Oleh : Agustianto
Sekjen Ikatan
Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
Persoalan
kenaikan harga BBM merupakan masalah krusial bangsa ini yang selalu aktual
untuk diperbincangkan. Banyak tulisan dan analisa yang telah diberikan para
pakar, namun belum pernah mengulas secara faktual dan logis membantah
argumentasi pemeritah yang simplistis. Tulisan ini akan memaparkan data dan
fakta seputar BBM kita, bagaimana wajah pengelolaan sumberdaya energi
ini, bagaimana peran asing dan arus liberasisasi ekonomi, serta apa
solusi fundamental yang harus kita lakukan.
Argumentasi yang
tidak logis
Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi,
dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF)
gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel
minyak dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM
sebenarnya mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri. Tapi mengapa selalu
terjadi kemelut soal BBM ?. Apa sebenarnya masalah BBM kita?.
Selanjutnya perlu dicermati,
argumentasi pemerintah dalam menaikkan BBM, yakni karena naiknya harga
minyak dunia, sehingga harganya harus disesuaikan agar subsidi tidak
membebani APBN. Argumentasi ini secara selintas masuk akal dan hampir
semua orang tak bisa membantahnya. Tetapi argumentasi tersebut keliru
besar, karena pemerintah tidak fair dan tidak seimbang dalam berargumentasi.
Pemerintah selalu beralasan naiknya BBM karena membengkaknya subsidi yang pada
gilirannya menguras APBN, tanpa pernah mengemukakan penerimaan pemerintah yang
meningkat karena naiknya harga minyak dunia.
Betul, kenaikan harga minyak dunia
dari US$ 40 per barel menjadi US$ 60 per barel (Rp 9.300 per USD) menyebabkan
subsidi pemerintah untuk BBM meningkat sebesar Rp 70 triliun, yaitu dari Rp 59
triliun menjadi Rp 129 triliun. Tetapi ingat,! penerimaan pemerintah juga
meningkat Rp 84 triliun, yaitu dari Rp 129 triliun menjadi Rp 213 triliun.
Dengan demikian kenaikan harga minyak dunia justru menambah keuntungan
(surplus) sebesar Rp 14 Trilyun. Dengan surplus Rp 14 triliun mengapa
BBM harus dinaikkan?. Inilah kaenehan kebijakan pemerintah menaikkan BBM.
Kegagalan Negara
dalam mengelola BBM
Masalah BBM yang kini dihadapi bangsa
tidak lepas dari masalah energi yang tidak pernah diurus dengan benar. Negara
tidak pernah mengagendakan ketahanan energi nasional (national energy
security) dan tata
konsumsi yang menjamin keadilan pemanfaatan sumber enerji masa kini dan masa
depan. Dengan demikian, negara sesungguhnya telah gagal dalam mengelola
sumberdaya energi.
Pengurasan sumber energi, minyak dan
gas dari perut bumi Indonesia telah berlangsung lebih dari 30 tahun &
menghasilkan minimal. US$ 300 miliar lewat eksploitasi ¾ cadangan minyak &
minimal. ¼ cadangan gas. Pengurasan minyak dan gas bumi (migas) selama ini
hanya untuk: (a) bayar utang, dan (b) pertumbuhan ekonomik (makro).
Indikator kegagalan negara
selanjutnya, tampak pada besarnya rentang kuasa modal transnasional dalam
pengelolaan hulu-hilir. Hal ini jelas menimbulkan dampak krisis energi
berkelanjutan di masa depan. Jadi, kebijakan negara hanya melanggengkan
keuntungan modal asing dengan kontrak jangka panjang, sebagai pihak yang
menangguk nominal laba sesungguhnya.
Perlu dikatahui, bahwa di Indonesia
ada 60 perusahaan kontraktor. 5 (lima) di antaranya masuk kategori super
majors yaitu,
Exxon Mobil, Chevron, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco, dan Texaco,
selebihnya masuk kategori majors yaitu, Conoco, Repsol, Unocal, Santa
Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, dan perusahaan kontraktor independen.
Dari 160 area kerja (working area) yang ada, super
majors menguasai
cadangan masing-masing minyak 70% dan gas 80%. Sementara yang termasuk kategori majors menguasai cadangan
masing-masing, minyak sebesar 18% dan gas sebesar 15%. Perusahaan-perusahaan
yang masuk kategori independen, menguasai minyak sebesar 12% dan gas 5%.
Volume dan kapasitas produksi;
perusahaan-perusahaan super majors, minyak sebesar 68% dan gas sebesar
82%, sementara perusahaan-perusahaan majors, minyak sebesar 28% dan gas sebesar
15%; sedangkan perusahaan-perusahaan independen, minyak sebesar 4% dan gas
sebesar 3%. (Sumber, Dr. Kurtubi The impact of oil industry
liberalization on the efficiency of petroleum fuels supply for the domestic
market in Indonesia,“)
Menurut Dirjen Migas Dept. ESDM,
Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin
untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM
untuk umum (SPBU)(Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas
raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro
China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Demikian besarnya peran asing dalam
kancah bisnis BBM di negeri ini, sehingga di masa depan SPBU tidak lagi menjadi
monopoli Pertamina, tetapi sangat dimungkinkan perusahaan asing untuk terjun
langsung ke masyarakat, sesuai Undang-Undang Migas 2001. Melihat fenomena
maraknya dominasi asing terhadap kekayaan sumberdaya energi negara kita, maka
tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kita sebenarnya “terjajah” secara
ekonomi. Kita memiliki sumberdaya alam, tetapi yang menikmatinya justru adalah
bangsa asing. Kita harus membeli hasil bumi kita sendiri dengan harga yang
mahal kepada perusahaan asing yang menguasai kekayaan kita.
Kepentingan Asing
Tak bisa dibantah bahwa, keputusan
pemerintah menaikkan BBM agar negara segera mencapai tingkat harga yang
diinginkan oleh pemain asing. Hal ini secara tegas pernah disampaikan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi
sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi
dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga
BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena
disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003).
Arus besar liberalisasi ekonomi,
juga terlihat jelas ungkapan ini, “USAID has been the primary bilateral
donor working on energy sector reform.” Mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara
terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting
a new oil and gas law in 2000.” (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html
Pernyataan tersebut dengan jelas
menunjukkan bahwa kepentingan asing cukup dominan menggerogoti kekayaan negara
kita Artinya, Kapitalis global makin mencengkeramkan kakinya di Indonesia,
menghisap habis kekayaan alam Indonesia.
Kebocoran dan
inefisiensi
Selain, kegagalan dalam mengelola
sumberdaya energi dan terjebaknya Indonesia dalam dominasi asing, problem
pengelolaan BBM kita yang tak kalah pentingnya adalah masalah. kebocoran,
inefisiensi dan penyalahgunaan BBM bersubsidi yang diperkirakan mencapai 25
sampai 30 persen (Rp 35 trilyun).
Sumber inefisiensi tata niaga BBM
terlihat pada lima poin berikut :
1. Adanya brokers pemburu rente dalam impor minyak
mentah (368.7 ribu barrel per hari) dan BBM (premium, solar, dan minyak tanah)
sebanyakequivalen 210 ribu barrel per hari.
2. Impor minyak
mentah dari luar negeri untuk diproses di dalam negeri sangat besar (368 ribu
barrel per hari). Harus dilakukan pengurangan impor minyak mentah dengan
melakukan pembelian/swap dengan kontraktor production
sharing.
3. Sering terjadi
peningkatan komponen biaya dalam pelaksanaanproduction
sharing. Perlu dilakukan
audit independen terhadap pelaksanaan kontrak production
sharing, terutama
komponen biaya.
4. Pertamina dan B.P
Migas belum perlu melakukan ekspor minyak mentah, sebaiknya dialihkan untuk
memenuhi kebutuhan refinery dalam negeri. Saat ini Pertamina
melakukan ekspor 35 ribu barrel perhari dan BP Migas melakukan ekspor 34 ribu
barrel per hari.
5. Pengisian solar
dan migas bersubsidi di dalam negeri oleh kapal-kapal berbendera internasional.
Kendala
Upaya mengatasi persoalan
pengelolaan BBM yang demikian gawat dan kompleks, jelas menghadapi sejumlah
kendala yang tidak ringan. Pula.
1. Reformasi tata
niaga BBM sulit dilakukan karena terkait dengan kepentingan bisnis keluarga dan
kroni pejabat tinggi pemerintah
2. Keinginan untuk
menjadikan Pertamina sebagai alat pemerintah dalam pengelolaan BBM
terhalang oleh UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang membatasi kewenangan Pertamina
sebagai pemain utama (single player) di sektor ini, sekaligus kewajiban
memberikan hak/kewenangan kepada perusahaan minyak lain, baik domestik maupun
asing.
3. Menghentikan pola
kontrak bagi hasil dengan perusahaan asing dan atau efisiensi biaya, disamping
terhalang oleh UU Migas No 22 Tahun 2001, juga oleh kepentingan bisnis keluarga
dan kroni pejabat
4. Pemberantasan KKN
sulit dilakukan karena seluruh pihak yang harusnya memberantas korupsi (polisi,
jaksa, hakim) ikut korup, yang korup tengah berkuasa, tidak adanya teladan dari
pemimpin serta aturan yang tidak kondusif (misalnya, asas pembuktian terbalik
malah dicoret oleh parlemen dari UU Korupsi)
5. Mengembalikan
pengelolaan BBM oleh negara terhalang oleh arus liberalisasi ekonomi.
Solusi
Fundamental
Untuk mengatasi persoalan BBM yanag
demikian rumit, setidaknya dibutuhkan lima solusi fundamental,
Pertama, reformasi tata niaga minyak bumi dan
gas. Mekanisme impor melalui brokers harus dihapus karena hanya menambah
beban biaya(high cost). Volume pasokan BBM, baik yang diproduksi
oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding
jumlah BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.
Kedua, Kebocoran dan inefisisensi harus
dihilangkan. Efisiensi diwujudkan melalui sistem yang congtrolable dan transparan serta kesungguhan dalam
membangun pemerintahan yang bersih melalui pemberantasan korupsi secara serius.
Ketiga, Meneguhkan pengelolaan BBM oleh negara
(state
based management),
karena BBM termasuk milik rakyat yang mestinya hasilnya kembali kepada rakyat.
“Kaum Muslim
berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api; harga
(menjual-belikannya) adalah haram” (HR Ibn Majah).
Kempat, menghentikan pola kontrak bagi hasil
dengan perusahaan asing. Pertamina harus didorong menjadi operator pengelola
BBM yang handal dari sektor hulu hingga hilir. Walaupun upaya ini memakan waktu
yang amat panjang, tetapi kita sebagai bangsa Indonesia, harus bertekad untuk
mewujudkannya.
Kelima, Memberantas KKN, terutama di instansi
yang terkait dengan pengelolaan BBM, dengan larangan pemberian suap, hadiah,
komisi (haram) dan perhitungan kekayaan pejabat (sebelum dan sesudah menjabat). (Penulis
adalah Kandidat Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta dan Sekjend DPP Ikatan Ahli
Ekonomi Islam Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar