Selasa, 01 Mei 2012


PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH



Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : H. Ahmad Faozan, Lc, M.Ag.


Disusun oleh:
Eko Waluyo              (102323047)
Putra Surya HP          (102323076)
Ibnu Sina Amri          (102323075)


Syariah / IV EI B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  (STAIN)
PURWOKERTO
2012


PENDAHULUAN

Para  ahli  telah banyak mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi islam. Berbagai Argumen ini meskipun saling berbeda formulasi kalimatnya, tetapi mengandung pengertian dasar yang sama. Pada dasarnya suatu ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, meninjau, meneliti yang pada akhirnya menyimpulkan dan menyalasaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara islami merupakan bagian dari definisi ekonomika islam itu sendiri. Yang dimaksud dengan cara-cara islami disini ialah metode-metode yang didasarkan atas ajaran agama islam. Menurut pengertian seperti ni, maka istilah yang juga sering digunakan adalah ekonomika islam. Jadi ekonomika islam atau ilmu ekonomi islami akan menitikberatkan segala aspek ontologinya pada ajaran agama islam.
Penegasan yang diberikan oleh beberapa ahli, bahwa ruang lingkup dari ekonomika islam adalah masyarakat muslim atau komunitas negara Muslim itu sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau Negara muslim di mana nilai-nilai ajaran islam dapat diaplikasikan.

PEMBAHASAN
A.    RIWAYAT HIDUP IBNU TAIMIYAH
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiyudin Ahmad bin Abdul Halim lahir dikota Harran pada tanggal 22 januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayahnya Syihabuddin Abdul Halim seorang ahli hadith, paman, dan kakeknya Syekh Majuddin Abdus Salam merupakan ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku. [1]
Pendidikan Ibn Taimiyah diawali dengan belajar al-Qur’an pada ayahnya. Ia masuk sekolah di Damascus dan dalam usia sepuluh tahun telah mempelajari kitab hadith utama seperti musnad Ahmad al-Kutub as-Sittah, Mu’jam at. Selain itu beliau juga belajar khat, ilmu hitung, menghafal al-Qur’an dan mendalami bahasa arab. Ia berhasil menyelesaikan seluruh pendidikannya pada usia dua puluh tahun. Setahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar mazhab Hanbali menggantikan kedudukan ayahnya yang telah wafat.
Ibn Taimiyah dikenal sebagai ahli hadith, ahli kalam, fiqh, mufasir, filsuf dan sufi. Pada usia tiga puluh tahun sudah diakui kapasitasnya sebagai ulama besar pada zamannya.
Beliau meninggal di Damascus 20 Zulkaidah atau 26 atau 27 September1328. Terdapat 500 jilid karya-karya beliau yang pada umumnya bernada kritik terhadap segala paham dan pendapat yang tidak sejalan dengan pemikirannya, karena bertentangan dengan al-Qur’an dan hadist.
B.     PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH
Ibnu Taimiyah membahas permasalahan ekonomi khususnya dalam bukunya yaitu: kitab Majnu’ Fatawa Syaikh al-islam, al-Hisbah fi’l-Islam (The institution of Hisbah in Islam) dan al-Siyasah al-Shariyah fi Islah al-Ra’I wa’l Raiyah (Public and Private laws in Islam).[2]
1.      Harga yang Adil, Mekanisme Pasar, dan Regulasi Harga
a.       Harga yang Adil
Konsep tentang harga yang adil pada dasarnya telah terdapat di dalam ajaran Islam. Sekalipun penggunaan istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran Islam, Ibnu Taimiyah nampaknya merupakan orang pertama yang memberikan perhatian khusus terhadap masalah harga yang adil. Dalam membahas persoalan harga, ia sering menggunakan dua istilah, yaitu kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl).
Kompensasi yang setara (iwadh al-mitsl) digunakan ketika menelaah dari sisi legal etik sedangkan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Menurutnya prinsip kompensasi yang setara terkandung dalam beberapa kasus berikut:
·         Ketika seseorang harus bertanggungjawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta dan keuntungan.
·         Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang lain.
·         Ketika seseorang diminta untuk menentukan aqad yang rusak dan akad yang shahih dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik.
Prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban financial lainnya. Misal:
·         Hadiah yang diberikan oleh gubernur kepada anak yatim,wakaf dan orang-orang muslim.
·         Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil untuk melakukan pembayaran kompensasi.
·         Pemberian upah oleh dan atau kepada rekanan bisnis (al-musyarik wa al mudharib).
Sedangkan harga yang setara harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas , yaitu pertemuan antara kekuatan permintaan dan penawaran. Beliau menggambarkan perubahan harga pasar sebagai berikut:
“jika penduduk menjual barnag-barangnya secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-carayang tidak adil kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang (yakni penurunan supply) atau karena peningkatan jumlah penduduk (yakni meningkatkan demand), kenaikan harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah SWT. Dalam kasus ini, memaksa penjual untuk menjual barang-barang mereka pada harga tertentu adalah pemaksaan yang salah (ikrah bi ghoiri haq).[3]
Ungkapan “dengan jalan yang normal tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil” mengindikasikan bahwa harga yang setara itu harus merupakan harga yang kompetitif yang tidak disertai penipua, karena harga yang wajar terjadi pada pasar kompetitif dan hanya praktik yang penuh penipuan yang dapat menyebabkan kenaikan harga-harga.
Konsep upah yang adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adai dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingakat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl). Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
Tentang bagaimana upah yang setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“upah yang setara akan ditentuakan oleh upah yang telah diketahui (musamma’) jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jual dan sewa, harga yang telah diketahui (tsaman musamma’) akan diperlakuan sebagai harga yang setara.[4]
Konsep laba yang adil
Menurutnya, para pedagang barhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah medefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tenpa merugikan orang lai. Ia menentang tingkat keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksplotif dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada. Ia menjelaskan,
“seseorang yang memperoleh barang untuk mendapatkan pemasukan dan memperdagangkannya dikemudian hari diizinkan melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak boleh mengenakan keuntungan terhadap orang-orang miskin yang lebih tinggi daripada yang sedang berlaku dan seharusnya tidak menaikan harga terhadap mereka yang sedang sangat membutuhkan .
Ibnu Taimiyah memandang laba sebagai penciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Oleh karena itu, pemilik kedua faktor produksi tersebut berhak memperoleh bagian keuntungan. Dalam hal tejadi suatu perselisihan, ia menyatakan bahwa keuntungan dibagi menurut cara yang dapat diterima secara umum oleh kedua belah pihak, yakni pihak yang menginvestasikan tenaganya dan pihak yang menginvestasikan uangnya. Ia menyatakan,.
“karena keuntungan merupakan tambahan yang dihasilkan oleh tenaga disatu pihak dan harta dipihak lain, maka pembagian keuntungan dilakuan dengan cara yang sama sebagai tambahan yang diciptakan oleh kedua faktor tersebut.[5]
Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil Bagi Masyarakat
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal mereka. Menurutnya “setiap individu mempunyai hak pada apa yang mereka miliki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya, baik sebagian maupun seluruhya, tanpa izin dan persetujuan mereka.
Penggunaan dan implikasi dari konsep upah yang adil adalah sama halnya dengan konsep harga yang adil. Tujuan dasar dari harga yang adil adalah untuk melindungi kepentingan pekerja dan majikan serta melindungi mereka dari aksi saling mengeksploitasi. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyatakan,
“apabila seorang majiakan memperkerjakan seseorang secara zalim dengan membayar pada tingkat upah yang lebih rendah daripada upah yang adil, yang secara normal tidak ada seorangpun menerimanya, pekerja berhak meminta upah yang adil.
b.      Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ia menyatakan,
“naik dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dsan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun,kelangkaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau tenkadang, ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hai ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan dihati manusia.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu:
1)        Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah. Perubahan ini sesuai dengan langka atau tidaknya barang-barang yagn dimint. Semakin sedikit jumlah suatu barang yang tersedia akan semakin diminati oleh masyarakat.
2)        Jumlah para peminat terhadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat yang menginginkan suatu barang semakin banyak, harga barang tersebut akan semakin meningkat, dan begitu pula sebaliknya.
3)        lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan. Apabila kebutuhan besar dan kuat, harga akan naik. Sebaliknya, jika kebutuhan kecil dan lemah, harga akan turun.
4)        kualitas pembeli. Jika pembeli adalah seseorang yang kaya dan terpercaya dalam membayar utang, harga yang diberikan lebih rendah. Sebaliknya, harga yang diberikan lebih tinggi jika pembeli adalah seorang yang sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran utang serta mengingkari utang.
5)        jenis uang yang digunakan dalam transaksi. Harga akan lebih rendah jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan uang yang umum dipakai daripada uang yang jarang dipakai.
6)        tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal diantara kedua belah pihak. Harga suatu barang yang telah tersedia dipasaran lebih rendah daripada harga suatu barang yagn belum ada dipasaran. Begitu pula halnya harga akan lebih rendah jika pembayaran dilakukan secara tunai daripada pembayaran dilakukan secara angsuran.
7)        besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual. Semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh produsen atau penjual untuk menghasilkan atau memperoleh barang akan semakin tinggi pula harga yang diberikan, dan begitu pula sebaliknya.
c.       Regulasi Harga
Tujuan regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil  dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penerapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
1)      Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidak sempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
2)      Musyawarah untuk Mnetapkan Harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait.
Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan  menciptakan rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung  jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari aksi saling mengeksploitasi diantara mereka.

2.      Uang dan Kebijakan Moneter
a.       Kareakteristik dan fungsi uang
secara khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan, “Atsaman dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang dapat diketahui dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya.
b.      Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penerunan nilai mata uang dan pencetakan mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan,
“penguasa seharusnya mencetak fulus sesuai dengan nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
c.       Mata Uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata Uang yang baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaraan. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut,
”apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih dari pada itu, apabila nilai intristik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk didaerah tersebut untuk dibawa kembali kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.[6]



[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004, hal 329
[2] Ibid …
[3] Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:Pustaka Pelajar,2002, hal 123-125
[4]
[5]
[6] Ibid...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll