Senin, 18 Juni 2012

Analisis Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan Perusahaan Pengakuisisi Sebelum dan Sesudah Merger dan Akuisisi di Bursa Efek Indonesia



I.  PENDAHULUAN
Pengembangan perusahaan terus dilakukan oleh manajer perusahaan dalam rangka menghadapi persaingan dan kelangsungan usahanya. Pengembangan usaha ini dapat dilakukan melalui restrukturisasi perusahaan. Terdapat beberapa bentuk restrukturisasi.
perusahaan, yaitu dengan melakukan  merger, akuisisi, konsolidasi, divestasi,  going private,  leveraged buyout (LBO), dan  spin-off. Terdapat dua perspektif utama mengapa perusahaan melakukan restrukturisasi, yaitu untuk memaksimalkan nilai pasar yang dimiliki oleh pemegang saham yang ada dan kesejahteraan manajemen (Foster, 1986:461).   Dalam pelaksanaan  merger dan akuisisi terdapat suatu kondisi yang mendukung adanya tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi. Pada situasi perusahaan pengakuisisi ingin melakukan merger dan akuisisi dengan cara pembayaran lewat saham, pihak manajemen perusahaan pengakuisisi cenderung akan berusaha untuk meningkatkan nilai laba perusahaannya. Tujuannya adalah selain ingin menunjukkan  earnings power perusahaan agar dapat menarik minat perusahaan target untuk melakukan akuisisi juga untuk meningkatkan harga saham perusahaannya. Erikson dan Wang (1999) dalam Hastutik (2006) menyatakan bahwa kecenderungan adanya praktik manajemen laba menjelang merger dan akuisisi bertujuan untuk meningkatkan harga sahamnya sebelum  stock merger agar dapat mengurangi biaya pembelian perusahaan target. Keputusan manajemen perusahaan yang memilih untuk melakukan manajemen laba dengan cara  income increasing accrual akan membawa konsekuensi terhadap kinerja perusahaan yang akan mengalami suatu penurunan pada periode sesudahnya.
Penelitian-penelitian terdahulu telah membuktikan adanya manajemen laba dalam beberapa kasus. Rahman dan Bakar (2002) seperti yang dikutip oleh Kusuma dan Udiana Sari (2003) telah membuktikan adanya manajemen laba melaui discretionary accrual pada perusahaan pengakuisisi sebelum merger dan akuisisi di Malaysia pada tahun sebelum akuisisi. Sementara Ericson dan Wang (1999) dalam Hastutik (2006) menunjukkan bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan manajemen laba pada periode sebelum  merger dan mengidentifikasi bahwa tingkat  income incresing  earnings management berhubungan positif dengan ukuran merger.
Payamta (2000) menemukan tidak adanya perbedaan kinerja yang signifikan sebelum dan sesudah merger dan akuisisi, baik dari segi rasio keuangan maupun harga saham. Selanjutnya Payamta menambahkan ada kemungkinan terjadi tindakan  window dressing atas pelaporan keuangan perusahaan pengakuisisi untuk tahun-tahun sebelum merger dan akuisisi dengan menunjukkan kekuatan perusahaan yang lebih baik sehingga menarik bagi perusahaan target. Secara teori, setelah merger dan akuisisi ukuran perusahaan dengan sendirinya bertambah besar karena aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan digabung bersama. Dasar logis dari pengukuran berdasarkan akuntansi adalah bahwa jika ukuran bertambah besar ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas yang simultan, maka laba perusahaan juga akan semakin meningkat. Oleh karena itu, kinerja pasca  merger dan akuisisi seharusnya semakin baik dibandingkan dengan sebelum merger dan akuisisi.
Di Inggris, Meeks (1977) dan Kumar (1984) dalam Hadiningsih (2007) meneliti pengaruh  merger terhadap profitabilitas preusan yang melakukan merger. Penelitian itu membuktikan adanya penurunan profitabilitas yang signifikan setelah tiga tahun dan lima tahun dengan menggunakan laba operasi. Adanya perbedaan antara teori dengan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ada hal yang terjadi yang memicu terjadinya penurunan kinerja perusahaan. Penelitian ini membahas mengenai fenomena manajemen laba khususnya pada perusahaan-perusahaan yang  listing di pasar modal Indonesia (BEI) yang melakukan kegiatan merger dan akuisisi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat konsistensi dari hasil penelitian-penelitian terdahulu yang sebagian besar menyatakan telah terjadi tindakan manajemen laba pada perusahaan pengakuisisi sebelum perusahaan tersebut melaksanakan kegiatan  merger dan akuisisi. Melalui pengambilan sampel yang berbeda dari penelitian terdahulu, peneliti juga ingin melihat perbedaan kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi pada saat sebelum dan sesudah merger dan akuisisi.
Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) membuktikan bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan manajemen laba dengan cara menaikkan nilai akrual (income increasing accrual) sebelum merger dan akuisisi dengan tujuan untuk meningkatkan laba dan saham yang terjual sehingga biaya yang dikeluarkan untuk melakukan merger dan akuisisi menjadi lebih rendah, (2) dengan membandingkan kinerja, peneliti ingin membuktikan bahwa manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi sebelum melakukan merger dan akuisisi, telah memicu perbedaan kinerja keuangan perusahaan yang dinilai cenderung mengalami penurunan setelah melakukan kebijakan  merger dan akuisisi.
II.  KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Penelitian tentang manajemen laba ini dilandasi oleh  agency theory. Dalam hal ini hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak antara satu orang atau lebih (principal) yang mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada  agent tersebut (Jensen and Meckling, 1976) dalam Andriyani (2008:10).  Eisenhardt (1989) dalam Andriyani (2008:20) menyatakan ada tiga asumsi sifat manusia terkait dengan teori keagenan, yaitu (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan cenderung bertindak oportunis, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi dan hal ini memicu terjadinya konflik keagenan. Teori ini memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara  principal dan  agent. Pihak agent termotivasi untuk memaksimalkan  fee kontraktual yang diterima sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan ekonomis dan psikologisnya. Sebaliknya, pihak  principal termotivasi untuk mengadakan kontrak atau memaksimalkan  returns dari sumber daya untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Konflik kepentingan ini terus meningkat karena pihak principal tidak dapat memonitor aktivitas  agent sehari-hari untuk memastikan bahwa  agent bekerja sesuai dengan keinginan para pemegang saham. Sebaliknya,  agent sendiri memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang memicu timbulnya ketidakseimbangan informasi antara  principal dan  agent. Kondisi ini dinamakan dengan asimetri informasi.  Menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Susanta (2006:10), hubungan  principal dan  agent sering ditentukan dengan angka akuntansi. Hal ini memicu  agent untuk memikirkan bagaimana
akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya, di mana salah satu bentuk tindakan agent tersebut adalah manajemen laba.
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui  Positive Accounting Theory  dan  Agency Theory. Watts dan Zimmerman (1986) dalam Halim dkk. (2005:119) mengusulkan tiga hipotesis yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan manajemen laba yaitu sebagai berikut. (1) Hipotesis Program Bonus (Bonus Plan Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan yang menerapkan program bonus lebih cenderung untuk menggunakan metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang akan menaikkan laba saat ini dengan memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. (2) Hipotesis Perjanjian Utang (Debt Covenant Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio  debt to equity besar atau menghadapi kesulitan utang, maka manajer perusahaan akan cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan laba. (3) Hipotesis Kos Politis (Political Cost Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politik yang dihadapi suatu perusahaan maka manajer cenderung untuk menangguhkan laba berjalan ke masa yang akan datang. Biaya politik muncul sebagai akibat dari profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen.
Manajemen laba didefinisikan sebagai berikut. Schipper (1989) dalam Belkaoui (2004) melihat manajemen laba sebagai suatu intervensi yang disengaja pada proses pelaporan eksternal dengan maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan pribadi, yang dapat dilakukan melalui pemilihan metode-metode akuntansi dalam GAAP (General Accepted Accounting Principles) ataupun dengan cara menerapkan metode-metode yang telah ditentukan dengan cara tertentu. Healy dan Wahlen (1999) dalam Sutrisno (2002:164) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan dalam pelaporan keuangan dan membentuk transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk memanipulasi besaran laba kepada  stakeholders tentang kinerja ekonomi yang mendasari perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Sugiri (1998) dalam Widyaningdyah (2001:92) membagi manajemen laba dalam dua definisi : (a) dalam arti sempit, manajemen laba sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen  discretionary accrual dalam menentukan besarnya  earnings, (b) dalam arti luas, manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (menurunkan) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit, di mana manajer bertanggung jawab tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Copeland (1968) dalam Utami (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen.
Menurut Scott (2000:352), beberapa hal yang memotivasi seorang manajer untuk melakukan manajemen laba antara lain (1)  bonus scheme, (2) debt covenant, (3) political motivation, (4) taxation motivation, (5) pergantian CEO, dan (6) initial public offering. Scott  (2000:365) menambahkan bentuk-bentuk dari manajemen laba antara lain taking a bath/big bath,  income minimization, income maximization, dan  income smoothing.
Husnan (2001 : 44) menyatakan bahwa untuk mencapai prestasi dan posisi keuangan suatu perusahaan, seorang analis keuangan memerlukan ukuran tertentu. Ukuran yang sering kali digunakan adalah rasio atau indeks yang menunjukkan hubungan antara dua data keuangan.
Menurut Van Horne (2005:133) analisis rasio keuangan melibatkan dua jenis perbandingan, yaitu (1) perbandingan internal, yang membandingkan rasio saat ini dengan rasio masa lalu dan rasio yang akan datang dalam perusahaan yang sama dan (2) perbandingan eksternal dan sumber-sumber rasio industri, yang membandingkan rasio satu perusahaan dengan perusahaan-perusahaan sejenis atau dengan rata-rata industri pada titik waktu yang sama.  Sartono (2001:119) mengemukakan bahwa analisis dapat dilakukan dengan membandingkan prestasi satu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui adanya kecenderungan selama periode tertentu. Selanjutnya ia menegaskan bahwa analisis keuangan yang mencakup analisis rasio keuangan, analisis kelemahan dan kekuatan di bidang finansial akan sangat membantu dalam menilai prestasi manajemen pada masa lalu dan prospeknya pada masa mendatang. Analisis dan interpretasi dari macam-macam rasio dapat memberikan pandangan yang lebih baik tentang kondisi keuangan dan prestasi perusahaan daripada analisis yang hanya didasarkan atas data keuangan yang tidak berbentuk rasio.
Penggabungan usaha merupakan salah satu cara restrukturisasi perusahaan agar sinergi. Dalam penggabungan usaha ini beberapa unit perusahaan yang secara ekonomis berdiri sendiri menyatukan diri menjadi satu kesatuan ekonomis meski secara hukum dapat saja unit-unit tersebut berdiri sendiri. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No. 22, 2007) mendefinisikan penggabungan usaha sebagai bentuk penyatuan dua perusahaan atau lebih yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan perusahaan lain ataupun memperoleh kendali atau kontrol atas aktiva dan operasi perusahaan lain. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa penggabungan usaha merupakan aktivitas perluasan usaha yang dilakukan dengan cara menggabungkan suatu perusahaan dengan satu atau beberapa perusahaan lain ke dalam satu kesatuan ekonomi sebagai upaya untuk memperluas usaha.
Merger merupakan salah satu strategi yang diambil perusahaan untuk mengembangkan dan menumbuhkan perusahaan. Menurut Foster (1986: 460)  merger adalah penggabungan usaha dari dua perusahaan atau lebih, tetapi salah satu nama perusahaan masih tetap digunakan, sedangkan yang lain melebur menjadi satu kesatuan hukum.  Akuisisi berasal dari kata acquisitio (Latin). Secara harfiah akuisisi adalah membeli atau mendapatkan sesuatu untuk ditambahkan pada sesuatu yang telah dimiliki sebelumnya. Akuisisi adalah pembelian perusahaan lain dengan cara membeli saham atau aktiva perusahaan lain (Foster, 1986 : 460). Berdasarkan PSAK No.22 (IAI, 2007) akuisisi adalah suatu penggabungan usaha dari dua perusahaan atau lebih dan salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi dengan memberikan aktiva tertentu, mengakuisisi suatu kewajiban, atau dengan mengeluarkan saham. Rahman dan Baker (2002) dalam Kusuma dan Udiana Sari (2003) telah membuktikan adanya manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi sebelum  merger dan akuisisi melalui discretionary accrual. Erikson dan Wang (1999) dalam Hastutik (2006:21) menginvestigasi apakah perusahaan pengakuisisi cenderung untuk menaikkan harga sahamnya sebelum  stock merger  agar dapat mengurangi biaya pembelian perusahaan target. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan manajemen laba sebelum merger. Hastutik (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa perusahaan pengakuisisi telah melakukan tindakan menejemen laba sebelum merger dan akuisisi dengan nilai discretionary accrual (DA) yang bersifat positif. Di samping itu, ditemukan juga adanya perbedaan nilai dari  discretionary accrual  pada periode sebelum dan sesudah merger dan akuisisi. Payamta dan Setiawan (2004) melakukan penelititan mengenai pengaruh keputusan merger dan akuisisi terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan rasio keuangan dan harga saham sebelum dan sesudah merger dan akuisisi di sekitar peristiwa terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dua tahun sebelum dan sesudah peristiwa
merger dan akuisisi tidak terjadi perbedaan kinerja yang signifikan, baik dari segi rasio maupun harga saham. Dewi (2008) dalam penelitiannya yang menggunakan rasio-rasio likuiditas (current ratio), profitabilitas (ROI), aktivitas (TAR), dan solvabilitas (debt to equity ratio) menyatakan bahwa rasio CR dan TAR mengalami peningkatan yang signifikan pada periode setelah akuisisi, sedangkan rasio ROI dan DER mengalami penurunan yang signifikan pada periode setelah akuisisi. Hadiningsih (2007), yang meneliti mengenai dampak jangka panjang  merger dan akuisisi terhadap kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi dan perusahaan diakuisisi di BEJ melalui rasio-rasio keuangan yang terdiri atas likuiditas, profitabilitas,  leverage, aktivitas, dan  return saham
menemukan bahwa secara umum  merger dan akuisisi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi dan perusahaan diakuisisi. Berdasarkan kajian teori-teori yang relevan dan hasi-hasil yang diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H1: Terdapat praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan pengakuisisi dengan cara menaikkan nilai akrual (income increasing accrual) sebelum  merger dan akuisisi.
H2: Terjadi penurunan kinerja keuangan pada perusahaan pengakuisisi setelah pelaksanaan merger dan akuisisi.
III.  METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Objek penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2002, kecuali perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara  non probability sampling, yaitu dengan dengan pendekatan purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut. (1) Perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan melakukan merger dan akuisisi antara tahun 2001 sampai dengan tahun 2002.  (2) Perusahaan termasuk industri manufaktur dan industri lain selain kelompok perusahaan yang bergerak di bidang asuransi dan  industri finance atau perusahaan perbankan dan lembaga keuangan lainnya. (3) Perusahaan memiliki tanggal merger dan akuisisi yang jelas. (4) Menerbitkan laporan keuangan auditan secara lengkap selama empat tahun berturut-turut sebelum merger dan akuisisi serta satu tahun setelah  merger dan akuisisi dengan periode berakhir per 31 Desember. (5) Menggunakan mata uang Indonesia (rupiah) dalam laporan
keuangannya.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan mengakses langsung ke situs yang berhubungan dengan Bursa Efek Indonesia, yaitu www.bapepam.go.id, www.idx.co.id dan www.e-bursa.com.
Teknik Analisis Data
Uji  independent sample t-test digunakan untuk menguji hipotesis 1, yakni untuk mengetahui apakah pihak manajemen melakukan tindakan manajemen laba dengan cara menaikkan atau menurunkan nilai akrual perusahaan pada periode satu tahun sebelum pelaksanaan merger dan akuisisi.  Uji  paired sample t-test  digunakan untuk menguji hipotesis 2, yakni untuk membuktikan apakah terjadi penurunan kinerja perusahaan jika dilihat dari segi rasio likuiditas (CR), profitabilitas (ROI), dan solvabilitas (DER) pada periode sesudah pelaksanaan  merger dan akuisisi.
IV.  PEMBAHASAN
Berdasarkan kriteria sampel yang telah ditetapkan sebelumnya terdapat 10 sampel yang melakukan merger dan akuisisi mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2002 yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 2 menunjukkan statistik deskriptif dari  discretionary accrual  (DA) dan rasio keuangan pada periode satu tahun sebelum dan sesudah merger
dan akuisisi.    Pengujian terhadap hipotesis ke-1 dilakukan dengan menggunakan uji statistik  Independent Sample t-Test dengan tingkat kesalahan (α=5%). Adanya praktik manajemen laba ditunjukkan dengan adanya nilai DA yang signifikan pada periode menjelang atau sebelum pelaksanaan merger dan akuisisi. Hasil Pengujian terhadap hipotesis ke-1 disajikan pada tabel 3 dan 4.
Berdasarkan hasil pada Tabel 3 dan 4, rata-rata unsur kenaikan pendapatan adalah 0,2217, sedangkan rata-rata akrual diskresioner dari unsur kenaikan biaya adalah -0,0620. Secara deskriptif jelas bahwa rata-rata akrual diskresioner dari unsur pendapatan lebih besar daripada unsur kenaikan biaya. Pengujian dengan menggunakan Independent Sample t-Test menunjukkan F hitung Levene’s Test sebesar 4,204 dengan tingkat kesalahan prediksi (p-value) sebesar 0,074 atau 7,4%. Berdasarkan hasil tersebut, di mana nilai (p-value) > α = 5% maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok mempunyai  variances yang sama. Dengan demikian, analisis uji beda  t-test menggunakan asumsi equal variances assumed. Nilai t pada  equal variances assumed adalah 4,049 dengan nilai (p-value) sebesar 0,004 (2-tailed). Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada periode satu tahun sebelum  merger dan akuisisi pihak perusahaan pengakuisisi telah melakukan tindakan manajemen laba dengan cara meningkatkan laba atau menaikkan nilai akrual perusahaan (income increasing accrual).  Hasil penelitian ini konsisten dengan beberapa hasil penelitian lainnya, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Erikson dan Wang (1999), Rahman dan Bakar (2002) dalam Kusuma dan Udiana Sari (2003), serta hasil penelitian yang diperoleh Hastutik (2006), yang menunjukkan bahwa perusahaan pengakuisisi cenderung melakukan praktik manajemen laba dengan menaikkan nilai akrual pada periode sebelum atau menjelang pelaksanaan  merger dan akuisisi. Selain itu, adanya asumsi dari Payamta dan Setiawan (2004) yang menyatakan kemungkinan adanya tindakan, baik  window dressing maupun kebijakan manajemen lainnya (manajemen laba) atas laporan keuangan perusahaan pengakuisisi untuk tahun-tahun sebelum  merger dan akuisisi, dengan maksud untuk menunjukkan power perusahaan yang lebih baik sehingga menarik perusahaan target. Pernyataan ini tidak terlepas dari hasil penelitian yang diperolehnya, yaitu dua tahun sebelum dan sesudah peristiwa  merger dan akuisisi tidak terjadi perbedaan kinerja yang signifikan baik dari segi rasio maupun harga saham. Sebaliknya,  abnormal return saham sebelum pengumuman merger dan akuisisi adalah positif, namun setelah pengumuman merger dan akuisisi justru berubah menjadi negatif.  Pengujian terhadap hipotesis ke-2 dengan menggunakan uji 2-sampel berpasangan (Paired Sample t-Test) disajikan pada Tabel 5. Hasil yang diperoleh tiap-tiap rasio adalah sebagai berikut.
  1. Current Ratio (CR). Nilai t-hitung sebesar -2,325 pada tingkat signifikansi  0,045 menyatakan bahwa secara statistik terjadi penurunan secara signifikan kinerja CR setelah pelaksanaan merger dan akuisisi.
  2. Return on Investment (ROI). Nilai t-hitung sebesar -2,325 pada tingkat signifikansi  0,045 menyatakan bahwa secara statistik terjadi penurunan kinerja ROI secara signifikan setelah pelaksanaan merger dan akuisisi.
  3. Debt to Equity Ratio (DER). Nilai t-hitung sebesar 2,290 pada tingkat signifikansi  0,048 menyatakan bahwa dari segi DER terjadi peningkatan nilai yang cukup signifikan pada periode satu tahun setelah pelaksanaan merger dan akuisisi. Nilai DER yang cenderung meningkat setelah melakukan  merger dan akuisisi mencerminkan kinerja perusahaan dikatakan semakin rendah atau mengalami penurunan.
V.  SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang disampaikan sebelumnya,  simpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut.
  1. Penelitian ini membuktikan bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan tindakan manajemen laba sebelum pelaksanaan merger dan akuisisi dengan cara income increasing accrual.
  2. Penelitian ini membuktikan bahwa tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi pada periode sebelum pelaksanaan merger dan akuisisi tersebut telah memicu penurunan kinerja perusahaan setelah merger dan akuisisi.
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut. Untuk hasil yang lebih  representative dapat dikembangkan dengan cara memperpanjang periode penelitian dan menggunakan metode  stratified sampling. Dengan adanya proses stratifikasi pada sub-subpopulasi stratified sampling  ini akan dapat menghasilkan analisis yang mempunyai tingkat generalisasi yang lebih tinggi daripada penggunaan metode purposive sampling.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll