Kamis, 03 Januari 2013

BBM


MENYINGKAP TABIR PENGELOLAAN  BBM
Oleh : Agustianto
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
Persoalan kenaikan harga BBM merupakan masalah krusial bangsa ini yang selalu aktual untuk diperbincangkan. Banyak tulisan dan analisa yang telah diberikan para pakar, namun belum pernah mengulas secara faktual dan logis membantah argumentasi pemeritah yang simplistis. Tulisan ini akan memaparkan data dan fakta seputar BBM kita,  bagaimana wajah pengelolaan sumberdaya energi ini,  bagaimana  peran asing dan arus liberasisasi ekonomi, serta apa solusi fundamental yang harus kita lakukan.
Argumentasi yang tidak logis
Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri. Tapi mengapa selalu terjadi kemelut soal BBM ?. Apa sebenarnya masalah BBM kita?.
Selanjutnya perlu dicermati, argumentasi  pemerintah dalam menaikkan BBM, yakni karena naiknya harga minyak dunia, sehingga harganya harus disesuaikan agar subsidi  tidak membebani APBN. Argumentasi ini  secara selintas masuk akal dan hampir semua orang tak bisa membantahnya. Tetapi  argumentasi tersebut keliru besar, karena pemerintah tidak fair dan tidak seimbang dalam berargumentasi. Pemerintah selalu beralasan naiknya BBM karena membengkaknya subsidi yang pada gilirannya menguras APBN, tanpa pernah mengemukakan penerimaan pemerintah yang meningkat karena naiknya harga minyak dunia.
Betul, kenaikan harga minyak dunia dari US$ 40 per barel menjadi US$ 60 per barel (Rp 9.300 per USD) menyebabkan subsidi pemerintah untuk BBM meningkat sebesar Rp 70 triliun, yaitu dari Rp 59 triliun menjadi Rp 129 triliun. Tetapi ingat,! penerimaan pemerintah juga meningkat Rp 84 triliun, yaitu dari Rp 129 triliun menjadi Rp 213 triliun. Dengan demikian kenaikan harga minyak dunia justru menambah keuntungan (surplus) sebesar Rp 14 Trilyun. Dengan surplus Rp 14 triliun mengapa BBM harus dinaikkan?. Inilah kaenehan kebijakan pemerintah menaikkan BBM.
Kegagalan Negara dalam mengelola BBM
Masalah BBM yang kini dihadapi bangsa tidak lepas dari masalah energi yang tidak pernah diurus dengan benar. Negara tidak pernah mengagendakan ketahanan energi nasional (national energy security) dan tata konsumsi yang menjamin keadilan pemanfaatan sumber enerji masa kini dan masa depan. Dengan demikian, negara sesungguhnya telah gagal dalam mengelola sumberdaya energi.
Pengurasan sumber energi, minyak dan gas dari perut bumi Indonesia telah berlangsung lebih dari 30 tahun & menghasilkan minimal. US$ 300 miliar lewat eksploitasi ¾ cadangan minyak & minimal. ¼ cadangan gas. Pengurasan minyak dan gas bumi (migas) selama ini hanya untuk: (a) bayar utang, dan (b) pertumbuhan ekonomik (makro).
Indikator kegagalan negara selanjutnya, tampak pada besarnya rentang kuasa modal transnasional dalam pengelolaan hulu-hilir. Hal ini jelas menimbulkan dampak krisis energi berkelanjutan di masa depan. Jadi, kebijakan negara hanya melanggengkan keuntungan modal asing dengan kontrak jangka panjang, sebagai pihak yang menangguk nominal laba sesungguhnya.
Perlu dikatahui, bahwa di Indonesia ada 60 perusahaan kontraktor. 5 (lima) di antaranya masuk  kategori super majors yaitu, Exxon Mobil, Chevron, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco, dan Texaco, selebihnya masuk kategori majors yaitu, Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, dan perusahaan kontraktor independen. Dari 160 area kerja (working area) yang ada,  super majors menguasai cadangan masing-masing minyak 70% dan gas 80%. Sementara yang termasuk kategori majors menguasai cadangan  masing-masing, minyak sebesar 18% dan gas sebesar 15%. Perusahaan-perusahaan yang masuk kategori independen, menguasai minyak sebesar 12% dan gas 5%.
Volume dan kapasitas produksi; perusahaan-perusahaan super majors, minyak sebesar 68% dan gas sebesar 82%, sementara perusahaan-perusahaan majors, minyak sebesar 28% dan gas sebesar 15%; sedangkan perusahaan-perusahaan independen, minyak sebesar 4% dan gas sebesar 3%. (Sumber, Dr. Kurtubi The impact of oil industry liberalization on the efficiency of petroleum fuels supply for the domestic market in Indonesia,“)
Menurut Dirjen  Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU)(Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Demikian besarnya peran asing dalam kancah bisnis BBM di negeri ini, sehingga di masa depan SPBU tidak lagi menjadi monopoli Pertamina, tetapi sangat dimungkinkan perusahaan asing untuk terjun langsung ke masyarakat, sesuai Undang-Undang Migas 2001. Melihat fenomena maraknya dominasi asing terhadap kekayaan sumberdaya energi negara kita, maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kita sebenarnya “terjajah” secara ekonomi. Kita memiliki sumberdaya alam, tetapi yang menikmatinya justru adalah bangsa asing. Kita harus membeli hasil bumi kita sendiri dengan harga yang mahal kepada perusahaan asing yang menguasai kekayaan kita.
Kepentingan Asing
Tak bisa dibantah bahwa, keputusan pemerintah menaikkan BBM  agar negara segera mencapai tingkat harga yang diinginkan oleh pemain asing. Hal ini secara tegas pernah disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003).
Arus besar  liberalisasi ekonomi, juga terlihat jelas ungkapan ini, “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.” Mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000.” (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html
Pernyataan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa kepentingan asing cukup dominan menggerogoti kekayaan negara kita Artinya, Kapitalis global makin mencengkeramkan kakinya di Indonesia, menghisap habis kekayaan alam Indonesia.
Kebocoran dan inefisiensi
Selain, kegagalan dalam mengelola sumberdaya energi dan terjebaknya Indonesia dalam dominasi asing, problem pengelolaan BBM kita yang tak kalah pentingnya adalah masalah. kebocoran, inefisiensi dan penyalahgunaan BBM bersubsidi yang diperkirakan mencapai 25 sampai 30 persen (Rp 35 trilyun).
Sumber inefisiensi tata niaga BBM terlihat pada lima poin berikut :
1.       Adanya brokers pemburu rente dalam impor minyak mentah (368.7 ribu barrel per hari) dan BBM (premium, solar, dan minyak tanah) sebanyakequivalen 210 ribu barrel per hari.
2.       Impor minyak mentah dari luar negeri untuk diproses di dalam negeri sangat besar (368 ribu barrel per hari). Harus dilakukan pengurangan impor minyak mentah dengan melakukan pembelian/swap dengan kontraktor production sharing.
3.       Sering terjadi peningkatan komponen biaya dalam pelaksanaanproduction sharing. Perlu dilakukan audit independen terhadap pelaksanaan kontrak production sharing, terutama komponen biaya.
4.       Pertamina dan B.P Migas belum perlu melakukan ekspor minyak mentah, sebaiknya dialihkan untuk memenuhi kebutuhan refinery dalam negeri. Saat ini Pertamina melakukan ekspor 35 ribu barrel perhari dan BP Migas melakukan ekspor 34 ribu barrel per hari.
5.       Pengisian solar dan migas bersubsidi di dalam negeri oleh kapal-kapal berbendera internasional.
Kendala
Upaya mengatasi  persoalan pengelolaan BBM yang demikian gawat dan kompleks, jelas menghadapi sejumlah kendala yang tidak ringan. Pula.
1.       Reformasi tata niaga BBM sulit dilakukan karena terkait dengan kepentingan bisnis keluarga dan kroni pejabat tinggi pemerintah
2.       Keinginan untuk menjadikan Pertamina sebagai alat  pemerintah dalam pengelolaan BBM terhalang oleh UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang membatasi kewenangan Pertamina sebagai pemain utama (single player) di sektor ini, sekaligus kewajiban memberikan hak/kewenangan kepada perusahaan minyak lain, baik domestik maupun asing.
3.       Menghentikan pola kontrak bagi hasil dengan perusahaan asing dan atau efisiensi biaya, disamping terhalang oleh UU Migas No 22 Tahun 2001, juga oleh kepentingan bisnis keluarga dan kroni pejabat
4.       Pemberantasan KKN sulit dilakukan karena seluruh pihak yang harusnya memberantas korupsi (polisi, jaksa, hakim) ikut korup, yang korup tengah berkuasa, tidak adanya teladan dari pemimpin serta aturan yang tidak kondusif (misalnya, asas pembuktian terbalik malah dicoret oleh parlemen dari UU Korupsi)
5.       Mengembalikan pengelolaan BBM oleh negara terhalang oleh arus liberalisasi ekonomi.

Solusi Fundamental
Untuk mengatasi persoalan BBM yanag demikian rumit, setidaknya dibutuhkan lima solusi fundamental,
Pertama, reformasi tata niaga minyak bumi dan gas. Mekanisme impor melalui brokers harus dihapus karena hanya menambah beban biaya(high cost). Volume pasokan BBM, baik yang diproduksi oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.
Kedua, Kebocoran dan inefisisensi harus dihilangkan. Efisiensi diwujudkan melalui sistem yang congtrolable dan transparan serta kesungguhan dalam membangun pemerintahan yang bersih melalui pemberantasan korupsi secara serius.
Ketiga, Meneguhkan pengelolaan BBM oleh negara (state based management), karena BBM termasuk milik rakyat yang mestinya hasilnya kembali kepada rakyat.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api; harga (menjual-belikannya) adalah haram” (HR Ibn Majah).
Kempat, menghentikan pola kontrak bagi hasil dengan perusahaan asing. Pertamina harus didorong menjadi operator pengelola BBM yang handal dari sektor hulu hingga hilir. Walaupun upaya ini memakan waktu yang amat panjang, tetapi kita sebagai bangsa Indonesia, harus bertekad untuk mewujudkannya.
Kelima, Memberantas KKN, terutama di instansi yang terkait dengan pengelolaan BBM, dengan larangan pemberian suap, hadiah, komisi (haram) dan perhitungan kekayaan pejabat (sebelum dan sesudah menjabat). (Penulis adalah Kandidat Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta dan Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia)


0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll