Asuransi Syari’ah dan Konvesional
1. Definisi
dan Prinsip Hak Azas
a. Pengertian
Asuransi Konvesional merupakan Kata Asuransi berasal
dari bahasa inggris, insurance yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa
popular dan diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata
“pertanggungan”. Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri dari kepada
tertanggung dengan menerima premii asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.[1]
Asuransi Syariah Dalam bahasa Arab kata asuransi
disebut dengan at-ta’min yang asal katanya dari kata amana yang mempunyai arti
perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, sedangkan
penanggung berasal dari kata mu’amin dan tertanggung disebut mu’amman lahu atau
musta’min. Sedangkan pengertian asuransi dalam Ensiklopedi hukum islam adalah “transaksi
perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan
pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar
iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian
yang dibuat “.[2]
b. Prinsip
Hak Azas
Dalam asuransi,
khususnya asuransi kerugian, ada 5 prinsip utama yaitu:
1) Prinsip
Kepentingan
Pasal
250 KUHD mengatur bahawa apabila seseorang mengadakan suatu perjanjian
pertanggungan terhadap diri sendiri atau apabila diadakan suatu pertanggungan,
tetapi pada saat diadakan pertanggungan ternyata tidak mempunyai kepentingan (Interest) terhadap yang
dipertanggungkan itu, penanggung tidak diwajibkan untuk memberikan ganti rugi
bila terjadi kerugian. Prinsip kepentingan menegaskan bahwa orang yang menutup
asuransi harus mempun yai kepentingan (Interest)
atas harta benda yang dapat diasuransikan (Insurable).
Jadi, pada hakekatnya yang diasuransikan bukanlah harta benda itu, tetapi
kepentingan tertanggung atas harta benda itu.
Sealin
itu, agar kepentingan itu dapat diasuransikan (insurable interest), kepentingan itu harus legal dan patut (legal and equitable). Untuk membuktikan
legal atau tidak, dibuktikan dengan
surat0surat resmi (otentik) dari
harta benda yang bersangkutan. Inti dari insurable interest adalah sebagai
berikut:
·
Harus ada kepentingan atas harta benda
yang dapat dilimpahkan kepada orang lain.
·
Harta benda itu harus yang dapat
diansurasikan (insurable).
·
Harus ada hubungan antara tertanggung
dengan harta benda itu, yaitu:
o
Bila harta benda itu rusak atau hilang,
tertanggung mengalami kerugian.
o
Bila hak atas harta benda itu hilang
(lepas), tertanggung mengalami kerugian.
2) Prinsip
Jaminan
Prinsip
jaminan (principle of indemnity)
menjelaskan bahwa jaminan ada bila timbul kerugian. Sebaliknya, tidak ada
jaminan bila tidak ada kerugian. Bila ada kerugian atas insurable interest,
maka yang tertanggung tidak boleh memperoleh keuntungan dari ganti rugi. Inilah
dasar dari prinsip jaminan. Berpedoman kepada prinsip ini, maka tertanggung
akan memperoleh ganti rugi dari penanggung, dengan tujuan :
ü Mengembalikan
tertanggungan kepada posisinya semula seperti halnya sebelum kerugian
menimpanya; atau
ü Mengindarkan
tertanggug dari bangkrut sedemikian rupa sehingga ia mampu berdiri di tempatnya
semula seperti halnya sebelum kerugian menimpanya.
Menurut prinsip jaminan ini, tertanggung
hanya boleh memperoleh ganti rugi maksimal sebesar kerugian yang dideritanya,
sekedar untuk mengembalikannya pada kedudukannya semula.
3) Prinsip
Kepercayaan
Dalam
asuransi, kepercayaan (trustful) dari
penanggung mendapat tempat terhormat dalam setiap penutupan asuransi. Bila
tidak ada kepercayaan dari pihak penanggung, maka bisnis asuransi akan
mengalami kegagalan. Misalnya dalam asuransi pengangkutan, sudah terang tidak
mungkin penanggung melakukan pemeriksaan fisik atas berbagai jenis barang yang
sedang dimuat atau telah dimuat kedalam alat pengangkut. Dalam keadaan yang
demikian, penanggung percaya saja atas keterangan dan data yang diberitahukan
oleh penanggung.
Demikian
juga mengenai harga barang, penanggung percaya saja atas harga yang
diberitahukan oleh tertanggung. Bahkan umunya penanggung menyilahkan
tertanggung untuk menentukan jumlah harga pertanggungan yang akan dimasukan ke
dalam polis.
4) Prinsip
Itikad Balik
Seperti halnya kepercayaan pihak
penanggung mendapat tempat terhormat dalam penutupan asuransi, demikian juga
itikad baik (good faith) dari pihak
tertanggung juga mendapat tempat terhormat dalam penutupan asuransi. Sudah
seharusnya kepercayaan pihak penanggung diimbangi dengan itikad baik oleh pihak
tertanggung, yaitu dengan memberitahukan semua keterangan dan data yang
diketahui atas interest, beritahukan kepada penanggung tanpa ditambah-tambahi,
juga tanpa dikurang-kurangi. Maka agar bisnis asuransi dapat berlangsung dengan
baik dan mulus, mutlak diperluka n kepercayaan dari pihak penanggung yang
diimbangi oleh itikad baik dari pihak tertanggung. Tanpa adanya keseimbangan
antara kepercayaan dan itikad baik itu, maka bisnis asuransi tidak bisa
berperan baik dalam masyarakat.
Demikian kepercayaan dan itikad baik
memegang peranan penting dalam bisnis asuransi. Kepercayaan dan itikad baik
harus saling mengimbangi, bukan hanya dalam penutupan asuransi, tetapi juga
selama polis berlaku maupun dalam penyelesaian tuntutan ganti rugi (klaim) Sebagai
konsekuensi dari prinsip jaminan adalah pengalihan hak (subrogasi) dari
tertanggung kepada penanggung bila penanggung telah membayar ganti rugi kepada
tertanggung.[3]
Prinsip-prinsip asuransi syari’ah Prinsip-prinsip
umum mu’amalat yang melandasi asuransi syari’ah:
a. Tauhid
(Ketaqwaan)
Allah selalu menyuruh
umutnya dalam bermu’amalat yang akan menumbuhkan ketakwaan kepada Allah, karena
ketika seorang muslim bermuamalat bahwa apa yang dikerjakannya merupakanibadah
kepada Allah, yang akan menambah ketakwaankepada-Nya.
b. Al-‘Adl
(Sikap Adil)
Salah satu pilar
penyangga kebebasan ekonomi adalah dengan keadilan, sikap adil sangat
dibutuhkan dalam bisnis syari’ah karena implementasi keadilan sangat berat
diterapkan. Sikap adil dibutuhkan saat pembagian nisbah bagi hasil mudhorobah,
musyarakah, wakalah, wadi’ah dan lainnya. Dalam asuransi sikap adil diterapkan
dalam pembagian surplus underwriting, dan bagi hasil investasi antara
perusahaan dan peserta. Dan keadilan juga harus dilakukan dalam pemenuhan hak
pekerja dalam pembayaran upah.
c. Adz-Dzulm
(Kedzaliman)
Kedzaliman adalah
kebalikan dari keadilan, Allah sangat mengecam keras perbuatan ini bila
diterapkan dalam bisnis. Oleh karena itu sebisa mungkin para pelaku bisnis
menghindarinya jangan sampai menimbulkan kerugian bagi orang lain.
d. At-Ta’awun
(Tolong-Menolong)
Ta’awun menjadi pilar
selanjutnya dalam mu’amalat karena ta’awun dapat membangun fondasi yang kokoh
dalam sistem ekonomi. Dan ta’awun menjadi konsep utama dari takaful atau
asuransi islam. Islam mengharamkanriba karenaingin menghidupkan sikap ta’awun.
e. Al-Amanah
(Terpercaya/Jujur)
Nilai paling penting
dalam transaksi bisnis adalah sikap kejujuran. Prinsip amanah juga harus
diimbangi dengan sikap profesionalisme karena ini berpengaruh dalam penepatan seseorang
sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.
f. Ridho
(Suka sama suka)
Dalam transaksi
mu’amalat perlu adanya suka sama suka karena tanpa keridhoan antara keduanya
maka seluruh akad menjadi batal. Jadi ridhomenjadi syarat sahnya suatu
transaksi mu’amalat.
g. Riswah
(Sogok/Suap)
Dalam tatanan kehidupan
perekonomian sangat berat dalam implementasikanny dilihat dari kultur budaya
korupsi yang sangatkental di Indonesia karena riswan akanmerusaktatanan
profesionalisme dalam bisnis.
h. Maslahah
(Kemaslahatan)
Islam memberikan
kemudahan kepada umtnya karena bila dalam keadaan darurat segala hal yang
diharamkan menjadi bolehasalkan sesuai dengan ketentuandan melebihi batas.
i.
Khitman (Pelayanan)
Dalam menjalankan
bisnis ekonoi kita harus memberikan pelayanan yang terbaik untuk pelanggan
karena pelayanan yang baik mencerminkan perilaku luhur warisan nabi.
j.
Tathfif (Kecurangan)
Kecurangan biasa sering
terjadi dalm transaksi bisnis misalkan saja dalam pengurangan timbangan,
menentukan rate,menetapkan klaim asuransi, menaksir suatu barang,hendakanay
bisnis dilakukan dengan adil, jujur dan transparan agar dapat diridhoi oleh
Allah.
k. Gharar,
Maysir, Riba
Ketiga sifat ini adalah
hal yang paling dihindari dalam proses transaksi syari’ah.[4]
2. Dasar
Hukum Asuransi
Dasar
hukum asuransi konvensional
Dasar
hukum asuransi konvensional yang diatur di negara Indonesia berdasarkan :
a. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246.
b. Undang-Undang
Republik Indonesia No. 2 tahun 1992 Bab 1 pasal 1 tentang usaha perasuransian
c. Peraturan
pemerintah No. 63 tahun 1999 yang telah diubah dari peraturan pemerintah No. 73
Tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha perasuransian.
d. Keputusan
menteri keuangan RI No. 421/KMK.06/2003,
tentang penilaian kemampuan dan kepatutan bagi direksi dan komisaris perusahaan
dan perasuransian.
e. Keputusan
menteri keuangan No. 422/KMK. 06/2003, tentang penyelenggaraan usaha perusaan
asuransi dan perusahaan reasuransi
f. Keputusan
menteri keuangan No. 423/KMK. 06/2003, tentang pemeriksaan perusahaan
perasuransian
g. Keputusan
menteri keuangan No. 424/KMK. 06/2003, tentang kesehatan keuangan perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi
h. Keputusan
menteri keuangan No. 425/KMK. 06/2003, tentang perizinan dan penyelenggaraan
kegiatan usaha perusahaan penunjang usaha asurasi
i. Keputusan
menteri keuangan No. 426/KMK. 06/2003, tentang perizinan uasha dan kelembagaan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.[5]
Dasar hukum asuransi
syari’ah
Konsep dalam asuransi syari’ah berdasarkan dalam
konsep takaful, dimana takaful berlandaskan rasa tanggung jawab dan
persaudaraan. Dalam ilmu tashrif atau sharaf takaful termasuk kedalam bina
muta’adi yaitu tafaa’aala yang mempunyai arti saling menenggung atau saling
menjamin.
Landasan asuransi
syari’ah yang bersumber dari sunnah :
“
Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang yang beriman antra
satu dengan yang lainnya sepeerti satu tubuh, apabila salah satu anggota
tubuhny sakit maka seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasakannya”. ( HR.
Bukhori dan muslim).
“
Sesungguhnya seseorang yang beriman itu ialah barang siapa yang memberi
keselamatan dan perlindungan harta dan jiwa manusia”. ( HR. Ibnu Majah )
“
setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab, dan setiap kamu
bertanggung jawab atas oragng-orang yang berada dibawah tanggung jawabnya”. (
Bukhori dan Muslim).[6]
Landasan hukum positif
asuransi Syari’ah :
ü Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional Nomor : 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syari’ah. Dalam fatwa ini disebutkan beberapa prinsip umum tentang asuransi
Syari’ah disamping akad dalam asuransi Syari’ah.
ü Secara
umum, peraturan landasan hukum asuransi Syari’ah pada dasarnya sama dengan yang
berlaku pada asuransi konvensional karena hal-hal yang berkenaan dengan
administrasi dan sistem laporannya.[7]
3. Prosedur
dan Perhubungan Hukumnya
Asuransi
Syariah
Dana Tabaruk (kebajikan)
|
Perusahaan
|
Dana
|
Tabungan
|
Asuransi
|
Dana
yang didapat oleh perusahaan dari nasabah yang membayar premi kepada perusahaan
Asuransi syari’ah langsung di bagi menjadi tiga bagian:
1. Di
simpan di bagian dana taburuk (dana kebajikan)
2. Di
simpan di bagian tabungan
3. Di
simpan untuk pencairan asuransi.
Perusahaan
|
Dana
Tabungan
|
Dana
|
Dana Asuransi
|
Dana yang diperoleh dari nasabah yang
menggunakan jasa asuransi dana di masukan ke dalam tabungan dan dan asuransi,
yang itu dari perusahaan asuransi langsung membaginya dan nasabah langsung
mengetahui berapa premi yang akan di dapat.
Dengan hubungan antara perikatan dan perjanjian
adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu bentuk perikatan. Pada Pasal 1233
KUHPerdata dikatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”. Dalam hal ini ditegaskan bahwa setiap
kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang
terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh para pihak, ataupun
karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
demikian berarti perikatan adalah “hubungan hukum antara 2 (dua) atau lebih
orang (pihak) dalam bidang/ lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban
pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut”.[8]
4. Perlindungan
Nasabah
Sesuai dengan permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) akan menjamin nasabah asuransi, akan tetapi LPS masih menunggu
keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU) asuransi yang mengatur itu. Sebagai
suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah bank di
Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), juga siap menjamin nasabah
asuransi. Perlindungan yang dilakukan LPS pada asuransi, yakni salah satunya
terkait kerugian dana nasabah jika terjadi kecurangan yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi. Hal itu dikatakan Ketua LPS, Kartika Wirjoatmodjo, seiring
dengan permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang meminta agar LPS tidak
hanya menjamin nasabah bank saja, akan tetapi bisa menjamin nasabah asuransi.
“Penjaminan
terhadap nasabah asuransi ini perlu dibahas dengan sangat hati-hati. Pasalnya,
industri asuransi lebih kompleks dibanding perbankan," pungkasnya. Sebelumnya,
pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dapat mempercepat untuk memperluas kewenangan LPS agar melindungi
nasabah asuransi melalui Undang-Undang Usaha Perasuransian yang baru. Sebagaimana
diketahui, sejak 2013 draft RUU Usaha Perasuransian sudah masuk ke DPR, namun
RUU tersebut belum masuk ke dalam tahap pembahasan. Hanya saja, Komisi XI sudah
meminta masukan dari OJK, lembaga asuransi, pakar perasuransian dan asosiasi.
Anggota Dewan
Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti S
Soetiono mengatakan guna mewujudkan keinginan OJK tersebut, perlu adanya
dukungan dari pemerintah dan DPR berupa UU Usaha Perasuransian sebagai payung
hukum. "RUU asuransinya masih di DPR, tetapi memang perlu untuk dipikirkan
untuk melindungi nasabah,"[9]
5. Kelebihan
dan Kelemahan
Dalam upaya pengembangan operator asuransi syariah
baru di Indonesia, yang dapat menjadi kekuatan positif adalah sebagai berikut :
§ Tenaga
kerja professional/ sumber daya manusia inti yang kompeten dan memiliki
integritas moral dan ghirah Islam, yang berada dalam sebuah teamwork yang
solid.
§ Pemegang
saham yang memiliki visi misi syariah yang jelas.
§ Kelompok
pemegang saham yang mampu mengusahakan “captive market” awal.
§ Kelompok
pemegang saham diharapkan memiliki potensi ‘network” yang bisa diintegrasikan
dengan system yang dimiliki”professional teamwork”.
§ Kelompok
pemegang saham diharapkan memiliki infra struktur teknologi dan potensi tenaga
ahli.
§ Dalam
aspek legal, sifat perjanjian yang memenuhi syarat syariah mampu member rasa
aman kepada peserta asuransi syariah, selain unsur duniawi semata
§ Adanya
unsur dakwah
§ Produk
asuransi bersifat transparan (berkeadilan)
Namun demikian, system asuransi syariah
dan “core team” asuransi syariah baru ini memiliki beberapa kelemahan yang
masih dalam tahap peningkatan, yaitu:
§ SDM
pendukung belum banyak memahami bisnis syariah.
§ Dalam
hal pemasaran, alternative distribusi relative masih terbatas disbanding pola
konvesional.
§ Kompleksitas
dalam administrasi syariah memerlukan dukungan system yang handal.
§ Permodalan
yang terbatas
§ Apabila
pemegang saham kurang menghargai pentingnya investasi di bidang IT sebagai
“modeling tools” dan “administrasi tools”
§ Pengalaman
langsung/penerapan modal terhadap bisnis riil belum cukup
§ Lemahnya
“public relations” untuk mengomunikasikan keunggulan LKS[10]
6. Persamaan
dan Perbedaan
Ø Persamaan
antara asuransi konvensional dan asuransi syari'ah . Jika diamati dengan seksama,
ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi
syariah, diantaranya sbb:
1. Akad kedua asuransi ini berdasarkan
keridloan dari masing- masing pihak.
2. Kedua-duanya memberikan jaminan
keamanan bagi para anggota
3. Kedua asuransi ini memiliki akad
yang bersifat mustamir (terus)
4. Kedua-duanya berjalan sesuai dengan
kesepakatan masing-masing pihak.
Ø Perbedaan
antara asuransi konvensional dan asuransi syariah .
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah
memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal: Pertama , keberadaan
Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu
keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan
investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.Adapun dalam asuransi
konvensional, pengawasan manajemennya diawasi oleh BAPEPAM LK ( Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) adalah sebuah lembaga di bawah Kementerian
Keuangan Indonesia
yang bertugas membina, mengatur, dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal
serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
lembaga keuangan. Kedua , prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli
(tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang
tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat
tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).Keduanya. Ketiga ,
dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah).
Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang
sektor dengan sistem bunga. Keempat , premi yang terkumpul diperlakukan
tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah
untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik
perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan
kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Dari perbandingan di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa asuransi syari’ah maupun konvensional tidak jauh
berbeda kegunaannya. Saya tekankan disini standar syar’i memang bisa dijadikan
objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin, akan tetapi jangan hanya berpatok
kepada unsur syari’ahnya saja dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan
syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum
muslimin berhati-hati dalam memilih produk asuransi, syari’ah atau tidak
syari’ah yang penting harus jela aqod di depan, harus jelas pembagian
keuntungannya.Termasuk pengetahuan mengenai produk yang diambil, apakah sudah
benar-benar sesuai dengan kebutuhan Anda. Hindari membeli produk karena teman,
saudara, sahabat atau bahkan kekasih karena hal tersebut akan merugikan diri
Anda sendiri, tetapi belilah produk yang tepat dan Anda harus betul-betul tahu
akan kegunaan produk tersebut untuk masa depan Anda dan keluarga Anda.[11]
[1]
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif
Hukum Islam, Jakarta:Prenada Media, 2004, hlm. 57
[2]
Yadi Janwari, Asuransi Syari’ah,
Bandung:Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 1
[3]
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif
Hukum Islam, Jakarta:Prenada Media, 2004, hlm. 77-83
[4]
Ibid…. hlm. 125-134
[5]
Radiks Purba, Memahami Asuransi di
Indonesia, Jakarta:1992 Seri Umum, hlm. 40-42
[6]
Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syari’ah
Dalam Praktek, Depok:Gema Insani Press, 2006, hlm. 54
[7]Yadi
Janwari, Asuransi Syari’ah,
Bandung:Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 29
[8]
Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia,
Jakarta:Rineka Cipta, 2004, hlm. 22
[9]
Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Di
Indonesia, Jakarta:Rienika Cipta, 2004, hlm. 156
[10]
Yadi Janwari, Asuransi Syari’ah,
Bandung:Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 107
[11]
Ibid …. 90-95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar