Selasa, 25 Juni 2013

ZAKAT PENGURANG PAJAK (by EKO WALUYO)



A.    PENDAHULUAN
Islam sebagai system kehidupan mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (al-ibadat), dan hubungan manusia dengan makhluk (al-muamalah) dalam seluruh aspek ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan negara. Prinsip ajaran Islam pada dasarnya memecahkan semua masalah kehidupan yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia.Ajaran Islam merupakan dasar semua perbaikan sosial, yang tidak hanya terbatas pada secara makro sesuatu perekonomian tidak terlepas dari peran pemerintah, dimana menurut Maududi pemerintah tidak menggunakan kekerasan dalam memimpin suatu Negara, kembali pada subjek masalah zakat dan pajak
Dalam makalah ini penulis membahas antara zakat yang diatur oleh Islam dan pajak yang dilaksanakan sebagai hasil pemikiran dan system keuangan moderen, dan membahas tentang persamaaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Zakat ialah, nama atau sebutan dari sesuatu hak Allah Ta’ala yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin. Sedangkan pajak adalah, iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang – undang sehingga dapat dipaksakan denda tiada mendapat balas jasa secara langsung.
Zakat dan pajak meskipun keduanya merupakan kewajiban dalam bidang harta, namum keduanya merupakan falsafah yang khusus yang keduannya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran,bagian serta kadarnya, disamping itu berbeda pula prinsip, tujuan dan jaminan.[1]

B.     PEMBAHASAN
1.         Pengertian Zakat dan Pajak
a.         Zakat
Zakat adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah terhadap harta kaum muslimin yang diperuntukkan bagi fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan untuk mendekatkan diri kepada –Nya serta membesihkan diri dari hartanya. Dasar hukum terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 110:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ    
’’dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan’’. (QS. Al-Baqarah: 110)

b.         Pajak
Pajak menurut para ahli keuangan ialah : kewajibab yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa dapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum disatu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi.[2]

Pajak oleh Masdar F. Mas’udi dibagi dalam tiga kategori:
1)        Pajak sebagai upeti:
a)      Berlaku dalam sistem pemerintahan Veodal dibawah kekuasaan Raja.
b)      Dibayarkan oleh rakyat sebagai persembahan (offering) buat sang raja selaku penguasa jagat bendoro rakyat.
c)      Raja sebagai penerima persembahan adalah satu- satunya pihak yang berwenang menentukan untuk apa/ siapa dana pajak dibelanjakan.
2)        Pajak sebagai kontra prestasi
a)      Berlaku dalam sistem pemerintahan “Liberal- Kapitalis“.
b)      Pajak yang dibayarkan rakyat sebagai imbang jasa “perlindungan dan pelayanan publik“.
c)      Negara berperan sebagai „“penjual jasa“ dan rakyat adalah “pembelinya“. Sesuai dengan besar kecilnya pajak yang dibayarkan.
3)        Pajak sebagai zakat
a)      Diterapkan pada pemerintahan Nabi, Khulafaur Rasyidin, dan pemerintahan masa datang yang berwatak demokratis- populis
b)      Pajak yang dibayarkan bukan sebagai persembahan keapada Raja, juga sebagai imbalan jasa dengan negara, melainkan sebagai sedekah Lillah yang diamantkan kepada Negara atau pemerintah.
c)      Terhadap dana pajak, negara/ pemerintah bukan sebagai pemilik, melainkan hanya sebagai “Amil“ yang bertindak semata- mata berdasarkan mandate. Pemilik uang pajak secara hakiki adalah Allah atau dalam bahasa sosiologi “Rakyat“.

2.         Persamaan dan Perbedaan antara Zakat dan Pajak
a.         Persamaan Zakat dan Pajak
                          Sama – sama mempunyai unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat.
               Bila pajak harus disetorkan kepada lembaga masyarakat (negara) pusat maupun daerah, maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus diserahkan pada pemerintah sebagai badan yang disebut dalam Al-Qur’an : amil zakat.
                            Dalam ketentuan pajak ialah  tidak adanya imbalan tertentu, demikian halnya dalam zakat. Seseoarang membayar zakat adalah selaku masyarakat islam.
                           Pajak pada zaman modern mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan, maka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek –aspek yang disebutkan tadi dan aspek –aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.[3]
b.      Perbedaan Zakat  dan Pajak
1)        Dari Segi Nama dan Etikanya:
                                           Kata zakat menurut bahasa, berarti suci, tumbuh dan berkembang. Dalam syari’at islam zakat untuk mengungkapkan arti dari bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahik lainya. Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat: 276 yang artinya:’’Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah“ Sedangakan pajak diambil dari kata dharaba, yang artinya utang, pajak, tanah atau upeti.Yaitusesuatu yang mestidibayar, sesuatu yang menjadi beban. Seperti yang dikatakan dalam Al- Qur’an surat Al-Baqarahayat: 61 yang artinya: “ Dan timpakan atas mereka kehinaan dan kemiskinan”.
2)        Mengenai Hakikat dan Tujuannya
                                Zakat adalah ibadah yang diwajibkan kepada orang islam, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT dan mendekatkan diri kepadanya. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara semata –mata yang tidak ada hubungannya dengan makna ibadat dan pendekatan diri.     
3)   Mengenai Batas Nisab dan Ketentuanya.
Zakat adalah hak yang ditentukan oleh Allah, sebagai pembuat syariat. Dialah yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda juga Allah memberikan ketentuan atas kewajibab zakat itu seperlima, sepersepuluh, separuh, sampai seperempat puluh. Berbeda dengan pajak yang tergantung pada kebijaksanaan dan kekuatan penguasa baik mengenai objek, presentase, harga dan ketentuannya, bahkan ditetapkan dan dihapuskan pajak tergantung pada penguasa sesuai dengan kebutuhan.
4)   Mengenai Kelestarian dan Kelangsungan
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus – menerus, adapun pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan terus – menerus, baik mengenai macam, presentase, dan kadarnya.
5)   Mengenai Pengeluaranya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam Qur’an dan dijelaskan oleh Rosulullah SAW dengan perkataan dan perbuatantya, sasaran itu kemanusiaan dan keislaman, sedangkan pajak dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum negara, sebagai mana ditetapkan pengaturan oleh penguasa.
6)   Hubungannya dengan Penguasa
Pajak selalu berhubungan antara wajib pajak dengan pemerintah yang berkuasa. Karena pemerintah yang mengadakan, pemerintah yang memungutnya dan juga membuat ketentuan wajib pajak, adapun zakat adalah hubungan pezakat dengan Tuhannya, Allah lah yang memberinya harta dan mewajibkan membayar zakat.
3.         Manfaat Zakat
Zakat juga mempunyai manfaat yang sangat besar dalam upaya mencapai keberimbangan hidup antar sesama mahluq Allah swt. Bagi pemberi, zakat adalah upaya mensucikan diri dan harta dari hak-hak pihak lain yang diamanatkan Allah, sebagaimana dalam surat Adz Dzariat 19 “Pada setiap kekayaan itu ada hak orang lain, diminta atau tidak”. Bagi pihak penerima, zakat adalah salah satu sumber keberkahan hidup dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, konsep zakat adalah konsep kesetaraan antar manusia baik pemberi maupun penerima sebagai upaya perangsang (stimulus) kehidupan perekonomian yang berkeadilan dan merata.Dengan demikian, zakat juga dapat dijadikan sebagai salah satu entry point (titik masuk) penggerakan perekonomian. Akumulasi zakat adalah potensi ekonomi yang sangat besar untuk dapat menghidupkan kembali usaha-usaha dalam menumbuhkembangkan pergerakan transasksi  ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 200 juta merupakan potensi besar dalam pengakumulasian modal dari penggalangan zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah. Dari zakat fitrah saja, jika dijumlahkan dalam rupiah kurang lebih  1, 2 trilyun rupiah (7.500 x 160 juta dengan asumsi 80% muslim) untuk satu kali penarikan. Belum lagi jika kita dapat mengoptimalkan penarikan dari zakat mal bagi kalangan muslim.
Pajak adalah pengalihan sebagian kekayaan dari swasta kepada negara melalui pemerintah sebagai pelaksana atas dasar undang-undang dengan tanpa mendapat kontraprestasi yang dapat ditunjuk secara langsung dan dananya digunakan sebesar-besarnya untuk membiayai pembangunan nasional.
Dari pengertian ini, zakat setidak-tidaknya mengandung tiga dimensi.Pertama, dimensi pendapatan.Pajak adalah sumber pendapatan negara diantara sumber pendapatan lainya. Semakin besar sumber ini diterima, maka pembiayaan pembangunan negara dapat lebih mandiri tanpa harus bergantung pada pihak lain. Kedua, aspek ekonomi dimana melalui alat kebijakan pajak diharapkan dapat mengembangkan ekonomi yang berkeadilan dan dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi antar masyarakat dan antar daerah.Ketiga, aspek pendistribusian kembali pendapatan kepada masyarakat.Melalui pajak yang dipungut dan kemudian dikembalikan kepada masyarakat (dalam berbagai program pembangunan) sesuai kebutuhan tanpa melihat asal pajakdiperoleh. Dengan demikian, akan terjadi pemerataan pembangunan  dengan lebih mempertimbangkan tingkat kebutuhan dan manfaat dari pada harus menggunakan dasar asal sumber pendapatan diperoleh.[4]
4.         Konsep Zakat Sebagai Pengurang Pajak
a.         Pandangan Ulama tentang Zakat dan Pajak
Bagi muslim Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, mereka menanggung dua kewajiban yaitu zakat dan pajak. Padahal pada zaman Nabi SAW, umat islam diwajibkan zakat dan kharaj diwajibkan atas non muslim yang tunduk dibawah peraturan Islam. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana bagi muslim Indonesia seharusnaya atau sebaiknya menunaikan dua kewajiban tersebut?. Para Ulama berbeda pandangan mengenai apakah zakat itu identik dengan pajak atau tidak? Apakah orang yang sudah membayar zakat sudah tidak berkewajiban membayar zakat?
Dari beberapa pandangan ulama yang ada bisa dipilih menjadi :
1)      Pandamgan yang menyatakan bahwa zakat dan pajak berbeda, satu sama lain berdiri sendiri dan tidak bisa disamakan. Zakat harus ditunaikan sebagaimana pajak harus dibayar. Kebanyakan ulama Indonesia menganut pandangan ini. Mereka antara lain Alie Yafie.
2)      Berpendapat bahwa zakat dan pajak hakikatnya sama. Bagi seorang muslim yang meniatkan pembayaran pajak pemerintah Indonesia sebagai pembayaran zakat sah dan ia pun dianggap telah menunaikan kewajiban sosialnya terhadap (lewat) Negara. Dengan demikian, ia juga telah menegakan hak politiknya untuk mengontrol Negara sebagai sarana penegak kemaslahatan dan keadilan bersama.[5] Pandangan ini didasrakan pada paradigma berfikir filosofis tentang kehidupan sosial, bahwa zakat dan pajak diibaratkan sebagai ruh dan badan. Zakat dan pajak memang berbeda, tapi bukan untuk di pisahkan, apalagi di hadapkan. Oleh karena itu, barang siapa dari umat beriman yangtelah membayarkan pajaknya (dengan niat zakat) kepada Negara, maka terpenuhilah kewajiban negaranya. Sebagai seorang muslim (pasrah kepada Tuhan), ia telah menunaikan tanggyung jawab sosialnya secara benar dan semestinya. Sebaliknya, seberapapun besarnya sumbangan atau infaq seorang muslim kepada pihak- pihak tertentu tanpa lewat otoritas Negara, maka sumbangan itu jatuhnya sedekah biasa (tathawwu’) yang bersifat ekstra (nafilah) dan tidak bisa menggugurkan kewajiban pajaknya (sedekah zakat)- nya.
3)      Pendapat Syekh Ulaith
Syekh Ulaith dalam fatwanya dari mazhab Maliki menyebutkan bahwa seseoarang yang memiliki ternak yang sudah mencapai nisabnya dan dipungut uang setiap tahunya tetapi tidak atas nama zakat, maka iatidak boleh berniat zakat dan jika ia berniat zakat maka kewajibannya  tidakmenjadi gugur sebagaimana  telah diftwakan oleh Nasir al- Hatab.
4)      Fatwa Sayid Rasyid Ridha
Seseorang yang mempunyai tanah dan telah dipungut uangnya separuh dan seperempat oleh orang nasrani tidaklah termasuk kewajiban zakat, karena sesungguhnya dari hasil bumi itu adalah dari harta zakat yang wajib dikeluarkan pada delapan sasaran (delapan ashnaf) menurutnash, maka bebaslah pemilik tanah dari kewajibanya. Harta yang dipungut orang nasrani tadi dianggap sebagai pajak dan tidak menggugurkan wajib zakat, hal ini berarti bahwa pajak tidak dapat dianggap sebagai zakat.
5)      Fatwa Syakh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang dibicarakan, bahwa zakat bukanlan pajak. Pada prinsipnya pendapat beliau sama dengan ulama – ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan sasaranya. Zakat kewajibab atas Allah sedangkan pajak kewajiban kepada pemerintah (penguasa)[6].
Dari lima pendapat diatas dapat dipahami bahwa zakat harus dikeluarkan sesudah memenuhi persyaratan, walaupun seseorang telah membayar pajak. Sebaiknya pajak tetap dipungut walaupun sudah menunaikan zakat.[7]
6)      Menurut K.H. Abdurahman Wahid (Gusdur)
Merasuknya spirit zakat kedalam rongga badan pajaktidak perlu mengusik ketentraman agama lain yang mresa tidakmembawakan ajaran itu. Karena, apa yang menjaadi seruan atau permohonan dari hati ke hati (appeal)- nya adalah:
a)      Hendaknya rakyat tidak lagi membayar pajak semata- mata kerena takut sanksi negara yang bersifat lahiriah dan bisa diakali, melainkan justru harus dihayati sebagai panggilan agama (Illahiyat) yang jika diaabaiakan dapat mengakibatkan sanksi rohaniyah yang tidak dihindari. Appeal ini sifatnya personal, langsung pada kesadaran imaniyah dalam lubuk hati masing- masing manusia atau rakyat sebagai pribadi yang otonom dan independen.
b)      Kepada negara atau pemerintah sebagai pihak yang diberi wewenang untuk mengelola, hendaknya tidak lagi beranggapan bahwa uang pajak atau apa saja stilahnya, merupakan uang rakyat yang cuma- cuma, melainkan adalah amanat Tuhan yang harus di Tasarufkan untuk menegakan keadilan, terutama bagi kalangna rakyat yang paling tak berdaya serta ke3sejahteraan bagi semua, apapun agam dan keyakinannya.[8]
b.         Akomodasi zakat sebagai pengurang pengahsilan kena pajak.
Pajak dan zakat, keduanya merupakan instrumen dana masyarakat. Pajak dipahami sebagai instrumen penghimpunan dana oleh pemerintah untuk membiayai jalannya roda pemerintahan, sedangkan zakat dipahami sebagai instrumen penghimpun dana yang teklah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran bagi umat islam. Berbeda dengan pajak penggunan dana zakat lebih terbatas. Dengan diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat tahun 1999 dan UU NO. 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, maka secara eksplisit diakaui adanya perbedaan antara pajak dan zakat. Pemberlakuan dua UU tersebut memisahkan dengan tegas antara kewajiban menunaiakan zakat bagi umat islam, dan kewajiban bagi wajib pajak.
Sampai sekarang, zakatbaru di tetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) berdasarkan UU No. 17 tahun 2000. Dalam beberapa tahun terahir ini, issu zakat sebagai pengurang pajak terus menguat, pasalnya, zakat memiliki peran yang sama dengan pajak, yaitu untuk mengentaskan kemiskinan. Karena itu, sebagian masyarakat berpendapat bahwa sudah selayaknya zakat bisa dijadikan sebagai pengurang pajak.[9]
Sebagaimana dituturkan Noor Aflah, ketua umum Baznas K.H. Didin Hafiduddin berpandangan bahwa usulan zakat sebagai pengurang pajak penting direalisasikan, sebab kedua instrumen tersebut memiliki kesamaan, yakni untuk kepentingan bersama. Bila pemerintah mendorong zakat bisa menjadi pengurang pajak, maka kedua instrumen tersebut bisa saling mendukung tanpa harus menjadi beban ganda bagi muslim indonesia.
Jika potensi zakat digali secara maksimal dengan dorongan pemerintah, maka dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah tidak perlu berhutang ke luar negeri, sebab, dari zakat profesi (saja) dalam setahun bisa mencapai trilyun, kata Eri Sudewo.
Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”). Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalam Pasal 22 UU 23/2011:
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,  yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
Dalam ketentuan pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas kewajiban pembayaran sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal ini memang berpotensi menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang juga diakui di Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”) pasal tersebut mengalami perubahan sehingga berbunyi:“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan. Selain itu, Pasal 1 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto juga menentukan:“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
1)            zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
2)             sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.”
Sedangkan, badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011, yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) - yang keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga.
Karena semua peraturan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif, maka ketentuan pengecualian zakat atau sumbangan wajib keagamaan dari objek pajak sudah berlaku efektif di Indonesia. Mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagai berikut:
Pasal 2
1)                Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
2)                Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a)      dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b)       paling sedikit memuat:
Ø  Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
Ø   Jumlah pembayaran;
Ø   Tanggal pembayaran;
Ø  Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
Ø  Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
Ø  Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila :
a.       tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b.      bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 4
1)        Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut.
2)        Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.[10]
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menetapkan 20 Badan/Lembaga sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib. Nantinya, zakat atau sumbangan keagamaan ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan bisa dijadikan pengurang pajak.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Dedi Rudaedi dalam siaran persnya mengatakan, Badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan meliputi satu Badan Amil Zakat Nasional, 15 Lembaga Amil Zakat (LAZ), 3 Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shaaqah (LAZIS) dan 1 Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia.
Ke-20 Badan/Lembaga penerima zakat atau sumbangan itu adalah sebagai berikut:
1.      Badan Amil Zakat Nasional
2.      LAZ Dompet Dhuafa Republika
3.      LAZ Yayasan Amanah Takaful
4.      LAZ Pos Keadilan Peduli Umat
5.      LAZ Yayasan Baitulmaal Muamalat
6.      LAZ Yayasan Dana Sosial Al Falah
7.      LAZ Baitul Maal Hidayatullah
8.      LAZ Persatuan Islam
9.      LAZ Yayasan Baitul Mal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia
10.  LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat
11.  LAZ Dewan Dawah Islamiyah Indonesia
12.  LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia
13.  LAZ Yayasan Baitul Maal wat Tamwil
14.  LAZ Baituzzakah Pertamina
15.  LAZ Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid (DUDT)
16.  LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia
17.  LAZIS Muhammadiyah
18.  LAZIS Nahdlatul Ulama (LAZIS NU)
19.  LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI)
20.  Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI)
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 mengatur bahwa zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Zakat itu meliputi penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/ atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Selain itu, sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
"Dengan penetapan Badan/Lembaga penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan ini, Direktorat Jenderal Pajak berharap Wajib Pajak dapat dengan mudah menjalankan kewajiban perpajakannya,"[11]
Jadi jika dilihat dari hak setiap warga Negara untuk diperlakukan secara adil, juga dilihat dari kacamata keutuhan NKRI, akomodasi zakat dalam undang-undang pajak penghasilan telah melanggar asas keadilan pemungutan pajak dan menjadi bibit disintegrasi bangsa, yang lama kelamaan bisa diibaratkan sebagai bara api dalam sekam, yang setiap saat akan meledak bagaikan bom waktu.
Meski demikian, realitas yang kita hadapi sekarang adalah bahwa zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak bagi muslim secara legal telah disahkan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono pada 20 Agustus 2010 yang lalu dan sudah mulai berlaku pada 23 agustus 2010. [12]
C.    KESIMPULAN
Zakat adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah terhadap harta kaum muslimin yang di peruntukkan bagi fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan untuk mendekatkan diri kepada –Nya serta membersihkan diri dari hartanya. Sedangkan, pajak menurut para ahli keuangan ialah : kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa dapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum disatu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi.
Zakat dan pajak meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang khusus dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasarannya, begian serta kadarnya, disamping itu berbeda pula mengenai prinsip tujuan dan jaminannya.
Berdasarkan peraturan dan UU yang berlaku di Indonesia zakat memang dapat mengurangi pajak, karena zakat dikecualikan dari objek pajak. Pengurangan pajak ini juga berlaku atas sumbangan wajib keagamaan bagi pemeluk agama lain yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif di Indonesia, demikian pula dengan mekanisme yang telah diaturnya.


[2] Supani, M.A., Zakat Di Indonesia Kajian Fikih dan Perundang-undangan,Stain press Purwokerto, 2010, hlm 175
[3] Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm.27
[5] Supani, M.A., Zakat Di Indonesia Kajian Fikih dan Perundang-undangan,Stain press Purwokerto, 2010, hlm 180
[6] Ali Hasan, Op.cit, hlm.88-89
[7] Supani, M.A., Zakat Di Indonesia Kajian Fikih dan Perundang-undangan,Purwokerto:Stain press Purwokerto, 2010, hlm 182
[8] Ibid..
[9] M. Ali Hasan, zakat dan infak: salah satu solusi mengatasi masalah sosial di indonesia, jakarta : kencana, 2006 hlm. 58

[10] : http://www.pajak.go.id/content/article/kompleksitas-penentuan-tarif-pajak
[12] Supani, M.A., Zakat Di Indonesia Kajian Fikih dan Perundang-undangan,Stain press Purwokerto, 2010, hlm 199

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll