Rabu, 20 Juni 2012

HUMOR GUS DUR

1. Cerita Gus Dur dan Duta Masyarakat

PAGI-PAGI sekali, Gus Dur mengundang santrinya. “Tolong, Kang, dibacakan lagi tulisanku. Bilang saja kalau ada kalimat yang tidak mudah dipahami atau ada tanda baca yang belum pas,” Gus Dur meminta.

Kang Santri menerima dua lembar tulisan Gus Dur dengan takdim. Lalu duduk di bawah sang guru. Dia langsung membacanya dengan jelas. Tapi, paragraf pertama belum habis dibaca, Gus Dur keluarkan perintah yang lain.

“Sampeyan duduk di sini dong,” minta Gus Dur sambil menepuk-nepuk kursi di sampingnya. Kang Santri berdiri, dan sambil mesam-mesem tidak jelas, duduk di kursi, di samping sang guru.

Sejurus kemudian Kang Santri membacakannya kembali.

Setelah beres, Gus Dur meminta Kang Santri mengirim tulisannya. “Tolong kirim tulisanku ke Duta Masyarakat. Pakai internet Sampeyan ya, Kang,” kata Gus Dur. Yang dimaksud Gus Dur internet adalah surat elektronik atau e-mail.

Namun Kang Santri tidak langsung pergi. Tampak ada yang ingin disampaikan. “Gus, ini tulisan bagus sekali. Jika dikirim di koran nasional pasti dimuat,” Kang Santri usul.

“Ah, Sampeyan ini ngerti apa? Biar Duta Masyarakat itu koran lokal, tapi yang baca kan orang NU. Kirim saja ke sana, biar dibaca jama’ah NU di desa-desa,” ujar Gus Dur memberi pengertian.

“ Tujuanya memang agar orang NU menikmati tulisan bagus,” lanjut Gus Dur sambil ketawa ringan. Kang Santri hanya mantuk-mantuk, lalu mencium tangan Gus Dur. Dan Kang Santri pun bergegas ke warung internet. (Hamzah Sahal)

2. Gus Dur dan Kewalian Mbah Liem
GUS DUR mengenalkan KH Muslim Rifa'i Imampuro atau yang lebih dikenal dengan Mbah Liem, sebagai Wali Allah. Di obrolan terbatas, di pengajian umum, Gus Dur bilang bahwa Mbah Liem itu wali. Kepada wartawan, Gus Dur juga bilang demikian. Ta syak, khalayak ramai percaya Mbah Liem Wali.

M. Said Budairy pernah bercerita pada saya. Suatu kesempatan, dirinya bertanya tentang kewalian Mbah Liem, langsung kepada Mbah Liem, waktu itu Gus Dur juga ada di tengah-tengah keduanya. Mereka ngobrol santai-santai selepas Magrib, di kantor PBNU.

“Mbah, di mana-mana Gus Dur bilang Sampean Wali. Bagaimana ceritanya?” tanya Budairy, mungkin iseng, mungkin juga serius.

“Hahaha... Sampean diapusi Gus Dur,” jawab Mbah Liem sambil terkekeh-kekeh.

“Lho, saya tanya serius Mbah. Saya juga pengen jadi wali,” desak Budairy. Tawa dia antara mereka makin keras, Gus Dur yang tadinya serius baca majalah pun ikut tertawa.

“Begini Mas Said. Gus Dur pancen jago mempromosikan sahabat-sahabatnya, termasuk mempromosikan saya yang pendek, kurus, ndeso, bahasa Indonesia ora lancar,” Mbah Liem menjelaskan.

“Maksudanya pripun, Mbah?” Budairy tidak paham.

“Maksudnya biar saya terkenal, terangkat derajatku, dilirik orang,” ujar Mbah Liem enteng.

“Kok Gus Dur endak promosiin saya sebagai wali ya?” tanya Budairy sambil tertawa dan melirik Gus Dur.

“Lho, Sampean kan sudah jadi orang. Tinggal di tengah kota, jurnalis senior, aktivis PBNU, koncone okeh,” tambah Mbah Liem kalem. Budairy mantuk-mantuk. Gus Dur masih baca majalah. (Hamzah Sahal)
3. Gus Dur: Jauhi Narkobar!
Suatu hari Ketua Umum PBNU, Gus Dur, kedatangan rombongan kyai dan aktivis NU dari Lampung. Agendanya silaturahim dan ngobrol sana sini, saling bercerita berkembangan, dan tentu saja berbagi humor.
Tapi sayang, di tengah hangatnya obrolan, seorang kyai yang sudah berumur batuk-batuk terus, hingga menjadi perhatian seisi ruangan.
“Obatnya diminum belum Kyai?” tanya seorang anakmuda.
“Sudah tadi pagi,” jawab kyai sambil batuk.
“Tidur saja kyai, istirahat di mushola,” saran seorang kyai yang duduk di sampingnya.
“Jauh-jauh dari Lampung ke PBNU, sepuluh jam perjalanan, bayarnya mahal, masa sampai sini tidur,” jawab kyai sambil menutup mulutnya dengan dengan.
Gus Dur yang duduk di tengah-tengah, akhirnya angkat bicara, ”Makanya Kyai, jauhi Narkobar!”
“Ah, Sampean itu ada-ada saja, Gus. Saya tahu saja tidak itu Narkoba,” jawab kyai.
“Lha itu di saku sampean ada apanya?” tanya Gus Dur enteng.
“Ini rokok, Gus, bukan Narkoba!” jawab kyai lagi.
“Lah iya, saya dari tadi bilang, jauhi Narkobar,” kata Gus Dur.
“Narkoba? ‘R’-nya apa, Gus?” tanya pemuda yang duduk di pojok.
“Rokok,” jawab Gus Dur disambut gelak tawa terbahak-bahak. (Hamzah Sahal)
4. Kyai dan Nasi Bungkus
Suatu hari, KH Wahab Chasbullah mengajak KH Bisri Syansuri bersilaturahim kepada beberapa kyai di Jawa Timur. Ditemani seorang sopir dan seorang santri, berangkatlah dua kyai besar itu.
Tujuan pertama ditetapkan ke Kediri, lalu Nganjuk, baru ke Surabaya dan sekitarnya.
Untuk sarapan, mereka tidak khawatir karena Kediri dan Nganjuk dekat, dan pasti tuan rumah akan menyiapkan makanan.

Dalam perjalanan pulang ke Jombang, Mbah Wahab menyuruh sopirnya berhenti di warung pinggir jalan.
Kemudian Mbah Wahab mengajak Mbah Bisri ke warung. Sudah pasti Mbah Bisri tidak mau, meskipun sebenarnya lapar. Mbah Wahab pun sebenarnya paham dengan sikap Mbah Bisri yang  wira’i. Hanya ingin menggoda saja.

Akhirnya Mbah Bisri tinggal di mobil sendirian. Sementara tiga orang pergi makan di warung. Tapi diam-diam Mbah Bisri pesan ke santrinya.

“Heh.. bungkusno siji yo…” pintanya.

“Inggih (iya) Mbah,” si santri pelan menjawab.

Ketika Mbah Wahab dan sopir makan, si santri diam-diam mengantar nasi untuk Mbah Bisri. Ia pun langsung makan.

Belum selesai Mbah Bisri makan, Mbah Wahab dan sopirnya sudah berdiri tegak di samping mobil.

“Lho… katanya nggak mau?” tanya Mbah Wahab sambil senyum-senyum.

“Aku kan nggak mau ke warungnya tapi mau nasi bungkusnya. Kyai kok nongkrong di warung?” timpal Mbah Bisri enteng. Mbah Wahab hanya tersenyum-senyum. (Miftah Farid MH)

5. Lolos PNS Gara-gara 'Abdurrahman'
Seorang santri yang baru menyabet gelar S2 bidang sastra, mencoba di sisi mana takdirnya berpihak. Ia patuhi segala prosedur yang memakan banyak berkas itu; daftar calon PNS. Ia mengisi calon dosen Filologi, menyesuaikan dengan bidangnya; Sastra.

Semuanya mulus dilalui tanpa lubang atau ganjalan hingga akhirnya sampai di tahap wawancara.

“Coba sebutkan tokoh Islam Nusantara yang menelurkan naskah klasik?” tanya penguji.

“Syekh Abdurrahman Sinkil, asal Aceh pak,” jawabnya yakin.

“Wah, gimana mau meneliti naskah kuno, menyebut nama tokoh saja kamu tidak akurat. ‘Abdurrauf Sinkil’ yang tepat,” tolak penguji.

“Lha, ‘Abdurrauf Sinkil’ itu sudah umum pak! ‘Abdurrahman’ ini temuan baru. Bapak bisa temukan pada naskah lain,” tandasnya percaya diri.

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-lang,id-ids,8-t,humor-.phpx

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll