Sabtu, 17 Mei 2014

LEMBAGA KEUANGAN NON BANK




Asuransi Syari’ah dan Konvesional

1.      Definisi dan Prinsip Hak Azas
a.       Pengertian
Asuransi Konvesional merupakan Kata Asuransi berasal dari bahasa inggris, insurance yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri dari kepada tertanggung dengan menerima premii asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
Asuransi Syariah Dalam bahasa Arab kata asuransi disebut dengan at-ta’min yang asal katanya dari kata amana yang mempunyai arti perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, sedangkan penanggung berasal dari kata mu’amin dan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min. Sedangkan pengertian asuransi dalam Ensiklopedi hukum islam adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat “.[2]

b.      Prinsip Hak Azas
Dalam asuransi, khususnya asuransi kerugian, ada 5 prinsip utama yaitu:
1)   Prinsip Kepentingan
Pasal 250 KUHD mengatur bahawa apabila seseorang mengadakan suatu perjanjian pertanggungan terhadap diri sendiri atau apabila diadakan suatu pertanggungan, tetapi pada saat diadakan pertanggungan ternyata tidak mempunyai kepentingan (Interest) terhadap yang dipertanggungkan itu, penanggung tidak diwajibkan untuk memberikan ganti rugi bila terjadi kerugian. Prinsip kepentingan menegaskan bahwa orang yang menutup asuransi harus mempun yai kepentingan (Interest) atas harta benda yang dapat diasuransikan (Insurable). Jadi, pada hakekatnya yang diasuransikan bukanlah harta benda itu, tetapi kepentingan tertanggung atas harta benda itu.
Sealin itu, agar kepentingan itu dapat diasuransikan (insurable interest), kepentingan itu harus legal dan patut (legal and equitable). Untuk membuktikan legal atau tidak,  dibuktikan dengan surat0surat resmi (otentik) dari harta benda yang bersangkutan. Inti dari insurable interest adalah sebagai berikut:
·         Harus ada kepentingan atas harta benda yang dapat dilimpahkan kepada orang lain.
·         Harta benda itu harus yang dapat diansurasikan (insurable).
·         Harus ada hubungan antara tertanggung dengan harta benda itu, yaitu:
o  Bila harta benda itu rusak atau hilang, tertanggung mengalami kerugian.
o  Bila hak atas harta benda itu hilang (lepas), tertanggung mengalami kerugian.
2)      Prinsip Jaminan
Prinsip jaminan (principle of indemnity) menjelaskan bahwa jaminan ada bila timbul kerugian. Sebaliknya, tidak ada jaminan bila tidak ada kerugian. Bila ada kerugian atas insurable interest, maka yang tertanggung tidak boleh memperoleh keuntungan dari ganti rugi. Inilah dasar dari prinsip jaminan. Berpedoman kepada prinsip ini, maka tertanggung akan memperoleh ganti rugi dari penanggung, dengan tujuan :
ü  Mengembalikan tertanggungan kepada posisinya semula seperti halnya sebelum kerugian menimpanya; atau
ü  Mengindarkan tertanggug dari bangkrut sedemikian rupa sehingga ia mampu berdiri di tempatnya semula seperti halnya sebelum kerugian menimpanya.
Menurut prinsip jaminan ini, tertanggung hanya boleh memperoleh ganti rugi maksimal sebesar kerugian yang dideritanya, sekedar untuk mengembalikannya pada kedudukannya semula.
3)      Prinsip Kepercayaan
Dalam asuransi, kepercayaan (trustful) dari penanggung mendapat tempat terhormat dalam setiap penutupan asuransi. Bila tidak ada kepercayaan dari pihak penanggung, maka bisnis asuransi akan mengalami kegagalan. Misalnya dalam asuransi pengangkutan, sudah terang tidak mungkin penanggung melakukan pemeriksaan fisik atas berbagai jenis barang yang sedang dimuat atau telah dimuat kedalam alat pengangkut. Dalam keadaan yang demikian, penanggung percaya saja atas keterangan dan data yang diberitahukan oleh penanggung.
Demikian juga mengenai harga barang, penanggung percaya saja atas harga yang diberitahukan oleh tertanggung. Bahkan umunya penanggung menyilahkan tertanggung untuk menentukan jumlah harga pertanggungan yang akan dimasukan ke dalam polis.

4)      Prinsip Itikad Balik
Seperti halnya kepercayaan pihak penanggung mendapat tempat terhormat dalam penutupan asuransi, demikian juga itikad baik (good faith) dari pihak tertanggung juga mendapat tempat terhormat dalam penutupan asuransi. Sudah seharusnya kepercayaan pihak penanggung diimbangi dengan itikad baik oleh pihak tertanggung, yaitu dengan memberitahukan semua keterangan dan data yang diketahui atas interest, beritahukan kepada penanggung tanpa ditambah-tambahi, juga tanpa dikurang-kurangi. Maka agar bisnis asuransi dapat berlangsung dengan baik dan mulus, mutlak diperluka n kepercayaan dari pihak penanggung yang diimbangi oleh itikad baik dari pihak tertanggung. Tanpa adanya keseimbangan antara kepercayaan dan itikad baik itu, maka bisnis asuransi tidak bisa berperan baik dalam masyarakat.
Demikian kepercayaan dan itikad baik memegang peranan penting dalam bisnis asuransi. Kepercayaan dan itikad baik harus saling mengimbangi, bukan hanya dalam penutupan asuransi, tetapi juga selama polis berlaku maupun dalam penyelesaian tuntutan ganti rugi (klaim) Sebagai konsekuensi dari prinsip jaminan adalah pengalihan hak (subrogasi) dari tertanggung kepada penanggung bila penanggung telah membayar ganti rugi kepada tertanggung.[3]
Prinsip-prinsip asuransi syari’ah Prinsip-prinsip umum mu’amalat yang melandasi asuransi syari’ah:
a.       Tauhid (Ketaqwaan)
Allah selalu menyuruh umutnya dalam bermu’amalat yang akan menumbuhkan ketakwaan kepada Allah, karena ketika seorang muslim bermuamalat bahwa apa yang dikerjakannya merupakanibadah kepada Allah, yang akan menambah ketakwaankepada-Nya.
b.      Al-‘Adl (Sikap Adil)
Salah satu pilar penyangga kebebasan ekonomi adalah dengan keadilan, sikap adil sangat dibutuhkan dalam bisnis syari’ah karena implementasi keadilan sangat berat diterapkan. Sikap adil dibutuhkan saat pembagian nisbah bagi hasil mudhorobah, musyarakah, wakalah, wadi’ah dan lainnya. Dalam asuransi sikap adil diterapkan dalam pembagian surplus underwriting, dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta. Dan keadilan juga harus dilakukan dalam pemenuhan hak pekerja dalam pembayaran upah.
c.       Adz-Dzulm (Kedzaliman)
Kedzaliman adalah kebalikan dari keadilan, Allah sangat mengecam keras perbuatan ini bila diterapkan dalam bisnis. Oleh karena itu sebisa mungkin para pelaku bisnis menghindarinya jangan sampai menimbulkan kerugian bagi orang lain.
d.      At-Ta’awun (Tolong-Menolong)
Ta’awun menjadi pilar selanjutnya dalam mu’amalat karena ta’awun dapat membangun fondasi yang kokoh dalam sistem ekonomi. Dan ta’awun menjadi konsep utama dari takaful atau asuransi islam. Islam mengharamkanriba karenaingin menghidupkan sikap ta’awun.
e.       Al-Amanah (Terpercaya/Jujur)
Nilai paling penting dalam transaksi bisnis adalah sikap kejujuran. Prinsip amanah juga harus diimbangi dengan sikap profesionalisme karena ini berpengaruh dalam penepatan seseorang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.
f.       Ridho (Suka sama suka)
Dalam transaksi mu’amalat perlu adanya suka sama suka karena tanpa keridhoan antara keduanya maka seluruh akad menjadi batal. Jadi ridhomenjadi syarat sahnya suatu transaksi mu’amalat.
g.      Riswah (Sogok/Suap)
Dalam tatanan kehidupan perekonomian sangat berat dalam implementasikanny dilihat dari kultur budaya korupsi yang sangatkental di Indonesia karena riswan akanmerusaktatanan profesionalisme dalam bisnis.
h.      Maslahah (Kemaslahatan)
Islam memberikan kemudahan kepada umtnya karena bila dalam keadaan darurat segala hal yang diharamkan menjadi bolehasalkan sesuai dengan ketentuandan melebihi batas.
i.        Khitman (Pelayanan)
Dalam menjalankan bisnis ekonoi kita harus memberikan pelayanan yang terbaik untuk pelanggan karena pelayanan yang baik mencerminkan perilaku luhur warisan nabi.
j.        Tathfif (Kecurangan)
Kecurangan biasa sering terjadi dalm transaksi bisnis misalkan saja dalam pengurangan timbangan, menentukan rate,menetapkan klaim asuransi, menaksir suatu barang,hendakanay bisnis dilakukan dengan adil, jujur dan transparan agar dapat diridhoi oleh Allah.
k.      Gharar, Maysir, Riba
Ketiga sifat ini adalah hal yang paling dihindari dalam proses transaksi syari’ah.[4]

2.      Dasar Hukum Asuransi
Dasar hukum asuransi konvensional
Dasar hukum asuransi konvensional yang diatur di negara Indonesia berdasarkan :
a.    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246.
b.    Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1992 Bab 1 pasal 1 tentang usaha perasuransian
c.    Peraturan pemerintah No. 63 tahun 1999 yang telah diubah dari peraturan pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha perasuransian.
d.   Keputusan menteri keuangan RI No. 421/KMK.06/2003, tentang penilaian kemampuan dan kepatutan bagi direksi dan komisaris perusahaan dan perasuransian.
e.    Keputusan menteri keuangan No. 422/KMK. 06/2003, tentang penyelenggaraan usaha perusaan asuransi dan perusahaan reasuransi
f.     Keputusan menteri keuangan No. 423/KMK. 06/2003, tentang pemeriksaan perusahaan perasuransian
g.    Keputusan menteri keuangan No. 424/KMK. 06/2003, tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
h.    Keputusan menteri keuangan No. 425/KMK. 06/2003, tentang perizinan dan penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan penunjang usaha asurasi
i.      Keputusan menteri keuangan No. 426/KMK. 06/2003, tentang perizinan uasha dan kelembagaan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.[5]

Dasar hukum asuransi syari’ah
Konsep dalam asuransi syari’ah berdasarkan dalam konsep takaful, dimana takaful berlandaskan rasa tanggung jawab dan persaudaraan. Dalam ilmu tashrif atau sharaf takaful termasuk kedalam bina muta’adi yaitu tafaa’aala yang mempunyai arti saling menenggung atau saling menjamin.
Landasan asuransi syari’ah yang bersumber dari sunnah :

“ Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang yang beriman antra satu dengan yang lainnya sepeerti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuhny sakit maka seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasakannya”. ( HR. Bukhori dan muslim).

“ Sesungguhnya seseorang yang beriman itu ialah barang siapa yang memberi keselamatan dan perlindungan harta dan jiwa manusia”. ( HR. Ibnu Majah )
“ setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab, dan setiap kamu bertanggung jawab atas oragng-orang yang berada dibawah tanggung jawabnya”. ( Bukhori dan Muslim).[6]

Landasan hukum positif asuransi Syari’ah :
ü  Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor : 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah. Dalam fatwa ini disebutkan beberapa prinsip umum tentang asuransi Syari’ah disamping akad dalam asuransi Syari’ah.
ü  Secara umum, peraturan landasan hukum asuransi Syari’ah pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada asuransi konvensional karena hal-hal yang berkenaan dengan administrasi dan sistem laporannya.[7]

3.      Prosedur dan Perhubungan Hukumnya
Asuransi Syariah
Dana Tabaruk (kebajikan)
Perusahaan
Dana
                   Masuk                         digunakan
Tabungan
Asuransi
 





Dana yang didapat oleh perusahaan dari nasabah yang membayar premi kepada perusahaan Asuransi syari’ah langsung di bagi menjadi tiga bagian:
1.      Di simpan di bagian dana taburuk (dana kebajikan)
2.      Di simpan di bagian tabungan
3.      Di simpan untuk pencairan asuransi.


Perusahaan
Asuransi konvensional
Dana Tabungan
Dana
                        Masuk                              digunakan
Dana Asuransi
 


Dana yang diperoleh dari nasabah yang menggunakan jasa asuransi dana di masukan ke dalam tabungan dan dan asuransi, yang itu dari perusahaan asuransi langsung membaginya dan nasabah langsung mengetahui berapa premi yang akan di dapat.
Dengan hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu bentuk perikatan. Pada Pasal 1233 KUHPerdata dikatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Dalam hal ini ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh para pihak, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti perikatan adalah “hubungan hukum antara 2 (dua) atau lebih orang (pihak) dalam bidang/ lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut”.[8]

4.      Perlindungan Nasabah
Sesuai dengan permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan menjamin nasabah asuransi, akan tetapi LPS masih menunggu keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU) asuransi yang mengatur itu. Sebagai suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah bank di Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), juga siap menjamin nasabah asuransi. Perlindungan yang dilakukan LPS pada asuransi, yakni salah satunya terkait kerugian dana nasabah jika terjadi kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. Hal itu dikatakan Ketua LPS, Kartika Wirjoatmodjo, seiring dengan permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang meminta agar LPS tidak hanya menjamin nasabah bank saja, akan tetapi bisa menjamin nasabah asuransi.
“Penjaminan terhadap nasabah asuransi ini perlu dibahas dengan sangat hati-hati. Pasalnya, industri asuransi lebih kompleks dibanding perbankan," pungkasnya. Sebelumnya, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mempercepat untuk memperluas kewenangan LPS agar melindungi nasabah asuransi melalui Undang-Undang Usaha Perasuransian yang baru. Sebagaimana diketahui, sejak 2013 draft RUU Usaha Perasuransian sudah masuk ke DPR, namun RUU tersebut belum masuk ke dalam tahap pembahasan. Hanya saja, Komisi XI sudah meminta masukan dari OJK, lembaga asuransi, pakar perasuransian dan asosiasi.
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti S Soetiono mengatakan guna mewujudkan keinginan OJK tersebut, perlu adanya dukungan dari pemerintah dan DPR berupa UU Usaha Perasuransian sebagai payung hukum. "RUU asuransinya masih di DPR, tetapi memang perlu untuk dipikirkan untuk melindungi nasabah,"[9]

5.      Kelebihan dan Kelemahan
Dalam upaya pengembangan operator asuransi syariah baru di Indonesia, yang dapat menjadi kekuatan positif adalah sebagai berikut :
§  Tenaga kerja professional/ sumber daya manusia inti yang kompeten dan memiliki integritas moral dan ghirah Islam, yang berada dalam sebuah teamwork yang solid.
§  Pemegang saham yang memiliki visi misi syariah yang jelas.
§  Kelompok pemegang saham yang mampu mengusahakan “captive market” awal.
§  Kelompok pemegang saham diharapkan memiliki potensi ‘network” yang bisa diintegrasikan dengan system yang dimiliki”professional teamwork”.
§  Kelompok pemegang saham diharapkan memiliki infra struktur teknologi dan potensi tenaga ahli.
§  Dalam aspek legal, sifat perjanjian yang memenuhi syarat syariah mampu member rasa aman kepada peserta asuransi syariah, selain unsur duniawi semata
§  Adanya unsur dakwah
§  Produk asuransi bersifat transparan (berkeadilan)
Namun demikian, system asuransi syariah dan “core team” asuransi syariah baru ini memiliki beberapa kelemahan yang masih dalam tahap peningkatan, yaitu:
§  SDM pendukung belum banyak memahami bisnis syariah.
§  Dalam hal pemasaran, alternative distribusi relative masih terbatas disbanding pola konvesional.
§  Kompleksitas dalam administrasi syariah memerlukan dukungan system yang handal.
§  Permodalan yang terbatas
§  Apabila pemegang saham kurang menghargai pentingnya investasi di bidang IT sebagai “modeling tools” dan “administrasi tools”
§  Pengalaman langsung/penerapan modal terhadap bisnis riil belum cukup
§  Lemahnya “public relations” untuk mengomunikasikan keunggulan LKS[10]

6.      Persamaan dan Perbedaan
Ø  Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari'ah . Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
1.      Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
2.      Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
3.      Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifat mustamir (terus)
4.      Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
Ø  Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah .
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal: Pertama , keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.Adapun dalam asuransi konvensional, pengawasan manajemennya diawasi oleh BAPEPAM LK ( Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) adalah sebuah lembaga di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang bertugas membina, mengatur, dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang lembaga keuangan. Kedua , prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).Keduanya. Ketiga , dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga. Keempat , premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi syari’ah maupun konvensional tidak jauh berbeda kegunaannya. Saya tekankan disini standar syar’i memang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin, akan tetapi jangan hanya berpatok kepada unsur syari’ahnya saja dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin berhati-hati dalam memilih produk asuransi, syari’ah atau tidak syari’ah yang penting harus jela aqod di depan, harus jelas pembagian keuntungannya.Termasuk pengetahuan mengenai produk yang diambil, apakah sudah benar-benar sesuai dengan kebutuhan Anda. Hindari membeli produk karena teman, saudara, sahabat atau bahkan kekasih karena hal tersebut akan merugikan diri Anda sendiri, tetapi belilah produk yang tepat dan Anda harus betul-betul tahu akan kegunaan produk tersebut untuk masa depan Anda dan keluarga Anda.[11]



[1] AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta:Prenada Media, 2004, hlm. 57
[2] Yadi Janwari, Asuransi Syari’ah, Bandung:Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 1
[3] AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta:Prenada Media, 2004, hlm. 77-83
[4] Ibid…. hlm. 125-134
[5] Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, Jakarta:1992 Seri Umum, hlm. 40-42
[6] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syari’ah Dalam Praktek, Depok:Gema Insani Press, 2006, hlm. 54
[7]Yadi Janwari, Asuransi Syari’ah, Bandung:Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 29
[8] Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta, 2004, hlm. 22
[9] Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Di Indonesia, Jakarta:Rienika Cipta, 2004, hlm. 156
[10] Yadi Janwari, Asuransi Syari’ah, Bandung:Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 107
[11] Ibid …. 90-95
 

Blogger news

Blogroll