Pages

Pages - Menu

Sabtu, 08 Desember 2012

MAKRO EKONOMI ISLAM


KEBIJAKAN FISKAL DALAM  ISLAM
PENDAHULUAN
  1. Pengertian  
Kebijakan Fiskal merupakan sebuah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola perekonomian kekondisi yang lebih baik dengan cara mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal dapat juga diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalanya perekonomian. Menurut Islam, sistem ekonomi Islam pada dasarnya dibagi kedalam tiga sector yang utama, yaitu sektor public, sektor swasta dan juga sektor keadilan sosial. Fungsi daripada sektor fiskal menurut Islam :
  1. Memelihara terhadap hukum, keadilan dan juga pertahanan
  2. Perumusan dan pelaksanaan terhadap kebijakan eonomi
  3. Manajemen kekayaan pemerintah yang ada di dalam BUMN
  4. Intervensi ekonomi oleh pemerintah jika diperlukan
Fungsi fiskal menurut konvensional adalah sebuah fungsi dalam tataran perekonomian yang sangat identik kemampuan yang ada pada pemerintah dalam masalah menghasilkan pendapatan untuk menutupi kebutuhanya dan lalu mengalokasikan anggarannya yang ada, atau bisa disebut dengan anggaran belanja Negara dan juga mendistribusikanya agar tercapai apa yan dinamakan dengan efisiensi anggaran. Sedangkan instrument fiskal yang bisa digunakan adalah pajak dan anggaran. Dalam pandangan ekonomi islam pendapatan dan anggaran merupakan alat yang efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan ekonomi. [1]
Adapun tujuan dari kebijakan pemerintah menurut Sukirno, yaitu dilihat berdasarkan dua tujuan yakni tujuan yang berifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial dan politik.
1.      Tujuan yang bersifat ekonomi
Ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan utama, yakni
a.       Menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat
b.      Meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat
c.       Memperbaiki distribusi pendpatan masyarakat serta mengurangi ketimpangan dalam masyarakat.
2.      Tujuan yang bersifat sosial politik
a.       Meningkatkan kemakmuran keluarga dan kestabilan keluarga
b.      Menghindari masalah-masalah sosial, keamanan, dan perlindungan hukum bagi masyarakat
c.       Mewujudkan kesetabilan politik
Sementara menurut Siddiq (1988), mengklasifikasikan fungsi Negara islami dalam tiga kategori, yaitu :
  1. Fungsi yang dinamakan syariah secara permanen, meliputi :
a.       Pertahanan
b.      Hukum dan ketertiban
c.       Keadilan
d.      Pemenuhan Kebutuhan
e.       Dakwah
f.       Amar ma’ruf nahi mungkar
g.      Administrasi sipil
h.      Pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial jika sektor swasta gagal memenuhinya.
  1. Fungsi turunan syariah yang berbasis ijtihad sesuai kondisi sosial dan ekonomi pada waktu tertentu, meliputi :
a.       Perlindungan lingkungan
b.      Penyediaan sarana kepentingan umum
c.       Penelitian ilmiah
d.      Pengumpulan modal dan pembangunan ekonomi
e.       Menyediakan subsidi pada kegiatan swasta tertentu
f.       Pembelanjaan yang diperukan untuk stabilisasi kebijakan.
  1. Fungsi yang diamanahkan secara kontekstual berdasarkan proses musyawarah, meliputi semua kegiatan yang dipercayakan masyarakat kepada sebuah proses musyawarah. Inilah yang menurut Siddiqi terbuka dan berbeda kepada setiap Negara tergantung situasi dan kondisi Negara masing-masing.
Pandangan berbeda tentang fungsi dan tanggungjawab Negara disampaikan oleh Khaf (1989). Negara tidak bebas menentukan prioritas pilitik dan ekonomi, ataupun memaksakan pola pembelanjaan Negara, politik dan ekonomi yang membatasi kebebasan dan hak individu yang diberikan Allah SWT. Sasaran utama Negara Islami melindungi agama dan supermasi kalimatullah. Negara harus membantu kaum muslimin melaksanakan kewajiban agamanya. Selanjutnya Negara islam harus bertanggungjawab menyampaikan kalimatullah ke kalangan non muslim melalui kegiatan dakwah.
  1. Bentuk Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu:
  1. Penstabil Otomatik
Pensetabil otomatik adalah bentuk-bentuk sistem fiskal sedang berlaku yang secara otomatik cenderung untuk menimbulkan kestabilan dalam kegiatan ekonomi.
a.       Sistem perpajakan yang progresif dan proporsional
Sitem pajak progresif adalah suatu sistem perpajakan yang mengenakan persentase lebih tinggi seiring dengan semakin tinggi jumlah pendapatan, sistem pajak ini biasanya digunakan dalam memungut pajak pendapatan individu dan dipraktekan hampir di semua Negara. Sementara pajak proporsional adalah suatu sistem perpajakan yang mengenakan persentase yang sama terhadap seluruh tingkat pendapatan. Di beberapa Negara, sitem pajak porposional biasanya digunakan untuk memungut pajak atas keuntungan perusahaan korporat, yaitu pajak yang harus dibayar adalah porposional dengan keuntungan yang diperoleh, misalkan 30% dari keuntungan adalah pajak yang harus dibayarkan.
b.      Kebijakan Harga Minimum
Kebijakan harga minimum merupakan suatu sistem pengendalian harga yang bertujuan menstabilkan pendapatan para petani dan pada waktu yang sama menjaga agar mendapatkanya cukup tinggi. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menstabilkan harga dan pendapatan serta membantu mengurangi fluktuasi kegiatan seluruh ekonomi.
c.       Sistem Asuransi Pengangguran
Sistem ini adalah suatu bentuk jaminan sosial yang diberikan kepada penganggur. Sistem ini pada dasarnya menghruskan  (I) tenaga kerja yang sedang bekerja untuk membayar asuransi pendapatan. (II) menerima jumlah pendapatan yang ditentukan pada saat menganggur.
  1. Kebijakan Fiskal Diskresioner
Kebijakan fiskal diskresioner merupakan langkah-langkah dalam bidang pengeluaran pemerintah dan perpajakan yang secara khusus membuat perubahan ke atas sistem yang ada, yang bertujuan untuk mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi. Karena ternyata penstabil otomatik belum dapat mengatasai masalah pengangguran atau inflasi dalam perekonomian. 
Secara umum kebijakan diskresioner digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu :
a.       Kebijakan Fiskal Ekspansif (expansionary Fiscal Policy)
Maksudnya adalah pola kondisi perekonomian yang rendah ketika menghadapi masalah pengangguran. Bentuk kebijakan ini adalah dengan menambah pengeluaran pemerintah, yang biasanya digunakan untuk perbaikan infrastruktur dan kegiatan ekonomi. Dan juga mengurangi tingkat persentase pengenaan pajak.
b.      Kebijakan FIskal Kontraksi (contractionary fiscal Policy)
Kebijakan yang kedua ini dilakukan ketika maslah inflasi yang dihadapi atau perekonomian telah mencapai kesempatan kerja penuh dan tingkat pengangguran sangat rendah. Tujuanya adalah agar inflasi kembali normal dengan tetap menjamin agar kesempatan kerja penuh tercapai.
Namun kebijakan yang mengurangi pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan fiskal diskresioner yang paling efektif dalam menekan tingkat inflasi.
Kebijakan Fiskal memiliki beberapa kelemahan, yaitu :
  1. Adanya jed waktu (time lag)
a.       Recognition lag, yaitu periode di antara bermulanya masalah yang dihadapi dengan masanya disadari bahwa kebijakan perlu dijalankan untuk mengatasi masalah tersebut.
b.      Dicision lag atau inside lag, yaitu perbedaan waktu di antara menyadari maslah yang dihadapi dengan waktu dimana kebijakan-kebijakan ekonomi mulai dilaksanakan atau berfungsi.
c.       Action lag atau outside lag, yaitu perbedaan waktu di antara pelaksanaan kebijakan dan pengaruh sepenuhnya yang dirasakan dalam ekonomi.
  1. Persaingan untuk memperoleh dana di antara pemerintah dan sektor swasta. Persaingan ini akan menimbulkan crowding out dan menyebabkan kenaikan suku bunga dan menurunkan investasi.
  2. Kebutuhan untuk membayar bunga dan mencicil pembayaran kembali pinjaman di masa yang akan datang. Bukan saja pinjaman pemerintah tersebut akan meninggalkan beban kepada generasi yang akan datang tetapi juga menyebabkan pengurangan dana pembangunan.

  1. Kebijakan Fiskal Masa Rasulullah
Pada tahun ke dua setelah Hijriyah, sedekah dan fitrsh diwajibkan, dimana dibayarkan setiap bulan ramadhn. Zakat mulai diwajibkan pembayaranya pada tahun ke Sembilan hijriyah. Hampir seluruh pekerjaan pada masa Rasulullah tidak mendapatkan upah, tetapi mereka diperbolehakan mendapatkan bagian dari rampasan perang. Dengan adanya perintah wajib ini mulai ditentukan para pengelolanya, dimana mereka tidak digaji secara resmi, tetapi mendapatkan bagian tertentu dari zakat yang dikelola yaitu maksimal 12,5% dari dana zakat yang ada.
Sumber penerimaan pada masa Rasulullah digolongkan menjadi 3 golongan besar, diantaranya :
1.      Dari kaum muslim sumber penerimaan Negara, yaitu
a.       Kharaj (pajak tanah)
b.      Zakat
c.       Ushr (bea impor)
d.      Zakat Fitrah
e.       Wakaf
f.       Infak dan Shadaqah
g.      Amwal Fadhla (harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negrinya.
h.      Nawaih (pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat.
i.        Khumus atau rikaz (harta karun temuan pada periode sebelum islam.
2.      Sementara pendapatan kaum non muslim yakni :
a.       Jizyah
b.      Kharaj
c.       Ushr
3.      Sedangkan dari sumber penerimaan yang lain yakni :
a.       Ghanimah ( harta rampasan perang)
b.      Fay (harta dari daerah taklukan)
c.       Uang tebusan untuk para tawanan perang
d.      Kaffarah atau denda
e.       Hadiah
f.       Pinjaman dari kaum muslimin dan non muslim [2]

  1. Kbijakan Fiskal pada masa Khulafaurrosyidin
  2. Kebijakan Fiskal dan Instrumen Fiskal Pemerintahan Islam
1.      Sangat jarang terjadi anggaran Defisit
2.      Sistem pajak proporsional
3.       Besarnya Rate kharaj ditentukan berdasarkan produktivitas lahan, bukan berdasarkan zona
4.      Berlakunya Regressive rate untuk zakat peternakan
5.      Perhitungan zakat perdagangan berdasarkan besarnya keuntungan, bukan atas harga jual
6.      Porsi besar untuk pembangunan Infrastruktur
7.      Manajemen yang baik untuk hasil yang baik
8.      Jaringan kerja antara Baitul maal pusat dengan daerah
a.       Peningkatan pendapatan nasional dan partisipasi kerja
1)      Mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshor
2)      Mendorong terjalin kerja sama antara kaum muhajirin dan anshor
3)      Membagikan tanah dan membangun perumahan untuk kaum muhajirin
4)      Membagikan 80% harta rampasan perang
b.      Pemunutan pajak
c.       Pengaturan anggaran
d.      Penerapan kebijakan fiskal khusus
1)      Meminta bantuan kaum muslimin secara sukarela atas permintaan Rasulullah
2)      Meminjam peralatan dari kaum non muslim dengan jaminan penembalian dan ganti rugi apabila alat itu rusak
3)      Meminjam uang kepada orang tertentu dan memberikanya kepada orang yang baru masuk Islam (mualaf)
4)      Menerapkan kebijakan pemberian Intensif  
  1. Efektifitas kebijakan Fiskal
Dalam menetukan kebijakan yang akan diterapkan, harus terlebih dahulu efektifitas kebijakan dengan mengunakan kurva IS-LM. Dalam teori Keynesian, kurva IS-LM adalah alat analisis yang digunakan untuk menunjukan kombinasi aggregat out put dan tingkat suku bunga. [3]


[1] M. nur Rianto Al Arif, S.E., M.Si. Teori Makroekonomi Islam Konsep, Teori, dan Analisis, Bandung:Alfabeta, 2010, Hal149-150
[2]
[3] Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P, Ekonomi Makro Islami edisi kedua, Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2010, Hlm. 247-252

Senin, 19 November 2012

INDONESIA NEGARA KAFIR?


Pertanyaan
Ustadz, benarkah negara kita negara kafir (meskipun warganya masyoritas muslim)karena tidak menggunakan hukum islam? Sebagaimana orang katakan, kalau benar negara kita kafir mengapa yang mengatakan negara Ind
onesia kafir masih hidup di Indonesia dan makan minum produk orang kafir juga?

Mohon penjelasan, karena saya bingung dengan ilmu saya yang sedikit untuk memahaminya.

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apakah Indonesia ini negara kafir atau bukan, sebenarnya merupakan perdebatan panjang yang tidak ada habisnya.
Mengapa demikian?
Sebab sejak menetapkan kriteria negara Islam, para ulama sudah berbeda pendapat. Apakah suatu negeri pantas disebut sebagai negara Islam atau tidak, rupanya tidak ada batasan yang disepakati bersama. 
Setidaknya kalau kita lihat perbedaan kriteria negara Islam dan contoh-contohnya di dunia ini, kita bisa membaginya menjadi empat macam kriteria :
1. Berpenduduk Mayoritas Muslim
Sebagian berpendapat bahwa apabila suatu negeri dihuni oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam, otomatis pantas disebut dengan negara Islam. Bahwa di negeri itu diterapkan hukum syariat atau tidak, dalam arti hukum hudud dan jinayat, itu lain urusan.
Kalau batasannya seperti ini, maka kita bisa menyebut bahwa Indonesia termasuk negara Islam. Bahkan posisinya nomor satu, karena Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 200 juta lebih. Tidak ada di dunia ini negara yang punya penduduk muslim sampai 200 juta. 
Menurut estimasi tepatnya berjumlah 202.867.000 jiwa, 88,2% dari seluruh penduduk negeri ini, atau 12,9% dari populasi muslim dunia. Itu berarti dari seluruh umat Islam di permukaan planet bumi, 1/8 dari mereka adalah bangsa Indonesia. Seandainya seluruh penduduk di negeri Arab sana memutuskan untuk melebur negara mereka menjadi satu negara, belum tentu jumlah penduduknya akan menyamai penduduk muslim di Indonesia.
Di belakang Indonesia ada India. Walaupun persentase penduduk muslimnya hanya 13,4 %, tapi  jumlahnya ketiga terbesar dunia, yaitu 160.945.000 jiwa, atau 10,3% dari jumlah Muslim dunia. Seandainya muslim India tidak memisahkan diri menjadi negara tersendiri, yaitu Pakistan, seharusnya India dan Pakistan berpenduduk muslim kurang lebih 33 juta jiwa, menjadi penduduk muslim terbesar di dunia.
Urutan berikutnya adalah Bangladesh, Mesir, Nigeria, Iran, Turki dan seterusnya. Arab Saudi sendiri malah tidak masuk hitungan, kalau kriterianya seperti ini.
2. Negeri Dengan Syiar Islam Yang Dzhahir
Sebagian lagi berpendapat bahwa batas suatu negara dikatakan Islam adalah apabila syiar-syiar Islam berjalan secara lahiriyah. Syiar-syiar itu misalnya adanya shalat berjamaah, berkumandangnya adzan dan iqamah, dikenakannya jilbab oleh para wanita, berjalannya syariat zakat, haji, puasa Ramadhan, shalat Jumat dan seterusnya. Bahkan bisa saja negara itu punya asesori atau lambang-lambang keislaman secara resmi.
Kalau batasannya seperti ini, maka yang termasuk di dalamnya antara lain Somalia, Libya dan juga Indonesia.
a. Somalia
Republik Somalia di Afrika. Negara itu punya motto yang unik, yaitu lafadz  Laa Ilaah Illallah Muhammad Rasulullah. Ini bukan moto ormas atau pengajian, melainkan moto sebuah negara secara resmi yang nyaris hampir semua penduduknya muslim.
b. Libya
Selain itu kita juga mengenal Libya yang asalnya bagian dari khilafah Turki Utsmani, lalu dicaplok oleh tentara Italia dan kemudian memerdekakan diri. Yang menarik, ternyata judul lagu kebangsaan resmi Libya adalah : Allahu Akbar.
c. Indonesia
Para founding father negara Indonesia di dalam pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, menyebutkan bahwa kemerdekaan negara Indonesia adalah berkat rahmat Allah Negara Yang Berdasarkan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya.
Meski pun tujuh kata pada sila pertama dari Piagam Jakarta ini kemudian dihapus atas ultimatum kalangan non muslim di wilayah bagian timur, namun mengalahnya para founding father pada 18 Agustus 1945 lebih karena menjaga keutuhan integritas bangsa yang nyaris terkoyak.
Tetapi yang menjadi pertanyaan besar adalah : apakah sebuah negara bisa disebut sebagai negara Islam, hanya dengan mencantumkan hal-hal yang berbau keislaman, baik dalam moto, lagu kebangsaan atau pun juga dalam pembukaan UUD-nya?
3. Menyatakan Secara Formal Berlakunya Hukum Islam
Sebagian lagi berpendapat bahwa batasan hukum Islam itu adalah apabila di suatu negeri menyatakan berlakunya hukum Islam secara formal. Kalau kriterianya seperti ini, maka di dunia ini cuma ada dua negara Islam, yaitu Kerajaan Saudi Arabia dan Malaysia.
a. Kerajaan Saudi Arabia.
Bentuk negara ini adalah monarki mutlak Islam, hukum-hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Bahkan negara ini memberlakukan hukum jinayat dalam arti sesungguhnya, seperti merajam pezina, memotong tangan pencuri, mencambuk peminum khamar dan juga menjalankan hukum qishash dalam urusan pembunuhan atau melukai orang lain.
Tentang bagaimana penerapannya, tentu akan ada banyak versi penilaian yang berbeda. Tetapi setidaknya, Saudi Arabia secara tegas menyebutkan bahwa negara mereka menerapkan hukum Islam.
b. Malaysia
Negara tetangga kita, Malaysia, ternyata diam-diam mencantumkan Islam sebagai hukum resmi yang berlaku. Tetapi istilah diam-diam rasanya kurang tepat, mungkin yang lebih tepat, tanpa kita sadari. Sebab memang secara resmi negara itu menetapkan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam.
Tetapi bagaimana aplikasi dan penerapannya, tentu akan ada banyak versi penilaian. Tetapi kalau dibandingkan dengan Indonesia, jelas berbeda.
4. Negara Dengan Nama Resmi Negara Islam
Versi yang keempat dari batasan negara Islam adalah apabila negara itu mencantumkan kata Islam dalam nama resmi negara. Memang banyak negara di dunia ini yang secara formal telah mengklaim diri sebagai negara Islam, baik kata ‘Islam’ itu dijadikan bagian dari nama resmi negara itu, atau pun hanya disebutkan sebagai hukum yang resmi berlaku.
Di antaranya adalah Iran, Afghanistan, Pakistan dan Brunai Darussalam.
a. Republik Islam Iran
Negara itu secara resmi  menambahkan kata ‘Islam’ di dalam nama resmi negara itu. Dalam bahasa Inggris, nama negara itu adalah Islamic Republic of Iran. 
b. Republik Islam Pakistan
Negara lain yang secara resmi menyebut diri sebagai negara Islam adalah Pakistan. Nama resmi negara hasil pecahan dari India yang merdeka pada tahun 1947 itu adalah Republik Islam Pakistan.
Berdirinya Republik Islam Pakistan tidak lepas dari peran seorang pengacara muslim Muhammad Ali Jinnah. Pada awalnya, berdirinya Pakistan merupakan problem tersendiri, terutama dalam mencari alasan atau raison d’etre Pakistan merdeka. Apakah the founding fathers Pakistan bermaksud mendirikan Negara Islam atau tengah berupaya membangun tanah air bagi orang Islam? Lebih dari itu, apakah kekhawatiran sebagai warga minoritas di India yang mayoritas Hindu dapat dijadikan alasan berdirinya Pakistan merdeka.
Berbagai teori telah dimunculkan tentang alasan-alasan pokok berdirinya Pakistan sebagai sebuah negara dengan identitas Islam.
c. Afghanistan
Sepeninggal Uni Sovyet, bangsa Afghanistan memproklamirkan diri dan menyatakan kemerdekaan mereka, serta menamai negara mereka dengan nama resmi Republik Islam Afghanistan.
d. Brunai Darussalam
Sedangkan tetangga kita, Negara Brunei Darussalam, meski tidak mencantumkan kata ‘Islam” sebagai nama resmi, namun kata ‘darussalam’ di dalam istilah fiqih tidak lain bermakna negara Islam, sebagai lawan dari istilah darul-kufri (negara kafir).
Yang menjadi pertanyaan, apakah sebuah negara sudah bisa dianggap sebagai negara Islam, hanya dengan menambahkan embel-embel kata Islam di dalam nama resmi negara itu?
Perdebatan Belum Selesai
Kalau pun Indonesia mau dibilang negara kafir, karena tidak menerapkan syariat Islam, maka yang pertama kali harus dikatakan negara kafir justru negara Madinah Al-Munawwarah di masa Rasulullah SAW.
Lho kok begitu?
Ya, karena Madinah di masa Rasulullah SAW tidak sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Saat itu selain hukum Islam, juga berlaku hukum yahudi dan juga hukum-hukum lainnya. Bahkan penduduk Madinah saat itu juga bukan sepenuhnya muslim. Sebagian ada yang yahudi, ada yang penyembah berhala, bahkan ada juga yang memeluk agama majusi dan agama-agama lainnya.
Hukum syariat hanya diberlakukan buat sebagian masyarakat saja, yaitu umat Islam. Sedangkan buat pemeluk agama lain, yang diberlakukan adalah hukum-hukum yang sesuai dengan agama mereka. Dan saat itu Rasulullah SAW sendiri yang bertindak sebagai kepala negara. Beliau SAW malah menjamin agar penduduk Yahudi Madinah untuk berhukum dengan hukum Taurat.
Jadi kalau ukuran sebuah negara dikatakan sebagai negara Islam adalah pada masalah hukum apa yang berlaku, maka sebenarnya Madinah malah bukan termasuk negara Islam. Karena hukum yang berlaku bukan hanya hukum Islam. Dan penduduknya juga banyak yang bukan beragama Islam.
Sebagian Hukum Syariat Berlaku di Indonesia
Sebenarnya agak kurang tepat kalau dikatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia sepenuhnya bukan syariat Islam.  Beberapa hukum syariat sebenarnya sudah berlaku di negeri kita. Bahkan kita punya Pengadilan Agama, dimana hukum yang dipakai adalah hukum syariat.
Memang Indonesia tidak menerapkan hukum hudud, qishash dan jinayat. Benar bahwa kita tidak menemukan adanya hukum potong tangan buat pencuri, juga tidak ada hukum rajam dan cambuk buat pezina, juga tidak ada hukum cambuk 40 atau 80 kali buat peminum khamar. 
Tetapi kalau tiba-tiba dikatakan bahwa Indonesia adalah negara kafir, tentu tidak terlalu tepat. Sebab nyatanya bangsa Indonesia masih menerapkan begitu banyak hukum Islam. Apalagi bila kita memahami hukum syariat bukan hanya sebatas hudud dan jinayat saja.
Bukankah menikah, talak, rujuk, hukum waris, bahkan shalat berjamaah, puasa, zakat, haji dan jilbab itu juga bagian dari syariat Islam? Bukankah semua itu masih ada dan masih eksis di negeri kita? Lalu apakah hanya gara-gara kita tidak menerapkan hukum hudud dan jinayat, lantas kita berhak memberi predikat kepada Indonesia sebagai negara kafir?
Yang agak sedikit mendekati kebenaran adalah bahwa negara kita ini adalah negara Islam, namun belum atau tidak sepenuhnya menerapkan detail hukum hudud dan jinayat. Sementara dilihat dari sisi komposisi penduduk, Indonesia justru merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Mengapa Tidak Semua Hukum Syariat Berjalan?
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kenapa tidak seluruh detail hukum syariat berlaku di Indonesia? Kenapa hukum Islam hanya dijalankan sepotong-sepotong? Apa yang menjadi penyebab? Dan apa tugas kita sekarang ini untuk bisa mengembalikan tegaknya syariat Islam?
1. Penyebab
Ada dua macam penyebab, kenapa syariat Islam tidak sepenuhnya berlaku di negeri kita.
a. Penyebab Pertama : Penjajahan
Sejak pertama kali masuk ke nusantara, ajaran Islam sudah dijalankan oleh anak-anak negeri. Perlahan tapi pasti, kemudian Islam bukan hanya sekedar menjadi ritual ibadah, tetapi kurang lebih 5 abad kemudian atau tepatnya pada  abad 13 menjadi pemerintahan Islam, alias negara Islam 100%.
Sriwijaya, Demak bahkan Kerajaan Jawa Mataram Islam adalah contoh yang bisa dengan mudah kita sebutkan, sebagai negara secara resmi menerapkan hukum hudud, seperti potong tangan, rajam dan sebagainya. Maka negara Islam itu berlangsung selama beberapa abad.
Sehingga kemudian datanglah para penjajah Kristen dari Eropa. Maka sejak lebih dari 400 tahun yang lalu merupakan negara yang dijajah oleh banyak negara. Khususnya ketika Belanda menjajah selama 350 tahun, nyaris hampir seluruh sekolah dan kurikulum pendidikan didirikan oleh Belanda. Isi kurikulumnya jelas-jelas mengajarkan hukum Belanda dan membuang jauh-jauh pelajaran dan mata kuliah hukum Islam.
Parahnya, ketika Belanda sudah pulang kampung dan bangsa ini mendapatkan kemerdekaannya, sekolah dan perguruan tinggi tetap saja mengajarkan hukum Belanda. Hukum Islam hanya diajarkan di madrasah dan pesantren, yang juga tidak diminati oleh para santrinya sendiri.
b. Penyebab Kedua : Kebodohan (jahil)
Penyebab kedua diakibatkan dari penyebab pertama, yaitu karena hukum Islam tidak diajarkan, maka lahirnya berlapis-lapis generasi yang agamanya masih Islam, masih suka shalat ke masjid, suka puasa, suka haji, bahkan bolak balik ke tanah suci tiap tahun. Tetapi mereka buta dengan ilmu tentang hukum Islam.
Kenapa buta?
Karena mereka tidak pernah mendapatkan akses untuk belajar hukum Islam. Sekolah dan kampus tidak mengajarkan, padahal sekolah dan kampus itu milik umat Islam. Lebih parah lagi, majelis taklim dan pengajian pun juga tidak pernah mengajarkan. Apalagi media massa, jelas sama sekali tidak.
Akibatnya, kalau sampai lahir generasi Islam yang anti hukum Islam, bahkan sampai membenci, alergi, antipati, padahal lahir dari keluarga muslim yang dijuluki 'muslim taat', kita sudah tahu sumber masalahnya.
Tanpa mengecilkan peran dan kedudukan mereka, kita ragu-ragu apakah ratusan ribu jamaah haji Indonesia yang tiap tahun beribadah ke tanah suci, mereka mengerti dengan hukum Islam? Pertanyaan bukan mengecilkan peran dan posisi mereka, tetapi sebagai sebuah bahan renungan saja.
Apakah beratus ribu mahasiswa Universitas Islam Negeri, yang kampusnya tersebar di berbagai pelosok republik ini,  mengerti dengan detail syariat dan hukum Islam?
Apakah para ustadz, kiyai, penceramah, da'i sejuta umat, yang punya nama besar dan kesohor itu, mengajarkan hukum syariah kepada jamaah mereka, di dalam majelis taklim dan pengajian mereka? Lebih jauh lagi, apa kita yakin bahwa para tokoh itu juga pernah belajar ilmu syariah dan hukum Islam?
2. Tugas Kita
Kalau kita sudah tahu duduk persoalannya, maka yang perlu kita pikirkan sekarang bukan meributkan apakah Indonesia ini negara Islam atau bukan. Bukan waktunya lagi memperdebatkan hal itu.
Juga bukan saatnya lagi kita hanya meributkan formalitas hukum Islam di tingkat legilatif, agar secara formal dan dipermukaan kita bisa disebut negara yang menerapkan hukum Islam. Perjuangan untuk menegakkan syariat Islam bukan di level formalitas, sebab berapa banyak negara yang secara formalnya jelas-jelas menyebut negara mereka sebagai negara Islam, atau bersimbol Islam, atau bernama resmi Islam, tetapi rakyatnya tetap saja tidak menerapkan hukum Islam.
Kenapa?
Karena ternyata sumber masalahnya belum dibereskan. Apa sumber masalahnya?
Sumber masalahnya adalah kejahilan umat ini atas hukum syariat mereka sendiri. Al-Islamu mahjubun bil muslimin, cahaya Islam itu tertutupi oleh kabut gelap kebodohan umat Islam sendiri.
Jadi mari kita langsung pada praktek saja, yaitu mari kita populerkan dan ajarkan Ilmu Syariah. Caranya tentu dengan belajar ilmu syariah terlebih dahulu, baik di pengajian, di rumah, di panggung ceramah, termasuk juga di dalam kurikulum sekolah dan kampus. Tetapi bukan dengan meributkan kurikulumnya, nanti akan jadi proyek lagi.
Yang termudah untuk bisa kita lakukan adalah dengan mendidik para guru di sekolah dan para dosen di kampus-kampus,  agar mereka melek dan mengerti syariah Islam. Meski bidang studi mereka berbeda-beda, asalkan gurunya paham dan mengerti ilmu syariah, serta mempraktekkannya dalam kehidupan nyata, pasti murid-muridnya akan mengikuti.
Polisi dan tentara, asalkan beragama Islam,  tentu wajib atas mereka belajar ilmu syariah. Politisi dan para menteri, asalkan muslim, tentu merupakan fardhu 'ain untuk belajar syariah. Sopir angkot, taksi, metromini dan Kopaja, juga wajib belajar ilmu syariah. Bahkan 4,7 juta PNS yang banyak menghabiskan uang negara untuk gajian bulanan itu, seharusnya wajib belajar ilmu tentang syariat Islam.
Jangan lupa, televisi, radio, koran, majalah, tabloid dan buku, seharusnya juga digunakan untuk memasyarakatkan ilmu syariah. Termasuk juga internet dengan website dan jejaring sosial, seharusnya dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mengajarkan detail-detail syariah.
Pendeknya, akses publik terhadap ilmu syariah harus dibuka selebar-lebarnya, jangan sampai ilmu syariah itu hanya terlipat di balik kitab tebal para ulama saja. Dimana kitab itu teronggok berdebu di perpustakaan yang tidak pernah dikunjungi orang.
Tugas yang berat berikutnya adalah menyiapkan generasi baru yang nantinya mereka melek Syariah.
Wallahua'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah Fiqih Indonesia