PEMIKIRAN
EKONOMI IBNU TAIMIYAH
Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dosen
Pengampu : H. Ahmad Faozan, Lc, M.Ag.
Disusun
oleh:
Eko
Waluyo (102323047)
Putra
Surya HP (102323076)
Ibnu
Sina Amri (102323075)
Syariah / IV EI
B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PURWOKERTO
2012
PENDAHULUAN
Para ahli telah banyak
mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi islam. Berbagai Argumen
ini meskipun saling berbeda formulasi kalimatnya, tetapi mengandung pengertian
dasar yang sama. Pada dasarnya suatu ilmu pengetahuan yang berupaya memandang,
meninjau, meneliti yang pada akhirnya menyimpulkan dan menyalasaikan
permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara islami merupakan bagian dari
definisi ekonomika islam itu sendiri. Yang dimaksud dengan cara-cara islami
disini ialah metode-metode yang didasarkan atas ajaran agama islam. Menurut
pengertian seperti ni, maka istilah yang juga sering digunakan adalah ekonomika
islam. Jadi ekonomika islam atau ilmu ekonomi islami akan menitikberatkan
segala aspek ontologinya pada ajaran agama islam.
Penegasan yang diberikan oleh beberapa ahli,
bahwa ruang lingkup dari ekonomika islam adalah masyarakat muslim atau
komunitas negara Muslim itu sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi
dari masyarakat atau Negara muslim di mana nilai-nilai ajaran islam dapat
diaplikasikan.
PEMBAHASAN
A.
RIWAYAT
HIDUP IBNU TAIMIYAH
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah
Taqiyudin Ahmad bin Abdul Halim lahir dikota Harran pada tanggal 22 januari
1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan
tinggi. Ayahnya Syihabuddin
Abdul Halim seorang ahli hadith, paman, dan
kakeknya Syekh Majuddin
Abdus Salam merupakan ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku. [1]
Pendidikan Ibn
Taimiyah diawali dengan belajar al-Qur’an pada ayahnya. Ia masuk sekolah di
Damascus dan dalam usia sepuluh tahun telah mempelajari kitab hadith utama
seperti musnad Ahmad al-Kutub as-Sittah, Mu’jam at. Selain itu beliau
juga belajar khat, ilmu hitung, menghafal al-Qur’an dan mendalami bahasa arab.
Ia berhasil menyelesaikan seluruh pendidikannya pada usia dua puluh tahun.
Setahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar mazhab Hanbali menggantikan
kedudukan ayahnya yang telah wafat.
Ibn Taimiyah
dikenal sebagai ahli hadith, ahli kalam, fiqh, mufasir, filsuf dan sufi. Pada
usia tiga puluh tahun sudah diakui kapasitasnya sebagai ulama besar pada
zamannya.
Beliau
meninggal di Damascus 20 Zulkaidah atau 26 atau 27 September1328. Terdapat 500
jilid karya-karya beliau yang pada umumnya bernada kritik terhadap segala paham
dan pendapat yang tidak sejalan dengan pemikirannya, karena bertentangan dengan
al-Qur’an dan hadist.
B.
PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH
Ibnu
Taimiyah membahas permasalahan ekonomi khususnya dalam bukunya yaitu: kitab Majnu’
Fatawa Syaikh al-islam, al-Hisbah fi’l-Islam (The institution of Hisbah in
Islam) dan al-Siyasah al-Shariyah fi Islah al-Ra’I wa’l Raiyah (Public
and Private laws in Islam).[2]
1. Harga yang Adil, Mekanisme Pasar, dan Regulasi Harga
a.
Harga
yang Adil
Konsep tentang
harga yang adil pada dasarnya telah terdapat di dalam ajaran Islam. Sekalipun
penggunaan istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran Islam, Ibnu Taimiyah
nampaknya merupakan orang pertama yang memberikan perhatian khusus terhadap
masalah harga yang adil. Dalam membahas persoalan harga, ia sering menggunakan
dua istilah, yaitu kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga
yang setara (tsaman al-mitsl).
Kompensasi yang
setara (iwadh al-mitsl) digunakan ketika menelaah dari sisi legal etik
sedangkan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Menurutnya
prinsip kompensasi yang setara terkandung dalam beberapa kasus berikut:
·
Ketika seseorang harus bertanggungjawab karena
membahayakan orang lain atau merusak harta dan keuntungan.
·
Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk
membayar kembali sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau membayar
ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang lain.
·
Ketika seseorang diminta untuk menentukan aqad
yang rusak dan akad yang shahih dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam
kehidupan dan hak milik.
Prinsip umum
yang sama berlaku pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban financial
lainnya. Misal:
·
Hadiah yang diberikan oleh gubernur kepada anak
yatim,wakaf dan orang-orang muslim.
·
Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil
untuk melakukan pembayaran kompensasi.
·
Pemberian upah oleh dan atau kepada rekanan
bisnis (al-musyarik wa al mudharib).
Sedangkan harga
yang setara harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas
, yaitu pertemuan antara kekuatan permintaan dan penawaran. Beliau
menggambarkan perubahan harga pasar sebagai berikut:
“jika penduduk
menjual barnag-barangnya secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa
menggunakan cara-carayang tidak adil kemudian harga tersebut meningkat karena
pengaruh kelangkaan barang (yakni penurunan supply) atau karena
peningkatan jumlah penduduk (yakni meningkatkan demand), kenaikan
harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah SWT. Dalam kasus ini, memaksa
penjual untuk menjual barang-barang mereka pada harga tertentu adalah pemaksaan
yang salah (ikrah bi ghoiri haq).”[3]
Ungkapan
“dengan jalan yang normal tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil”
mengindikasikan bahwa harga yang setara itu harus merupakan harga yang
kompetitif yang tidak disertai penipua, karena harga yang wajar terjadi pada
pasar kompetitif dan hanya praktik yang penuh penipuan yang dapat menyebabkan
kenaikan harga-harga.
Konsep upah
yang adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adai dimaksudkan
sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka
dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini,
Ibnu Taimiyah mengacu pada tingakat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja
(tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).
Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam
menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan
kuantitas. Harga dan upah, ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan
atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang
samar dan penuh dengan spekulasi.
Tentang bagaimana upah yang setara itu ditentukan, Ibnu
Taimiyah menjelaskan,
“upah yang setara akan ditentuakan oleh upah yang telah
diketahui (musamma’) jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak.
Seperti halnya dalam kasus jual dan sewa, harga yang telah diketahui (tsaman
musamma’) akan diperlakuan sebagai harga yang setara.[4]
Konsep laba yang adil
Menurutnya, para pedagang barhak memperoleh keuntungan
melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan
dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah
medefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh
dari jenis perdagangan tertentu, tenpa merugikan orang lai. Ia menentang
tingkat keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksplotif dengan memanfaatkan
ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada. Ia menjelaskan,
“seseorang yang memperoleh barang untuk mendapatkan
pemasukan dan memperdagangkannya dikemudian hari diizinkan melakukan hal
tersebut. Namun, ia tidak boleh mengenakan keuntungan terhadap orang-orang miskin
yang lebih tinggi daripada yang sedang berlaku dan seharusnya tidak menaikan
harga terhadap mereka yang sedang sangat membutuhkan .
Ibnu Taimiyah memandang laba sebagai penciptaan tenaga
kerja dan modal secara bersamaan. Oleh karena itu, pemilik kedua faktor
produksi tersebut berhak memperoleh bagian keuntungan. Dalam hal tejadi suatu
perselisihan, ia menyatakan bahwa keuntungan dibagi menurut cara yang dapat
diterima secara umum oleh kedua belah pihak, yakni pihak yang menginvestasikan
tenaganya dan pihak yang menginvestasikan uangnya. Ia menyatakan,.
“karena keuntungan merupakan tambahan yang dihasilkan
oleh tenaga disatu pihak dan harta dipihak lain, maka pembagian keuntungan
dilakuan dengan cara yang sama sebagai tambahan yang diciptakan oleh kedua faktor
tersebut.[5]
Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil Bagi
Masyarakat
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang
berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat
harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal mereka. Menurutnya “setiap
individu mempunyai hak pada apa yang mereka miliki. Tidak ada seorang pun yang
bisa mengambilnya, baik sebagian maupun seluruhya, tanpa izin dan persetujuan
mereka.
Penggunaan dan implikasi dari konsep upah yang adil adalah
sama halnya dengan konsep harga yang adil. Tujuan dasar dari harga yang adil
adalah untuk melindungi kepentingan pekerja dan majikan serta melindungi mereka
dari aksi saling mengeksploitasi. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyatakan,
“apabila seorang majiakan memperkerjakan seseorang secara
zalim dengan membayar pada tingkat upah yang lebih rendah daripada upah yang
adil, yang secara normal tidak ada seorangpun menerimanya, pekerja berhak
meminta upah yang adil.
b.
Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas
tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan
permintaan dan penawaran. Ia menyatakan,
“naik dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh
kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh
kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh
karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Di
sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dsan permintaan terhadapnya
menurun, harga pun turun,kelangkaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh
tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak
mengandung kezaliman, atau tenkadang, ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman.
Hai ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan dihati
manusia.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa faktor yang mempengaruhi
permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu:
1)
Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis
barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah. Perubahan ini sesuai dengan langka
atau tidaknya barang-barang yagn dimint. Semakin sedikit jumlah suatu barang
yang tersedia akan semakin diminati oleh masyarakat.
2)
Jumlah para peminat terhadap suatu barang. Jika jumlah
masyarakat yang menginginkan suatu barang semakin banyak, harga barang tersebut
akan semakin meningkat, dan begitu pula sebaliknya.
3)
lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta
besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan. Apabila kebutuhan besar dan
kuat, harga akan naik. Sebaliknya, jika kebutuhan kecil dan lemah, harga akan
turun.
4)
kualitas pembeli. Jika pembeli adalah seseorang yang kaya
dan terpercaya dalam membayar utang, harga yang diberikan lebih rendah.
Sebaliknya, harga yang diberikan lebih tinggi jika pembeli adalah seorang yang
sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran utang serta mengingkari utang.
5)
jenis uang yang digunakan dalam transaksi. Harga akan
lebih rendah jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan uang yang umum
dipakai daripada uang yang jarang dipakai.
6)
tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan
resiprokal diantara kedua belah pihak. Harga suatu barang yang telah tersedia
dipasaran lebih rendah daripada harga suatu barang yagn belum ada dipasaran.
Begitu pula halnya harga akan lebih rendah jika pembayaran dilakukan secara
tunai daripada pembayaran dilakukan secara angsuran.
7)
besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen
atau penjual. Semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh produsen atau penjual
untuk menghasilkan atau memperoleh barang akan semakin tinggi pula harga yang
diberikan, dan begitu pula sebaliknya.
c.
Regulasi
Harga
Tujuan
regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat. Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan
harga yang tidak adil dan cacat hukum
serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penerapan harga yang
tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat
kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan
supply atau kenaikan demand.
1)
Pasar
yang tidak sempurna
Di samping
dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada
pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidak sempurnaan
melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`)
menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih
tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat
bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta
untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata
dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan
barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus
menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka.
Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya
karena akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
2)
Musyawarah untuk Mnetapkan Harga
Sebelum menerapkan
kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan
musyawarah dengan masyarakat terkait.
Secara jelas,
ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang
yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau
manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada tingkat harga yang
ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila
harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan menciptakan
rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu
Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor
produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung jasa mereka sementara
masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar
tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan
penetapan harga ini adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari
aksi saling mengeksploitasi diantara mereka.
2. Uang dan Kebijakan Moneter
a.
Kareakteristik dan fungsi uang
secara khusus,
Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai
dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan, “Atsaman
dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang dapat diketahui dan uang tidak
pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan
pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan
uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya.
b. Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah
menentang keras terjadinya penerunan nilai mata uang dan pencetakan mata uang
yang sangat banyak. Ia menyatakan,
“penguasa
seharusnya mencetak fulus sesuai dengan nilai yang adil (proposional) atas
transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
c. Mata Uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata
Uang yang baik
Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang
berkualitas baik dari peredaraan. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut,
”apabila
penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang
yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang
memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia
berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula
mereka miliki. Lebih dari pada itu, apabila nilai intristik mata uang tersebut
berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi penjahat untuk
mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik
dan kemudian mereka akan membawanya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata
uang yang buruk didaerah tersebut untuk dibawa kembali kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi
hancur.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar