I. PENDAHULUAN
Pengembangan
perusahaan terus dilakukan oleh manajer perusahaan dalam rangka menghadapi
persaingan dan kelangsungan usahanya. Pengembangan usaha ini dapat dilakukan
melalui restrukturisasi perusahaan. Terdapat beberapa bentuk restrukturisasi.
perusahaan, yaitu
dengan melakukan merger, akuisisi, konsolidasi, divestasi, going
private, leveraged buyout (LBO), dan spin-off. Terdapat dua
perspektif utama mengapa perusahaan melakukan restrukturisasi, yaitu untuk
memaksimalkan nilai pasar yang dimiliki oleh pemegang saham yang ada dan
kesejahteraan manajemen (Foster, 1986:461). Dalam pelaksanaan
merger dan akuisisi terdapat suatu kondisi yang mendukung adanya tindakan
manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi. Pada situasi
perusahaan pengakuisisi ingin melakukan merger dan akuisisi dengan cara
pembayaran lewat saham, pihak manajemen perusahaan pengakuisisi cenderung akan
berusaha untuk meningkatkan nilai laba perusahaannya. Tujuannya adalah selain
ingin menunjukkan earnings power perusahaan agar dapat menarik minat
perusahaan target untuk melakukan akuisisi juga untuk meningkatkan harga saham
perusahaannya. Erikson dan Wang (1999) dalam Hastutik (2006) menyatakan bahwa
kecenderungan adanya praktik manajemen laba menjelang merger dan akuisisi
bertujuan untuk meningkatkan harga sahamnya sebelum stock merger agar
dapat mengurangi biaya pembelian perusahaan target. Keputusan manajemen perusahaan
yang memilih untuk melakukan manajemen laba dengan cara income increasing
accrual akan membawa konsekuensi terhadap kinerja perusahaan yang akan
mengalami suatu penurunan pada periode sesudahnya.
Penelitian-penelitian
terdahulu telah membuktikan adanya manajemen laba dalam beberapa kasus. Rahman
dan Bakar (2002) seperti yang dikutip oleh Kusuma dan Udiana Sari (2003) telah
membuktikan adanya manajemen laba melaui discretionary accrual pada perusahaan
pengakuisisi sebelum merger dan akuisisi di Malaysia pada tahun sebelum
akuisisi. Sementara Ericson dan Wang (1999) dalam Hastutik (2006) menunjukkan
bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan manajemen laba pada periode
sebelum merger dan mengidentifikasi bahwa tingkat income
incresing earnings management berhubungan positif dengan ukuran merger.
Payamta (2000)
menemukan tidak adanya perbedaan kinerja yang signifikan sebelum dan sesudah
merger dan akuisisi, baik dari segi rasio keuangan maupun harga saham.
Selanjutnya Payamta menambahkan ada kemungkinan terjadi tindakan window
dressing atas pelaporan keuangan perusahaan pengakuisisi untuk tahun-tahun
sebelum merger dan akuisisi dengan menunjukkan kekuatan perusahaan yang lebih
baik sehingga menarik bagi perusahaan target. Secara teori, setelah merger dan
akuisisi ukuran perusahaan dengan sendirinya bertambah besar karena aset,
kewajiban, dan ekuitas perusahaan digabung bersama. Dasar logis dari pengukuran
berdasarkan akuntansi adalah bahwa jika ukuran bertambah besar ditambah dengan
sinergi yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas yang simultan, maka laba
perusahaan juga akan semakin meningkat. Oleh karena itu, kinerja pasca
merger dan akuisisi seharusnya semakin baik dibandingkan dengan sebelum merger
dan akuisisi.
Di Inggris, Meeks
(1977) dan Kumar (1984) dalam Hadiningsih (2007) meneliti pengaruh merger
terhadap profitabilitas preusan yang melakukan merger. Penelitian itu
membuktikan adanya penurunan profitabilitas yang signifikan setelah tiga tahun
dan lima tahun dengan menggunakan laba operasi. Adanya perbedaan antara teori
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ada hal yang
terjadi yang memicu terjadinya penurunan kinerja perusahaan. Penelitian ini
membahas mengenai fenomena manajemen laba khususnya pada perusahaan-perusahaan yang
listing di pasar modal Indonesia (BEI) yang melakukan kegiatan merger dan
akuisisi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat konsistensi dari
hasil penelitian-penelitian terdahulu yang sebagian besar menyatakan telah
terjadi tindakan manajemen laba pada perusahaan pengakuisisi sebelum perusahaan
tersebut melaksanakan kegiatan merger dan akuisisi. Melalui pengambilan
sampel yang berbeda dari penelitian terdahulu, peneliti juga ingin melihat
perbedaan kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi pada saat sebelum dan
sesudah merger dan akuisisi.
Tujuan dalam
penelitian ini adalah (1) membuktikan bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan
manajemen laba dengan cara menaikkan nilai akrual (income increasing accrual)
sebelum merger dan akuisisi dengan tujuan untuk meningkatkan laba dan saham
yang terjual sehingga biaya yang dikeluarkan untuk melakukan merger dan
akuisisi menjadi lebih rendah, (2) dengan membandingkan kinerja, peneliti ingin
membuktikan bahwa manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi
sebelum melakukan merger dan akuisisi, telah memicu perbedaan kinerja keuangan
perusahaan yang dinilai cenderung mengalami penurunan setelah melakukan
kebijakan merger dan akuisisi.
II. KAJIAN PUSTAKA DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Penelitian tentang
manajemen laba ini dilandasi oleh agency theory. Dalam hal ini hubungan
keagenan merupakan sebuah kontrak antara satu orang atau lebih (principal) yang
mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian
mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut
(Jensen and Meckling, 1976) dalam Andriyani (2008:10). Eisenhardt (1989)
dalam Andriyani (2008:20) menyatakan ada tiga asumsi sifat manusia terkait
dengan teori keagenan, yaitu (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri
(self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi
masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko
(risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia
akan cenderung bertindak oportunis, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi dan
hal ini memicu terjadinya konflik keagenan. Teori ini memiliki asumsi bahwa
tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri
sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan
agent. Pihak agent termotivasi untuk memaksimalkan fee kontraktual yang
diterima sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan ekonomis dan psikologisnya.
Sebaliknya, pihak principal termotivasi untuk mengadakan kontrak atau
memaksimalkan returns dari sumber daya untuk menyejahterakan dirinya
dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Konflik kepentingan ini terus
meningkat karena pihak principal tidak dapat memonitor aktivitas agent
sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan keinginan
para pemegang saham. Sebaliknya, agent sendiri memiliki lebih banyak
informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan
secara keseluruhan. Hal inilah yang memicu timbulnya ketidakseimbangan
informasi antara principal dan agent. Kondisi ini dinamakan dengan
asimetri informasi. Menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Susanta
(2006:10), hubungan principal dan agent sering ditentukan dengan
angka akuntansi. Hal ini memicu agent untuk memikirkan bagaimana
akuntansi tersebut
dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya, di mana
salah satu bentuk tindakan agent tersebut adalah manajemen laba.
Perilaku manajemen
laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting Theory dan
Agency Theory. Watts dan Zimmerman (1986) dalam Halim dkk. (2005:119)
mengusulkan tiga hipotesis yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan
manajemen laba yaitu sebagai berikut. (1) Hipotesis Program Bonus (Bonus Plan
Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan yang
menerapkan program bonus lebih cenderung untuk menggunakan metode atau
prosedur-prosedur akuntansi yang akan menaikkan laba saat ini dengan
memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. (2) Hipotesis
Perjanjian Utang (Debt Covenant Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa
perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar atau menghadapi
kesulitan utang, maka manajer perusahaan akan cenderung menggunakan metode
akuntansi yang akan meningkatkan laba. (3) Hipotesis Kos Politis (Political
Cost Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politik
yang dihadapi suatu perusahaan maka manajer cenderung untuk menangguhkan laba
berjalan ke masa yang akan datang. Biaya politik muncul sebagai akibat dari
profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan
konsumen.
Manajemen laba
didefinisikan sebagai berikut. Schipper (1989) dalam Belkaoui (2004) melihat
manajemen laba sebagai suatu intervensi yang disengaja pada proses pelaporan
eksternal dengan maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan pribadi, yang
dapat dilakukan melalui pemilihan metode-metode akuntansi dalam GAAP (General
Accepted Accounting Principles) ataupun dengan cara menerapkan metode-metode
yang telah ditentukan dengan cara tertentu. Healy dan Wahlen (1999) dalam
Sutrisno (2002:164) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer
menggunakan pertimbangan dalam pelaporan keuangan dan membentuk transaksi untuk
mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk memanipulasi besaran laba
kepada stakeholders tentang kinerja ekonomi yang mendasari perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian yang tergantung pada angka-angka
akuntansi yang dilaporkan. Sugiri (1998) dalam Widyaningdyah (2001:92) membagi
manajemen laba dalam dua definisi : (a) dalam arti sempit, manajemen laba
sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary
accrual dalam menentukan besarnya earnings, (b) dalam arti luas,
manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (menurunkan) laba
yang dilaporkan saat ini atas suatu unit, di mana manajer bertanggung jawab
tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka
panjang unit tersebut. Copeland (1968) dalam Utami (2005) mendefinisikan
manajemen laba sebagai suatu usaha manajemen untuk memaksimumkan atau
meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen.
Menurut Scott
(2000:352), beberapa hal yang memotivasi seorang manajer untuk melakukan
manajemen laba antara lain (1) bonus scheme, (2) debt covenant, (3)
political motivation, (4) taxation motivation, (5) pergantian CEO, dan (6)
initial public offering. Scott (2000:365) menambahkan bentuk-bentuk dari
manajemen laba antara lain taking a bath/big bath, income minimization,
income maximization, dan income smoothing.
Husnan (2001 : 44)
menyatakan bahwa untuk mencapai prestasi dan posisi keuangan suatu perusahaan,
seorang analis keuangan memerlukan ukuran tertentu. Ukuran yang sering kali
digunakan adalah rasio atau indeks yang menunjukkan hubungan antara dua data
keuangan.
Menurut Van Horne
(2005:133) analisis rasio keuangan melibatkan dua jenis perbandingan, yaitu (1)
perbandingan internal, yang membandingkan rasio saat ini dengan rasio masa lalu
dan rasio yang akan datang dalam perusahaan yang sama dan (2) perbandingan
eksternal dan sumber-sumber rasio industri, yang membandingkan rasio satu
perusahaan dengan perusahaan-perusahaan sejenis atau dengan rata-rata industri
pada titik waktu yang sama. Sartono (2001:119) mengemukakan bahwa
analisis dapat dilakukan dengan membandingkan prestasi satu periode dengan
periode sebelumnya sehingga dapat diketahui adanya kecenderungan selama periode
tertentu. Selanjutnya ia menegaskan bahwa analisis keuangan yang mencakup analisis
rasio keuangan, analisis kelemahan dan kekuatan di bidang finansial akan sangat
membantu dalam menilai prestasi manajemen pada masa lalu dan prospeknya pada
masa mendatang. Analisis dan interpretasi dari macam-macam rasio dapat
memberikan pandangan yang lebih baik tentang kondisi keuangan dan prestasi
perusahaan daripada analisis yang hanya didasarkan atas data keuangan yang
tidak berbentuk rasio.
Penggabungan usaha
merupakan salah satu cara restrukturisasi perusahaan agar sinergi. Dalam
penggabungan usaha ini beberapa unit perusahaan yang secara ekonomis berdiri
sendiri menyatukan diri menjadi satu kesatuan ekonomis meski secara hukum dapat
saja unit-unit tersebut berdiri sendiri. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No. 22, 2007) mendefinisikan
penggabungan usaha sebagai bentuk penyatuan dua perusahaan atau lebih yang
terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan
perusahaan lain ataupun memperoleh kendali atau kontrol atas aktiva dan operasi
perusahaan lain. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan
bahwa penggabungan usaha merupakan aktivitas perluasan usaha yang dilakukan
dengan cara menggabungkan suatu perusahaan dengan satu atau beberapa perusahaan
lain ke dalam satu kesatuan ekonomi sebagai upaya untuk memperluas usaha.
Merger merupakan
salah satu strategi yang diambil perusahaan untuk mengembangkan dan menumbuhkan
perusahaan. Menurut Foster (1986: 460) merger adalah penggabungan usaha
dari dua perusahaan atau lebih, tetapi salah satu nama perusahaan masih tetap
digunakan, sedangkan yang lain melebur menjadi satu kesatuan hukum.
Akuisisi berasal dari kata acquisitio (Latin). Secara harfiah akuisisi adalah
membeli atau mendapatkan sesuatu untuk ditambahkan pada sesuatu yang telah
dimiliki sebelumnya. Akuisisi adalah pembelian perusahaan lain dengan cara
membeli saham atau aktiva perusahaan lain (Foster, 1986 : 460). Berdasarkan
PSAK No.22 (IAI, 2007) akuisisi adalah suatu penggabungan usaha dari dua perusahaan
atau lebih dan salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi memperoleh kendali
atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi dengan memberikan
aktiva tertentu, mengakuisisi suatu kewajiban, atau dengan mengeluarkan saham.
Rahman dan Baker (2002) dalam Kusuma dan Udiana Sari (2003) telah membuktikan
adanya manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi sebelum
merger dan akuisisi melalui discretionary accrual. Erikson dan Wang (1999)
dalam Hastutik (2006:21) menginvestigasi apakah perusahaan pengakuisisi
cenderung untuk menaikkan harga sahamnya sebelum stock merger agar
dapat mengurangi biaya pembelian perusahaan target. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan manajemen laba sebelum
merger. Hastutik (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa perusahaan
pengakuisisi telah melakukan tindakan menejemen laba sebelum merger dan
akuisisi dengan nilai discretionary accrual (DA) yang bersifat positif. Di
samping itu, ditemukan juga adanya perbedaan nilai dari discretionary
accrual pada periode sebelum dan sesudah merger dan akuisisi. Payamta dan
Setiawan (2004) melakukan penelititan mengenai pengaruh keputusan merger dan
akuisisi terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan rasio keuangan dan
harga saham sebelum dan sesudah merger dan akuisisi di sekitar peristiwa
terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dua tahun sebelum dan sesudah
peristiwa
merger dan akuisisi
tidak terjadi perbedaan kinerja yang signifikan, baik dari segi rasio maupun
harga saham. Dewi (2008) dalam penelitiannya yang menggunakan rasio-rasio
likuiditas (current ratio), profitabilitas (ROI), aktivitas (TAR), dan
solvabilitas (debt to equity ratio) menyatakan bahwa rasio CR dan TAR mengalami
peningkatan yang signifikan pada periode setelah akuisisi, sedangkan rasio ROI
dan DER mengalami penurunan yang signifikan pada periode setelah akuisisi.
Hadiningsih (2007), yang meneliti mengenai dampak jangka panjang merger
dan akuisisi terhadap kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi dan perusahaan
diakuisisi di BEJ melalui rasio-rasio keuangan yang terdiri atas likuiditas,
profitabilitas, leverage, aktivitas, dan return saham
menemukan bahwa
secara umum merger dan akuisisi tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi dan perusahaan diakuisisi.
Berdasarkan kajian teori-teori yang relevan dan hasi-hasil yang diperoleh dari
penelitian-penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut. H1: Terdapat praktik manajemen laba yang dilakukan
perusahaan pengakuisisi dengan cara menaikkan nilai akrual (income increasing
accrual) sebelum merger dan akuisisi.
H2: Terjadi
penurunan kinerja keuangan pada perusahaan pengakuisisi setelah pelaksanaan
merger dan akuisisi.
III. METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Objek penelitian ini
adalah perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi mulai tahun 2001 sampai
dengan tahun 2002, kecuali perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara non probability
sampling, yaitu dengan dengan pendekatan purposive sampling dengan kriteria
sebagai berikut. (1) Perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
dan melakukan merger dan akuisisi antara tahun 2001 sampai dengan tahun
2002. (2) Perusahaan termasuk industri manufaktur dan industri lain
selain kelompok perusahaan yang bergerak di bidang asuransi dan industri
finance atau perusahaan perbankan dan lembaga keuangan lainnya. (3) Perusahaan
memiliki tanggal merger dan akuisisi yang jelas. (4) Menerbitkan laporan
keuangan auditan secara lengkap selama empat tahun berturut-turut sebelum
merger dan akuisisi serta satu tahun setelah merger dan akuisisi dengan
periode berakhir per 31 Desember. (5) Menggunakan mata uang Indonesia (rupiah)
dalam laporan
keuangannya.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini
dilakukan di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan mengakses langsung ke situs
yang berhubungan dengan Bursa Efek Indonesia, yaitu www.bapepam.go.id,
www.idx.co.id dan www.e-bursa.com.
Teknik Analisis Data
Uji
independent sample t-test digunakan untuk menguji hipotesis 1, yakni untuk
mengetahui apakah pihak manajemen melakukan tindakan manajemen laba dengan cara
menaikkan atau menurunkan nilai akrual perusahaan pada periode satu tahun
sebelum pelaksanaan merger dan akuisisi. Uji paired sample
t-test digunakan untuk menguji hipotesis 2, yakni untuk membuktikan
apakah terjadi penurunan kinerja perusahaan jika dilihat dari segi rasio
likuiditas (CR), profitabilitas (ROI), dan solvabilitas (DER) pada periode
sesudah pelaksanaan merger dan akuisisi.
IV. PEMBAHASAN
Berdasarkan kriteria
sampel yang telah ditetapkan sebelumnya terdapat 10 sampel yang melakukan
merger dan akuisisi mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2002 yang disajikan
pada Tabel 1. Tabel 2 menunjukkan statistik deskriptif dari discretionary
accrual (DA) dan rasio keuangan pada periode satu tahun sebelum dan
sesudah merger
dan
akuisisi. Pengujian terhadap hipotesis ke-1 dilakukan dengan
menggunakan uji statistik Independent Sample t-Test dengan tingkat
kesalahan (α=5%). Adanya praktik manajemen laba ditunjukkan dengan adanya nilai
DA yang signifikan pada periode menjelang atau sebelum pelaksanaan merger dan
akuisisi. Hasil Pengujian terhadap hipotesis ke-1 disajikan pada tabel 3 dan 4.
Berdasarkan hasil
pada Tabel 3 dan 4, rata-rata unsur kenaikan pendapatan adalah 0,2217,
sedangkan rata-rata akrual diskresioner dari unsur kenaikan biaya adalah
-0,0620. Secara deskriptif jelas bahwa rata-rata akrual diskresioner dari unsur
pendapatan lebih besar daripada unsur kenaikan biaya. Pengujian dengan
menggunakan Independent Sample t-Test menunjukkan F hitung Levene’s Test
sebesar 4,204 dengan tingkat kesalahan prediksi (p-value) sebesar 0,074 atau
7,4%. Berdasarkan hasil tersebut, di mana nilai (p-value) > α = 5% maka
dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok mempunyai variances yang sama.
Dengan demikian, analisis uji beda t-test menggunakan asumsi equal
variances assumed. Nilai t pada equal variances assumed adalah 4,049
dengan nilai (p-value) sebesar 0,004 (2-tailed). Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pada periode satu tahun sebelum merger dan akuisisi pihak perusahaan
pengakuisisi telah melakukan tindakan manajemen laba dengan cara meningkatkan
laba atau menaikkan nilai akrual perusahaan (income increasing accrual).
Hasil penelitian ini konsisten dengan beberapa hasil penelitian lainnya,
seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Erikson dan Wang (1999), Rahman
dan Bakar (2002) dalam Kusuma dan Udiana Sari (2003), serta hasil penelitian
yang diperoleh Hastutik (2006), yang menunjukkan bahwa perusahaan pengakuisisi
cenderung melakukan praktik manajemen laba dengan menaikkan nilai akrual pada
periode sebelum atau menjelang pelaksanaan merger dan akuisisi. Selain
itu, adanya asumsi dari Payamta dan Setiawan (2004) yang menyatakan kemungkinan
adanya tindakan, baik window dressing maupun kebijakan manajemen lainnya
(manajemen laba) atas laporan keuangan perusahaan pengakuisisi untuk
tahun-tahun sebelum merger dan akuisisi, dengan maksud untuk menunjukkan
power perusahaan yang lebih baik sehingga menarik perusahaan target. Pernyataan
ini tidak terlepas dari hasil penelitian yang diperolehnya, yaitu dua tahun
sebelum dan sesudah peristiwa merger dan akuisisi tidak terjadi perbedaan
kinerja yang signifikan baik dari segi rasio maupun harga saham.
Sebaliknya, abnormal return saham sebelum pengumuman merger dan akuisisi
adalah positif, namun setelah pengumuman merger dan akuisisi justru berubah
menjadi negatif. Pengujian terhadap hipotesis ke-2 dengan menggunakan uji
2-sampel berpasangan (Paired Sample t-Test) disajikan pada Tabel 5. Hasil yang
diperoleh tiap-tiap rasio adalah sebagai berikut.
- Current Ratio (CR). Nilai t-hitung sebesar -2,325 pada tingkat signifikansi 0,045 menyatakan bahwa secara statistik terjadi penurunan secara signifikan kinerja CR setelah pelaksanaan merger dan akuisisi.
- Return on Investment (ROI). Nilai t-hitung sebesar -2,325 pada tingkat signifikansi 0,045 menyatakan bahwa secara statistik terjadi penurunan kinerja ROI secara signifikan setelah pelaksanaan merger dan akuisisi.
- Debt to Equity Ratio (DER). Nilai t-hitung sebesar 2,290 pada tingkat signifikansi 0,048 menyatakan bahwa dari segi DER terjadi peningkatan nilai yang cukup signifikan pada periode satu tahun setelah pelaksanaan merger dan akuisisi. Nilai DER yang cenderung meningkat setelah melakukan merger dan akuisisi mencerminkan kinerja perusahaan dikatakan semakin rendah atau mengalami penurunan.
V. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang
disampaikan sebelumnya, simpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini,
adalah sebagai berikut.
- Penelitian ini membuktikan bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan tindakan manajemen laba sebelum pelaksanaan merger dan akuisisi dengan cara income increasing accrual.
- Penelitian ini membuktikan bahwa tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi pada periode sebelum pelaksanaan merger dan akuisisi tersebut telah memicu penurunan kinerja perusahaan setelah merger dan akuisisi.
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya
adalah sebagai berikut. Untuk hasil yang lebih representative dapat
dikembangkan dengan cara memperpanjang periode penelitian dan menggunakan
metode stratified sampling. Dengan adanya proses stratifikasi pada
sub-subpopulasi stratified sampling ini akan dapat menghasilkan analisis
yang mempunyai tingkat generalisasi yang lebih tinggi daripada penggunaan
metode purposive sampling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar