dan aktivis NU dari Lampung. Agendanya silaturahim dan ngobrol sana sini, saling bercerita berkembangan, dan tentu saja berbagi humor.
Tapi sayang, di tengah hangatnya obrolan, seorang kyai yang sudah berumur batuk-batuk terus, hingga menjadi perhatian seisi ruangan.
“Obatnya diminum belum Kyai?” tanya seorang anakmuda.
“Sudah tadi pagi,” jawab kyai sambil batuk.
“Tidur saja kyai, istirahat di mushola,” saran seorang kyai yang duduk di sampingnya.
“Jauh-jauh dari Lampung ke PBNU, sepuluh jam perjalanan, bayarnya mahal, masa sampai sini tidur,” jawab kyai sambil menutup mulutnya dengan dengan.
Gus Dur yang duduk di tengah-tengah, akhirnya angkat bicara, ”Makanya Kyai, jauhi Narkobar!”
“Ah, Sampean itu ada-ada saja, Gus. Saya tahu saja tidak itu Narkoba,” jawab kyai.
“Lha itu di saku sampean ada apanya?” tanya Gus Dur enteng.
“Ini rokok, Gus, bukan Narkoba!” jawab kyai lagi.
“Lah iya, saya dari tadi bilang, jauhi Narkobar,” kata Gus Dur.
“Narkoba? ‘R’-nya apa, Gus?” tanya pemuda yang duduk di pojok.
“Rokok,” jawab Gus Dur disambut gelak tawa terbahak-bahak. (Hamzah Sahal)
4. Kyai dan Nasi Bungkus
Suatu hari, KH Wahab Chasbullah mengajak KH Bisri Syansuri bersilaturahim kepada beberapa kyai di Jawa Timur. Ditemani seorang sopir dan seorang santri, berangkatlah dua kyai besar itu.
Tujuan pertama ditetapkan ke Kediri, lalu Nganjuk, baru ke Surabaya dan sekitarnya.
Untuk sarapan, mereka tidak khawatir karena Kediri dan Nganjuk dekat, dan pasti tuan rumah akan menyiapkan makanan.

Dalam perjalanan pulang ke Jombang, Mbah Wahab menyuruh sopirnya berhenti di warung pinggir jalan.
Kemudian Mbah Wahab mengajak Mbah Bisri ke warung. Sudah pasti Mbah Bisri tidak mau, meskipun sebenarnya lapar. Mbah Wahab pun sebenarnya paham dengan sikap Mbah Bisri yang  wira’i. Hanya ingin menggoda saja.

Akhirnya Mbah Bisri tinggal di mobil sendirian. Sementara tiga orang pergi makan di warung. Tapi diam-diam Mbah Bisri pesan ke santrinya.

“Heh.. bungkusno siji yo…” pintanya.

“Inggih (iya) Mbah,” si santri pelan menjawab.

Ketika Mbah Wahab dan sopir makan, si santri diam-diam mengantar nasi untuk Mbah Bisri. Ia pun langsung makan.

Belum selesai Mbah Bisri makan, Mbah Wahab dan sopirnya sudah berdiri tegak di samping mobil.

“Lho… katanya nggak mau?” tanya Mbah Wahab sambil senyum-senyum.

“Aku kan nggak mau ke warungnya tapi mau nasi bungkusnya. Kyai kok nongkrong di warung?” timpal Mbah Bisri enteng. Mbah Wahab hanya tersenyum-senyum. (Miftah Farid MH)

5. Lolos PNS Gara-gara 'Abdurrahman'
Seorang santri yang baru menyabet gelar S2 bidang sastra, mencoba di sisi mana takdirnya berpihak. Ia patuhi segala prosedur yang memakan banyak berkas itu; daftar calon PNS. Ia mengisi calon dosen Filologi, menyesuaikan dengan bidangnya; Sastra.

Semuanya mulus dilalui tanpa lubang atau ganjalan hingga akhirnya sampai di tahap wawancara.

“Coba sebutkan tokoh Islam Nusantara yang menelurkan naskah klasik?” tanya penguji.

“Syekh Abdurrahman Sinkil, asal Aceh pak,” jawabnya yakin.

“Wah, gimana mau meneliti naskah kuno, menyebut nama tokoh saja kamu tidak akurat. ‘Abdurrauf Sinkil’ yang tepat,” tolak penguji.

“Lha, ‘Abdurrauf Sinkil’ itu sudah umum pak! ‘Abdurrahman’ ini temuan baru. Bapak bisa temukan pada naskah lain,” tandasnya percaya diri.

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-lang,id-ids,8-t,humor-.phpx
 

Blogger news

Blogroll