Sabtu, 26 Januari 2013

SALAFI MELAWAN SALAFI – PERKEMBANGAN SALAFI DI INDONESIA DAN PERPECAHANNYA DIANTARA MEREKA


Perkembangan gerakan salafi di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari dinamika internasional sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan boleh dikatakan, dinamika gerakan salafi Indonesia sebagian besar merupakan perpanjangan dari perkembangan internasional.
Sama seperti kecenderungan internasional, gerakan salafi baru muncul di Indonesia pada awal dekade 1980-an. Dorongan utamanya adalah berdirinya lembaga LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) yang merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad di Indonesia. LIPIA pertama kali dipimpin oleh Syeikh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar, murid tokoh utama salafi Syeikh Abdullah bin Baz.
LIPIA menggunakan kurikulum Universitas Riyad, staf pengajarpun didatangkan langsung dari Saudi. Salah satu yang membuat banyak mahasiswa tertarik belajar di LIPIA, karena LIPIA menyediakan beasiswa berupa uang kuliah dan uang saku. Lebih dari itu, LIPIA juga menjanjikan para alumninya untuk bisa melanjutkan tingkat master dan doktoral di Universitas Riyad di Saudi.
Alumni LIPIA angkatan 1980-an, kini menjadi tokoh terkemuka di kalangan salafi. Diantaranya adalah Yazid Jawwas, aktif di Minhaj us-Sunnah di Bogor; Farid Okbah, direktur al-Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida’ul Islam, Surabaya; Abubakar M. Altway, Yayasan al-Sofwah, Jakarta; Ja’far Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah; and Yusuf Utsman Bais’a direktur al-Irsyad Pesantren, Tengaran.
Sebagaimana ciri umum salafi, generasi 1980-an LIPIA tersebut sangat anti terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh dan Darul Islam. Jangankan untuk bergaul dengan mereka yang berorganisasi, dengan sesama salafi yang berorganisasipun mereka menolak untuk dibantu secara keuangan.
Dari generasi 1980-an lahir Ja’far Umar Thalib. Dia adalah lulusan pertama LIPIA dan menjadi perintis pertama gerakan dakwah salafi di Indonesia. Diantara lulusan LIPIA, Ja’far berangkat ke Yaman pada tahun 1991 untuk belajar pada Sheikh Mukbil ibn Hadi al-Wad’i, di Dammaz, Yaman. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Mugbil adalah tokoh salafi puritan. Karakter ini akan menurun pada Jafar. Sedangkan Yusuf Baisa, lulusan LIPIA lainnya, belajar langsung ke Arab Saudi dan belajar dari kalangan syeikh sahwah Islamiyah. Karena as-sahwah terpengaruh Ikhwanul Muslimin, maka pandangan Yusuf Baisa nantinya juga sangat berbeda dengan Jafar.
Konflik Salafi
Perkembangan salafi di Indonesia ternyata rawan konflik. Sumber konflik pertama adalah bias konflik di level internasional. Di Indonesia, hal ini termanifestasikan dalam tindakan saling kecam antara mereka yang tergabung dalam salafi puritan dan mereka yang terkait dengan jaringan Sururiah. Sedang konflik kedua adalah ketegangan guru-murid karena ulah sang murid yang dianggap melenceng oleh sang guru. Tipe konflik kedua inilah yang dialami oleh Jafar Umar Thalib. Sedang konflik ketiga adalah konflik sesama ulama salafi.
Ada dua konflik besar yang terjadi dikalangan Salafi, pertama konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf Baisa. Kedua konflik Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed, dan Yazid Jawwaz. Konflik ini berimplikasi pada jaringan mereka yang terpecah-pecah. Muara dari pertikaian adalah munculnya dua group besar mengikuti pembelahan di level internasional: sururi dan puritan.
Konflik pertama, antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf Baisa sampai pada tahap mubahalah (beradu do’a, siapa yang berbohong akan celaka). Yusuf Baisa seperti juga Ja’far Umar Thalib merupakan alumni pesantren PERSIS Bangil. Keduanya melanjutkan studi ke LIPIA. Namun, Yusuf Baisa meneruskan ke Riyadh sedangkan Jafar meneruskan ke Yaman.
Sekembali dari Yaman, Ja’far Umar Thalib mendengar khabar bahwa Yusuf Baisa mengkampanyekan pandangan yang berbeda dengan salafi. Yusuf Baisa mengatakan agar dakwah menjadi efektif, maka harus mempunyai kemampuan berorganisasi seperti kalangan Ikhwan al Muslimun, bijaksana seperti Jama’ah Tabligh, dan mempunyai ilmu pengetahuan seperti Salafi, dalam hal saling memahami masalah aqidah. Sebagian pendengar menyampaikan pernyataan ini pada Ja’far.
Ja’far mendengar berita ini sangat marah sekali pada Yusuf, karena menganggap gerakan Salafi seperti gerakan Ikhwan yang terorganisir. Abu Nida coba mendamaikan keduanya, berlaku sebagai mediator. Yusuf dan Ja’far bertemu dan untuk memberikan klarifikasi, hal ini terjadi di rumah Ja’far dan dipimpn oleh Abu Nida’ dan dihadiri oleh tiga pemimpin Salafi lainnya.
Yusuf mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan membicarakan manfaat hizbiyah seperti Ikhwan al Muslimun. Pendeknya pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa Yusuf Baisa akan kembali ke riil salafi. Yusuf juga setuju untuk mengumumkan kepada para aktifis Salafi bahwa dia telah kembali ke jalan yang benar, dengan demikian dia meyakinkan bahwa Salafi harus tetap bersatu. Yusuf juga membuat pertemuan pada bulan Juni 1994 di masjid Utsman bin Affan dekat rumah Ja’far, untuk menyelesaikan persoalan mereka.
Namun Yusuf beberapa bulan kemudian menyatakan hal sama kembali. Pada sebuah ceramah tentang konsep keadilan, Yusuf merekomendasikan tulisan beberapa kalangan Salafi dimana Ja’far menyebut mereka sebagai Sururiyah.
Perkembangan pertengkaran antara keduanya semakin memburuk. Yusuf mengadakan diskusi mengkritik buku Ja’far. Ja’far menuduh Yusuf melakukan fitnah, karena itu Ja’far menulis “gerakan Sururi memecah belah Ummat”. Yusuf merespon pandangan Ja’far dengan mengajak mubahalah.
Setelah diadakan Mubahalah perpecahan semakin tak bisa dihindari. Ja’far meminta semua kalangan salafi untuk ikut bersamanya atau berhadapan dengannya. Semua guru-guru Salafi yang datang bersamanya yang umumnya berasal dari FKASWJ.
Konflik kedua terjadi antara Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed dan Yazid Jawwas. Kedua tokoh tersebut terbilang mantan murid-murid Ja’far Umar Thalib. Namun kini hubungan antara guru dengan murid terputus sudah, mereka saling membid’ahkan satu sama lain.
Konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed terjadi setelah kembali dari jihad Ambon. Sepulang dari Ambon Ja’far melakukan perenungan dakwah. Diantara perenungannya adalah menyadari telah terjadi kesalahan yang amat fatal dalam melakukan dakwah Salafiyah yaitu terlalu memprioritaskan aqidah sementara itu dalam segi akhlaq tidak terlalu terperhatikan. Akibatnya, para murid Ja’far sulit untuk toleran terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan manhaj Salafi. Dengan demikian, dakwah manhaj Salafi menjadi ditakuti orang lain, bukan malah sebaliknya dicintai kaum muslimin.
Padahal dalam ajaran Islam antara akhlaq dengan aqidah berdiri satu jajar dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.
Memprioritaskan antara aqidah atau akhlaq akan menimbulkan kepincangan dalam dakwah. Seperti yang dialami kalangan Salafi, masyarakat bukan tidak mau menerima kebenaran ajaran, namun menjadi takut melihat akhlaq da’i yang tidak mempunyai jiwa toleran sama sekali.
Tak hanya itu, kuatnya doktrin dalam rangka membina aqidah berakibat pada keengganan murid berbeda pendapat dengan gurunya. Hal ini berimplikasi tidak adanya penelaahan terhadap kitab yang ada, sebab segalanya telah diserahkan pada guru (syaikh). Sikap demikian, pelan namun pasti menimbulkan sikap taqlid, dimana hal ini sangat ditentang dalam manhaj Salafi.
Refleksi pemikiran ini rupanya tak bisa diterima para muridnya. Diantaranya yang menolak pemikiran Ja’far adalah Muhammad Assewed. Menurut Assewed, pemikiran Ja’far ini dianggap sebagai melemahnya sikap Ja’far terhadap ahlul bid’ah. Padahal menurut Assewed, memperingatkan ummat dari ahlul bid’ah dan mentahdzir ahlul bid’ah, membenci mereka, menghajar mereka, memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka, adalah kesepakatan dalam ajaran salafi.
Hasil perenungan Ja’far dianggap sebagai sikap kompromi terhadap bid’ah, karena itu aqidah Ja’far patut dipertanyakan, apakah masih dalam manhaj Salafi atau sudah keluar? Berita ini sampai juga ketelinga para guru di Timur Tengah. Repotnya para guru hanya menerima informasi sebelah pihak, walhasil keluar fatwa dari syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali bahwa Ja’far Umar Thalib sudah keluar dari manhaj Salafi. Tentu saja Ja’far tidak menerima fatwa ini, sebab menurutnya apa yang disampaikan pada para syaikh hanya kedustaan belaka.
Namun menurut Ja’far, itulah persoalannya, kaum muslimin di Indonesia jangan dibayangkan kalau mereka itu semua mengerti akan agama Islam secara mendetail. Umat Islam di Indonesia, pada umumnya tidak tahu Islam secara mendetail. Maka silang pendapatpun terjadi, yang berujung pada saling tuding. Sampai tulisan ini diturunkan Muhammad Assewed sudah tak tinggal lagi di Yogyakarta, melainkan di Cirebon kembali membina madrasah Al-Irsyad.
Silang pendapat yang cukup tajam juga terjadi antara Ja’far Umar Thalib dengan Yazid Jawaaz Perbedaan pendapat mengenai apakah kelompok Salafi perlu pergi untuk berjihad ke Ambon. Yazid Jawaaz berpendapat bahwa kalangan Salafi tak perlu berangkat ke Ambon, karena masih ada pemerintah yang bertanggung jawab. Namun, Ja’far dan Assewed berpendapat lain. Bahwa telah terjadi pendhaliman terhadap umat Islam di Ambon dan memerlukan bantuan. Silang pendapat ini berujung pada saling tuding, bahwa Ja’far menganggap Yazid enggan untuk berangkat Jihad, sementara Yazid menuduh Ja’far hanya mencari popularitas saja.
Tak hanya itu, perbedaan pendapat juga terjadi mengenai pemikiran para tokoh Ikhwanul Muslimin, antara Yazid Jawwas dengan kalangan Salafi lainnya, menyebabkan Yazid tidak lagi dianggap Salafi. Dalam pandangan Yazid, tidak semua pendapat atau tindakan para tokoh Ikhwan bisa dikategorikan sebagai ahlul bid’ah, sebab mereka adalah para pejuang Islam, yang rela berkorban demi Izzul Islam wal Muslimin. Namun lain halnya dengan pandangan para syaikh Salafi terutama yang berada di Timur Tengah, dimana mereka menganggap para tokoh Ikhwanul Muslimun adalah orang-prang hizbiyyah (yang selalu mendahulukan kelompoknya) dan itu termasuk dalam dosa besar.
Setelah terjadi konflik yang berterusan antara Ja’far dengan yang lain, maka gerakan salafi terpecah menjadi semakin jelas antara yang politik dan non politik – terjaring dalam FKASWJ.
Salafi Sururiah
Bagi kalangan Salafi yang mentolerir adanya kehidupan berpolitik lebih sering disebut kelompok sururiyah. Di Indonesia sendiri, banyak sekali kalangan salafi yang mendapat gelar sururiyah atau yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan kalangan salafi puritan. Mereka adalah Yusuf Baisa, Abu Nida Chomsaha Sofwan dkk, Abu Sa’ad Muhammad Nur Huda, MA, Arif Syarifuddin, Lc, Abu Ihsan Al Maidani Al Atsary, Afifi Abdul Wadud, Abul Hasan Abdullah bin Taslim, Lc, Abu Abdil Muhsin Firanda, Asmuji (Imam Syafi’i, Cilacap). Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc , Muhammad Yusuf Harun, MA, dan Farid Ahmad Okbah dari PP Al Irsyad.
Demikian juga dengan kelembagaannya, kalangan salafi politik, relatif bergerak dalam kelembagaan dibandingkan dengan kalangan salafi non politik. Mereka diantaranya adalah Yayasan al-Sofwah, kelompok Yazid Jawwas dan Abdul Hakim Abdat, yang dekat tetapi tidak secara institusional berhubungan dengan al-Sofwah.
Abu Nida’, Ahmad Faiz, dan jaringan at-Turots. Kelompok Abu Nida’ menerbitkan majalah al-Fatawa, Ahmad Faiz’s juga menerbitkan majalah as-Sunnah. Ketiga, majalah, al-Furqon, yang diterbitkan oleh kelompok Annur Rofiq dari Mahad al-Furqon al-Islami, Gresik, yang mempunyai jaringan yang sama.
Yusuf Baisa dan Farid Okbah jaringan al-Irsyad (sangat dekat dengan at-Turots tetapi bukan bagian dari jaringannya). Yayasan al-Irsyad selalu dikritik karena mempunyai acara muktamar tahunan, ini merupakan bukti dari kegiataan hizbiyah.
PP Taruna Al Qur’an, Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc (alumni Madinah, disebut tokoh freeline). PP Taruna Al Qur’an alias L-Data cabang Jogjakarta ini akrab dengan ikhwani dimanapun. L-Data pusat dipimpin (aldakwah.org) Muhammad Yusuf Harun, MA, dai al Sofwa, penerjemah al Al Sofwa Jakarta.
Para tokoh kalangan salafi politik tersebar di berbagai negara dan mereka melakukan pembinaan dengan organisasi non profit (LSM) yang ada di Indonesia. Di antara tokoh Salafi politik internasional adalah, Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin (kini tinggal di London), Abdul Karim Al Katsiri (Saudi Arabia), Syarif Fuadz Hazza (Mesir), Musthofa bin Isma’il Abul Hasan as Sulaimani Al Ma’ribi al hizbi (Yaman).
Mereka juga memberikan banyak bantuan pada LSM seperti, As-Sofwah, at-Turots dan lain-lain dalam rangka penyebaran paham salafi politik.
Ketidaksukaan sebagian Salafi seperti as-Sewed (salafi puritan) kepada lembaga at-Turots merupakan refleksi dari pendirian mentor mereka di Saudi Arabia dan Yaman kepada Abdul Khaliq. Pertentangan ini semakin muncul ketika website salafi memuat pemikiran Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi, guru Ja’far dari kaset yang direkam tahun 1995. Syeikh Muqbil menuduh Abdul Khaliq mencoba untuk memecah komunitas Salafi dengan secara terbuka membagikan uang dinar di Kuwait, Indonesia, Yaman, dan Sudan.
Pertentangan kalangan Salafi diketahui Ja’far sejak awal. Ja’far selain mengenal para Imam Salafi, Ja’far juga mengenal para tokoh Salafi yang dianggap menyimpang dari manhaj Salafi. Mereka adalah Muhammad Surur bin Zainal Abidin, Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl Al-Qarni, dan Abdurahman Abdul Khaliq. Penyimpangan mereka karena para tokoh ini menganggumi para tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Rashid Ridha dan lain-lain, yang dianggap sesat oleh para Imam Salafi.
Kalangan Salafi yang dianggap menyimpang ini juga mempunyai banyak murid di Indonesia. Bahkan untuk mengkomunikasikan para murid Abdurahman Abdul Khaliq mendirikan lembaga Ihya’ut Turats. Untuk memperdalam komunikasi dengan para murid Abdurahman Abdul Khaliq sering datang ke Indonesia.
Pada tahun 2004 Umar as-Sewed mengkritik ungkapan Abdul Khaliq yang telah mendiskreditkan para pemimpin Saudi. Menurut as-Sewed, Abdul Khaliq pantas juga diberikan gelar sebagai thaghut, sebagaimana juga diungkapkan oleh semua syeikh Salafi termasuk bin Baz dan Utsaimin. As-Sewed juga mendorong bahwa ketidaksukaan Abdul Khaliq pada Saddam terjadi baru-baru ini karena adanya perang, karena itu Abdul Khaliq pada dasarnya adalah orang munafik nomer satu.
Dengan demikian jelas, bahwa gerakan salafi di Indonesia sangat amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di Timur Tengah. Saling tuding dengan mengatasnamakan agama, menjadi ciri khas dari gerakan salafi. Yang ironis dari kelompok salafi ini adalah mereka mengajarkan doktrin anti taqlid kepada para pengikutnya, namun pada kenyataannya, mereka juga taqlid kepada para syeikh mereka di Timur Tengah. Hal ini terlihat dari apa yang terjadi konflik di Timur Tengah maka di Indonesiapun terjadi konflik.
Melihat fenomena seperti ini, apakah para pengikut salafi ini tidak merasa aneh mengikuti sebuah manhaj/aliran paham yang kemudian terpecah-pecah dan saling menghujat, saling klaim saling adu fatwa ?  ..begitulah Alloh mengombang-ambing mereka.
________________________

Fakta Perpecahan di Tubuh “Salafi”


Kata salafi kerap dianggap sebagai kata sakti untuk mengobati perpecahan umat. Tapi sayang, mereka yang gemar menyandang gelar salafi ternyata manusia yang paling berpotensi tafarruq alias berpecah-belah. Ada perbedaan sedikit saja, akan menjadi persoalan besar yang menggegerkan. Tahdzir (hujatan) mudah sekali diobral untuk menghasilkan efek: jika semua orang bisa dibongkar aibnya, maka pendengar secara otomatis akan menganggap saya yang paling benar !
Tradisi menghujat ini pada gilirannya menular kepada murid-murid para ustadz salafi. Seolah dengan memiliki ilmu menghujat (tahdzir) akan membuat kualitas keimanan seseorang makin mantap. Bahkan bukan hanya memiliki ilmu tersebut, tapi lebih jauh menghayatinya sampai mendarah-daging. Kualitas keimanan penganut “salafi” ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hujatan yang mampu ia obral !
Berikut fakta-fakta yang akan membuat Anda makin paham apa itu salafi dan apa isi kepalanya. Supaya Anda tidak perlu sakit hati jika mendengar mereka sedang menghujat, karena memang tahdzir (menghujat) adalah salah satu bentuk “ibadah” penganut “salafi-murjiah” modern !
Mukaddimah
Dari Abu Najih Irbad bin Sariyah, Rasulullah saw bersabda: “Dan siapa diantara kalian yang (kelak) masih hidup, maka ia akan banyak menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bida’ah adalah sesat”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Tema tentang salaf dan salafi barangkali sudah terlalu sering dibahas. Secara ringkas, Salaf adalah manhaj yang telah ditempuh oleh generasi terbaik umat ini; sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Adapun salafi adalah sosok yang senantiasa berusaha untuk meniti jejak langkah mereka baik dalam masalah akidah, ibadah maupun mu’amalah.
Imam Auza’i menyebutkan lima hal yang senantiasa melekat pada diri sahabat Nabi saw dan kalangan tab’in; senantiasa bersama dengan al jama’ah (Ahli Sunnah Wal Jama’ah), mengikuti sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad di jalan Allah” . [ 1 ]
Apa yang disebutkan Imam Auzai’ merupakan sebagian contoh yang dilakukan kalangan salaf. Maka salafi adalah sosok yang berusaha meniti jejak langkah mereka siapa saja orangnya. Dan jika ada yang mengklaim dirinya salafi tapi jauh dari kelima hal tersebut maka label salafi tidak ada artinya sama sekali.
Salafi bukanlah sosok yang hanya mendengar perkataan dari ustadz atau kelompoknya saja dengan meremehkan kalangan yang lain. Salafi bukanlah sosok yang mengatakan Lebih baik mati dalam keadaan bodoh dari pada ngaji dengan ust. Fulan. Mereka berdalih, dalam rangka merealisaiskan pernyataan para ulama hadits terdahulu dalam memberlakukan kaidah jarh dan ta’dil.
Syaikh Bakr Abu Zaid [2] –rahimahullah- dalam bukunya Tashnif An Naas Baina ad Dzan Wal Yaqin telah mencium gelagat tersebut. Beliau menyatakan: “Terkadang dia menempuh cara yang dilakukan oleh sebagian ahli hadits terhadap para perawi yang lemah, – dan alangkah berbeda kedua jalan itu…semua itu adalah perbuatan syetan. Dan dari sinilah jiwanya merasa senang dengan pandangan para pengkritik itu. Yaitu ketika mereka berhasil memalingkan perhatian dari apa-apa yang seharusnya diperhatikan, lalu orang-orang sibuk saling mencela antar sesamanya”.
Tiga Sifat Salafi Ekstrim
Dalam diri kelompok salafi –meski tidak semuanya- terdapat tiga sifat ekstrim; sifat Khawarij, Murjiah dan Rafidhah. Khawarij dalam arti bersikap arogan, kasar, memusuhi, memblacklist, membid’ahkan setiap da’i, aktifis atau ustadz yang bukan dari kalangannya atau yang berbeda dengannya meski mengklaim sesama salafi.
Mereka Murjiah dalam arti lembut, lunak, menolong, membantu, mencintai, siap menjadi garda terdepan dan memberikan loyalitas kepada orang-orang yang anti dengan syariat Islam atau musuh Islam. Padahal Syaikh Bakr Abu Zaid dengan mengutip perkataan Ibn Al Qayyim berkata: “Bid’ah yang paling besar adalah menanggalkan Al Kitab dan Sunnah Rasul-Nya dan membuat hukum baru yang menyelisihi keduanya”.
Mereka juga bersikap Rafidhah dalam arti menolak semua kelompok dan mengklaim hanya kelompoknya yang benar dan selamat adapaun yang lainnya adalah kelompok yang akan binasa dan neraka tempatnya. Hal ini seperti yang terjadi di Mu’tamar Ahli Sunnah di Texas Amerika; Salim Hilali, Ali Hasan Al Halabi dan Usamah Al Qushi dalam obrolannya menyatakan Jama’ah Tabligh dan Jam’iyyah Syar’iyyah merupakan kelompok yang akan masuk neraka. Yang kemudian mereka ditegur oleh Syaikh Muhammad Hassan dan Syaikh Shafwat Nuruddin rahimahullah.
Mereka menyatakan kelompok-kelompok yang ada adalah hizbiyah dan yang tidak hizbiyah hanyalah kelompoknya. Namun ternyata kalangan seperti ini jauh lebih berhizbiyah dari pada kalangan lainnya. Ini namanya ‘Maling Teriak Maling’.
Perpecahan Salafi
Seorang ustadz senior salafi ketika ditanya dalam salah satu siaran radio islami, kenapa kalangan salafi berbeda-beda? Ustadz tersebut hanya menjawab perbedaan yang terjadi hanyalah perbedaan dalam masalah furu’ bukan masalah prinsifil. Benarkah apa yang dikatakan sang ustadz? Atau hanya sekedar menutupi agar para muridnya tidak tahu hakikat yang sebenarnya, bahwa memang telah terjadi perpecahan yang cukup dahsyat sehingga antara yang satu dengan yang lain saling membid’ahkan? Kalau memang perbedaan itu bukan dalam masalah prinsif kenapa tabdi’, tajrih dan tahdzir harus terjadi? Bukankah dalam masalah ijtihadi tidak boleh saling menghujat dan tidak boleh menancapkan bendera al Wala dan al Baro di atasnya.
Dalam hadits tersebut –hadits Irbad bin Sariyah- Rasulullah saw telah mengabarkan kepada kita, bahwa umat ini akan mengalami perselisihan dan perpecahan. Tidak luput dari hadits tersebut adalah kelompok yang menamakan dirinya salafi yang kini sudah berkeping-keping menjadi beberapa kelompok.
Bagi penulis sulit rasanya untuk memastikan kapan awal perpecahan itu terjadi. Hanya saja Syaikh Bakr Abu Zaid paling tidak delapan belas tahun yang lalu beliau telah merasakan adanya perpecahan dalam tubuh salafi. Beliau menyatakan:“Sepanjang yang saya ketahui, perpecahan yang terjadi dalam barisan Ahli Sunnah ini merupakan musibah yang pertama kali terjadi, dimana orang menisbatkan dirinya kepada mereka (Ahli Sunnah) justru mencela Ahli Sunnah. Dan memposisikan dirinya sebagi tentara untuk menyerang dan menebar kekacauan dan memadamkan semangat mereka, menghadang di jalan dakwah mereka dan melepaskan tali kendali lisan untuk mencela kehormatan para da’i dan membuat rintangan di jalan dakwah mereka dengan fanatisme buta”.
Pernyataan Syaikh Bakr dalam bukunya tersebut sebenarnya ditujukan kepada siapa saja yang hobinya menggolong-golongkan manusia, tanpa menunjuk hidung seseorang. Sehingga dalam hal ini Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali merasa tersinggung dan membantah buku tersebut dengan judul Al Hadd Al Fashil Bainal Haqq Wal Bathil yang kemudian bukunya (Syaikh Rabi’) dibantah lagi oleh Syaikh Abu Abdillah An Najdi dengan judul ‘Nadzarat Salafiyyah Fii Aaraa As Syaikh Rabi’ Al Madkhali.
Belum lagi perseteruan antara Syaikh Rabi’ dan Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq. Sehingga pada tahun 1997 kalangan salafiyah Kuwait meminta pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang sikap Syaikh Rabi yang kasar dan arogan. Maka Syaikh menyatakan dalam fatwanya: “Adapun Syaikh Rabi’ aku akan menulis surat untuknya dan akan aku nasehati”.
Akhir-akhir ini perseteruan antar tokoh salafi seperti Syaikh Rabi’ dengan Syaikh Ali Hasan Al Halabi, Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi, Syaikh Usamah Al Qushi, Syaikh Falih Al Harbi [ 3 ] dan lain-lain semakin membara bagaikan api yang sulit dipadamkan. Padahal sebelumnya mereka sangat memuliakan Syaikh Rabi’ dan menganggapnya sebagai imam Ahli Sunnah dan imam Jarh Wa Ta’dil pada masa ini. Tidak bisa dipungkiri imbasnya adalah apa yang terjadi di sana terjadi juga di Indonesia.
Salafiyah Murjiah
Kalangan salafi jelas tidak menerima istilah ini dan menuduh kalangan yang melabelinya dengan sebutan khawarij, ikhwani, quthbi, sururi dan lain-lain. Di sini perlu dicatat bahwa justru yang menyebut salafi dengan label tersebut datang dari sosok yang telah lama berinteraksi dengan Syaikh Albani dan pernah terjerumus dalam faham Murjiah, yaitu Syaikh Abu Malik Muhammad Ibrahim Syaqrah dalam bukunya Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fii Diin Al Murjiah Al Judud. Beliau menyebutnya dengan As Salafiyyah Al Murji’ah, Firqah As Salafiyah Al Murjiah, As Salafiyah Al Murji’ah Al Jadidah dan ungkapan-ungkapan lainnya.
Setelah mengakui kekeliruannya dalam masalah iman yang terjerumus kepada faham Murji’ah maka beliau bertaubat dan sebagai bentuk keseriusan taubatnya beliau menulis dua buku Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fii Diin Al Murjiah Al Judud(Dimana Letak (kalimat) Laa Ilaaha Illallah Dalam Agama Murjiah Kontemporer), A Akhta’a An Nabiyyun Wa Ashaba Al Atsariyyun (Apakah Para Nabi Yang Salah dan Kalangan Atsariyun (Salafiyun) Yang Benar?), dan beliau memberi pengantar kitab Haqiqah Al Iman ‘Inda As Syaikh Al Albani (Hakikat Iman Menurut Syaikh Albani).
Syaikh Ali Hasan Al Halabi
Di Indonesia Syaikh Ali Hasan Al Halabi bagaikan qadhi (hakim), yang memegang keputusan dan kendali. Bahkan dianggap sebagai imam jarh dan ta’dil. Jika ada seorang syaikh yang datang ke Indonesia maka ia akan dimintai fatwa dan pendapatnya tentang sosok syaikh tersebut. Jika Ali Hasan mengatakan bahwa syaikh tersebut sururi atau label lainnya maka pengikutnya yang ada di Indonesia akan manut dan langsung mem-pending seluruh jadwal syaikh tersebut. Ali Hasan di kalangan mayoritas salafi Indonesia mempunyai kedudukan yang tinggi. Jika ada yang mengkritik atau mencelanya maka sama artinya dengan mencela Syaikh Albani. Kenapa kalangan salafi Indonesia lebih mengidolakan Ali Hasan yang tidak sedikit para ulama menyatakan dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan?
Di sini penulis perlu menjelaskan secara ringkas siapa Syaikh Ali Hasan dan tentunya hal ini pun berdasarkan fakta dan data yang dikemukakan oleh kalangan yang tahu perisis tentang Syaikh Ali Hasan sehingga kita tidak terjebak dalam kultus individu dan kelompok.
1. Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi dalam fatwa pengharaman dua kitab Ali HasanFitnah At Takfir dan Shaihah Nadzir menggambarkan sosok Ali Hasan dengan:madzhabnya dalam masalah iman adalah madzhab Murji’ah yang bid’ah dan bathil, menyeleweng dalam menukil perkataan Ibn Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim, dusta atas nama Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, menafsirkan pendapat ulama tidak sebagaimana yang mereka maksudkan, meremehkan masalah tidak berhukum dengan hukum Allah, hendaknya ia mencabut pendapat-pendapat ini, hendaknya ia bertaqwa kepada Allah pada dirinya yaitu dengan kembali kepada kebenaran, hendaknya bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu syar’i kepada ulama yang keilmuannya terpercaya dan akidahnya benar.
Ali Hasan adalah sosok yang ngeyel sehingga ia pun membantah fatwa Komisi Fatwa dengan Al Ajwibah Al Mutalaimah ‘An Fatwa Lajnah Daimah. Bantahannya tersebut dibantah lagi oleh Syaikh Muhammad Ad Dausari yang diberi pengantar oleh beberapa ulama senior namun Ali Hasan tetap ngeyel dan membantah buku tersebut.
2. Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah. Beliau pernah menjadi penengah dalam debat Ali Hasan dan DR. Abu Ruhayyim [4] yang kemudian beliau membenarkan dan memuji apa yang disampaikan DR. Abu Ruhayyim. Dalam kasus ini Ali Hasan tidak amanah dalam menukil pendapat ulama. Sampai-sampai Syaikh Syaqrah marah dan mengatakan; kalau bukan kamu maka akan saya potong tangannya.
Dalam bukunya ‘Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fi Dien Al Murjiah Al Judud, Syaikh merujuk dan memuji buku yang ditulis Syaikh Muhammad Ad Dausari. Hal ini sangat berbeda dengan Ali Hasan yang justru mencela dan membantahnya. Bahkan dalam bukunya, Syaikh Syaqrah menyebut Ali Hasan sebagai ‘Embrio Salafiyah Murji’ah’.
Kalangan salafi banyak yang merujuk kepada pembelaan Syaikh Husain Alu Syaikh salah seorang ulama Madinah yang menyebut Ali Hasan dengan saudara senior. Harusnya merekapun membaca apa yang ditulis putra Syaikh Muhammad Syaqrah yaitu Ashim bin Muhammad Syaqrah yang menulis bantahan ‘Ar Rudud Al Ilmiyah As Saniyyah yang ditujukan kepada Ali Hasan dan pendukungnya, termasuk Syaikh Husain. Diantara salah satu pernyataannya; Bagiamana bisa dikatakan saudara senior? Dari sisi usia jelas Ali Hasan lebih muda dari Syaikh Husain. Dan jika dilihat dari sisi keilmuan jelas orang-orang yang duduk di komisi Fatwa jauh lebih senior dari pada Ali Hasan.
Kembalinya Syaikh Muhammad Syaqrah kepada faham Ahli Sunnah dalam masalah iman diakui juga oleh Abu Muhammad Al Maqdisi dalam Tabshir Al Uqala Bi Talbisat At Tajahhum Wal Irja’ dan Syaikh Abu Bashir. Bahkan Abu Bahsir menulis artikel dengan judul Li As Syaikh Muhammad Syaqrah ‘Alayya Dain (Aku Mempunyai Utang Kepada Syaikh Muhammad Syaqrah). Ketika Abu Bashir meminta maaf atas kata-katanya yang kasar –dalam buku-bukunya terdahulu- maka Syaikh Syaqrah mengatakan: “Ya Abu Bashir, anda tidak perlu meminta maaf. Kalian berada dalam jalan yang haq dan benar. Apa yang telah anda tulis, (dan yang ditulis oleh) Abu Muhammad Al Maqdisi dan Abu Qatadah adalah benar dan haq. Maka aku katakan kepada manusia: sesungguhnya anda, Abu Muhammad Al Maqdisi dan Abu Qatadah adalah haq dan benar maka tidak perlu meminta maaf. Orang yang benar tidak layak meminta maaf atas perkara yang ia berada di atasnya”.
3. Dalam buku saku Ma’a Syaikhina Nashir As Sunnah Wa Ad Dien Fi Syuhur Hayatihi Al Akhirah, Ali Hasan menyebutkan; Ketika Syaikh (Albani) dikubur aku memang jauh darinya, namun aku adalah sosok yang paling akhir berbicara dengan Syaikh. Abdullatif, salah seorang putra Syaikh Albani menyatakan bahwa yang paling terakhir berbicara dengannya selain keluarga dan kerabatnya adalah salah seorang ikhwah dari Bahrain. Ini menunjukan kebohongan Ali Hasan sang qadhi dan Ahli Jarh dan Ta’dil salafi Indonesia.
4. Ali Hasan adalah sosok yang suka melakukan plagiat dan mencuri karya orang lain yang kemudian dinisbatkan kepada dirinya. Syaikh ‘Awadhallah pernah mengeluhkan permasalahan ini kepada Syaikh Bakr Abu Zaid. Bahkan Abdul Aziz bin Faishal membuat artikel dengan judul Al Farq Baina Al Muhaqqiq Wa As Sariq (Perbedaan Antara Muhaqqiq Dan Pencuri) kemudian menyebutkan beberapa bukti di antaranya Ali Hasan mencuri hasil tahqiq Al Thanahi dan Az Zawi dalam kitab An Nihayah karya Ibn Atsir dan mayoritas dari karya-karyanya banyak membela dirinya dengan berlindung di balik nama besar Syaikh Albani. Padahal Ali Hasan tidak pernah duduk lama-lama belajar dengan Syaikh Albani hal ini dikarenakan Syaikh juga sibuk dengan tahqiq, takhrij dan ta’liq. Dengan Syaikh Albani, Ali Hasan hanya tuntas membaca kitab kecil Nukhbah Al Fikr.
5. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam bukunya Dar’ul Fitnah ‘an Ahli Sunnah (Menepis Fitnah Yang menimpa Ahli Sunnah) secara tidak langsung menyindir Ali Hasan. Beliau menyebutkan diantara dampak negatif faham murjiah adalah meremehkan urusan shalat dan pemberlakuan syari’at Allah untuk mengadili manusia. Bahkan mereka membantu orang yang berhukum kepada thaghut padahal Allah telah memerintahkan untuk mengkufurinya. Jelas dalam dua buku Ali Hasan; Fitnah At Takfir dan Shaihah Nadzir dia meremeh kedua masalah tersebut dan menyatakan bahwa orang yang sibuk dengan masalah penegakan hukum Allah adalah mirip dengan Rafidhah. Jelas ini sebuah kekeliruan dan keseatan.
6. Asy-Syaikh Rabi’ al Madkhali ditanya tentang ‘Ali Al-Halaby, maka Asy-Syaikh menjawab: “Saya akan jelaskan kepada kalian keadaan ‘Ali Al-Halaby. Selama sepuluh tahun kami bersabar atas dia dan apa yang dimunculkan dari fitnahnya, sedang dia memperkuat fitnah tersebut dan berusaha untuk memecah belah dan membuat musykilah, diantaranya: Dia memberi kata pengantar pada kitabnya Murad Syukri yang mana padanya ada aqidah murji’ah dan istidlal (pendalilan) dengan ucapan ahlu bid’ah.
Penutup
Syaikh Albani termasuk yang menyatakan bahwa kata As Salafi yang kemudian diikuti dengan Al Atsari adalah kalimat yang berat. Jika orang yang melabel dirinya dengan kata-kata itu mengetahui maknanya maka ia akan berlepas diri dengan menanggalkannya. Hal ini diamini oleh murid seniornya Syaikh Muhammad Syaqrah. Bahwa kata As Salafi jauh lebih berat dan fitnahnya jauh lebih dahsyat dari pada kata Al Atsari maka sebaiknya tidak menggunakan label tersebut karena akan melahirkan fanatisme, kesombongan dan meremehkan yang lainnya.
Perpecahan dalam tubuh salafi, saling membid’ahkan dan adanya klaim kebenaran rupanya telah disinggung oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullah. Hal ini penulis tuturkan agar kalangan salafi introspeksi dan melakukan evaluasi diri serta menyadari bahwa telah ada kekeliruan juga dalam diri mereka.
Dalam mengomentari hadits di atas yaitu hadits ke 28 dalam Syarh Al Arbain An Nawawiyah yang bersumber dari Irbad bin Sariyah beliau (Syaikh Al Utsaimin) berkata: “Dan tidak diragukan lagi bahwa madzhab Umat Islam harus bermadzhab salaf bukan beravilial kepada hizb (kelompok) tertentu yang menamakan dirinya dengan ‘SALAFIYYUN’. Yang menjadi keharusan bagi Umat Islam adalah bermadzhab dengan madzhab As Salaf As Shalih bukan berhizbiyah dengan nama ‘SALAFIYUN’. Di sana ada yang namanya Thariqah As Salaf (cara/metode salaf) dan ada juga yang namanya kelompok ‘SALAFIYUN’. Dan yang dituntut adalah mengikuti salaf (bukan beravilial kepada kelompok salafi). Meski demikian, ikhwah Salafiyun merupakan kelompok yang paling dekat dengan kebenaran. Hanya saja permasalahan mereka adalah sama dengan kelompok-kelompok yang lainya; saling menyesatkan satu sama lain, saling membid’ahkan dan saling memfasikkan”.
Wallahu A’lam bis shawab
Abu Hatim, Lc
Catatan kaki
1. Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jama’ah karya Al Lalikai. Bahkan dalam masalah jihad Rasulullah saw telah menjadikan sebagai bentuk tamasya umatnya. Seorang lelaki meminta izin kepada Rasulullah saw untuk bertamasya. Maka beliau bersabda: “Tamasya umatku adalah jihad di jalan Allah”. (HR. Abu Daud)
2. Anggota Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi dan kitabnya ditulis sejak delapan belas tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1413H
3. Dosen Universitas Islam Madinah dan Direktur Ma’had Ilmi. Dulunya merupakan teman dekat Syaikh Rabi’ namun akhir-akhir ini beliau kembali kapada jalan yang benar dalam memahami masalah iman dan mengkritik tajam apa yang ditulis Ali Hasan Al Halabi dan Syaikh Rabi yang keduanya terjerumus kepada paham murji’ah. Dalam masalah ini Syaikh Falih mendapat pujian dari Prof. DR. Abdullah bin Abdurrahman Al Jarbu’ ketua Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah
4. Isteri Syaikh Albani memilihkan calon Isteri untuknya dan Syaikh Albani yang menyampaikan nasehat dalam pernikahannya

file:///H:/Fakta%20Perpecahan%20di%20Tubuh%20%E2%80%9CSalafi%E2%80%9D%20%C2%AB%20menuju%20umat%20mandiri,%20islam%20merdeka.htm

Selasa, 08 Januari 2013

MANAJEMEN DANA BANK SYARI'AH

PERAN STAKEHOLDER
DALAM PERBANKAN SYARIA’AH



 
  

Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Manajemen Dana Bank Syariah
Dosen Pengampu Slamet  


Eko Waluyo    102323047

SYARIA’AH / EKONOMI ISLAM / V EI b


SEKOLAH  TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI PURWOKERTO
STAIN PURWOKERTO
2013

PENDAHULUAN
Harmonisasi Peran Stake Holder Perbankan Syariah (Pemerintah, Ulama Dan Bank Syariah) : Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja Bank Syariah Di Indonesia." Sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia diawali dengan berdirinya Bank Muammalat Indonesia (BMI) pada November 1991, yang akhirnya diikuti oleh keluarnya peraturan tentang perbankan yaitu, UU No 7 tahun 1992 yang membolehkan operasional bank dengan sistem bagi hasil di Indonesia.
Namun setelah muncul nya UU No 10 tahun 1998, yang mengatur tentang dual banking-system yaitu peraturan yang membolehkan setiap bank konvensional membuka sistem pelayanan syariah di cabangnya membuat perkembangan bank syariah berjalan sangat cepat, perkembangan selanjutnya adalah terbitnya UU No 23 tahun 1999 mengenai proses pendirian dan jaringan bank umum syariah (BUS), pengaturan kelembagaan bank umum konvensional (BUK) yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS), pendirian Kantor Cabang Syariah (KCS), dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Perkembangan selanjutnya adalah keluarnya fatwa tentang haram nya bunga bank yang dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2003, keluarnya fatwa ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap laju pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal ini terlihat dengan terjadinya over likuiditas perbankan syariah yang mencapai 300 miliar rupiah pada saat itu. Pertumbuhan industri perbankan syariah yang saat ini dapat dilihat dengan munculnya 3 bank umum syariah dan 22 unit usaha syariah di beberapa bank konvensional di Indonesia. Perkembangan ini dapat dilihat dengan tumbuhnya 3 bank umum syariah yaitu Bank Muammalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia serta terdapat 22 unit usaha syariah di beberapa bank konvensional di Indonesia. ( Statistik Perbankan Syariah-Bank Indonesia).
Berbagai produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah antara lain: (1) produk pengumpulan dana, terdiri dari: giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah; (2) produk pembiayaan: murabahah, bai’ as salam, bai istishna’, ijarah, musyarakah, mudharabah. (3) produk jasa; al-wakalah, al-hawalah, kafalah, dll
PEMBAHASAN
POTENSI BANK SYARIAH DALAM PEREKONOMIAN
Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk memberdayakan perekonomian ummat, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank syariah sangat besar, yaitu sebesar 105,70 persen, lebih tinggi daripada LDR pada perbankan nasional yang rata-ratanya hanya sebesar 64 persen, dengan tinginya tingkat FDR bank syariah mencerminkan bahwa fungsi intermediasi bank syariah dapat tercapai dengan optimal. Selain itu apabila dilihat dari prosentase pembiayaan berdasarkan golongan pembiayaan, sektor UMKM merupakan fokus pembiayaan bank syariah dengan prosentase pembiayaan mencapai 70 persen dari seluruh total pembiayaan Rp23,23 triliun, lebih tinggi daripada sektor korporasi yang hanya mencapai 30 persen.
Bank syariah lebih mencerminkan prinsip keadilan melalui mekanisme pembiayaan bagi hasil dengan skema distribusi pendapatan yang merata karena lebih fokus pada pemberdayaan UMKM. Hal ini terjadi karena jumlah populasi UKM pada 2006 mencapai 48,9 juta unit usaha atau sekitar 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang atau 96,18 persen terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia atau sebanyak 46,28 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Selain itu sektor UMKM memiliki potensi yang sangat luar biasa, yaitu sekitar 57 persen kebutuhan barang dan jasa serta sekitar 19 persen produk ekspor merupakan hasil produksi UMKM dan mampu memberikan kontribusi 2-4 persen pertumbuhan nasional. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM (Menegkop & UKM), sektor UKM menyumbang 53,3 persen atau sebesar Rp1.778,7 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2006 yang mencapai Rp3.338,2 triliun.
Menurut Siti Ch. Fadjriah (2007), Pembiayaan dengan menggunakan sistem syariah lebih cocok diterapkan dalam membiayai sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) karena lebih memberikan kepastian dan tidak terbebani akibat kenaikan suku bunga karena skema pembiayaan pada bank syariah tidak mengacu pada system bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya kemungkinan negative spread. Selain itu bank syariah mempunyai risiko yang lebih kecil dari pada bank konvensional yang terkait dengan risiko bunga (Hilmy, 2005), diantaranya:
Risiko negative spread, terjadi karena kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga yang sangat tinggi yang dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya kredit macet. Risiko praktik “bank dalam bank” (BDB). Praktik BDB adalah praktik “bank gelap” yang dilakukan oleh penguasa bank (oknum) tetapi dilakukan di dalam bank yang legal. Ketika BDB berjalan lancar, maka keuntungannya diambil cukong. Tetapi, apabila BDB bermasalah, misal non performing loan (NPL, pinjaman bermasalah), bank harus menanggung masalah likuiditasnya, yaitu oknum perbankan menghindar dan risikonya dapat dialihkan ke bank.
Risiko kompetisi bunga dan hadiah. Pada bank sistem bunga, bank lebih mudah menarik DPK, dengan menawarkan kenaikan suku bunga atau hadiah. Bunga dan hadiah adalah janji pasti (fixed income) sehingga sangat menarik bagi DPK. Semua Bank dengan system bunga akan terlibat dalam persaingan menaikkan tingkat suku bunga dan pemberian hadiah. Bila ada Bank yang tidak ikut, maka bank itu ditinggalkan nasabah dan bank terancam kegiatan operasionalnya. Sehingga memaksa hampir semua bank dengan operasi system bunga untuk ikut berkompetisi dalam persaingan penjaringan DPK walaupun dengan beban bunga itu dirasakan beban berat.
Risiko spekulasi. Spekulasi yang biasa dilakukan pada bank dengan system bunga di antaranya ialah dalam jual beli valas.

KELEMAHAN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
Dalam Perkembangannya bank syariah mengalami beberapa kendala diantaranya adalah rendahnya market share perbankan syariah yang total asset nya baru mencapai 1,66 persen dari seluruh total asset bank di perbankan nasional sehingga menyebabkan peran bank syariah dalam memberdayakan perekonomian ummat menjadi kurang optimal. Kondisi saat ini pertumbuhan asset perbankan syariah terkesan melambat, sehingga perkembangan laju pertumbuhannya tidak begitu pesat seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena perbankan syariah terkesan mengerem penerimaan dana pihak ketiga (DPK) karena bank syariah tidak bisa melakukan pembiayaan secara menyeluruh kepada pengusaha karena terkait asas prudential banking dan prospek usaha yang kurang bagus ( Tempo, 21 Oktober 2007).
Statistik Perbankan Syariah Terhadap Total Bank Posisi Agustus 2007 (Triliun rupiah)

Islamic Bank
Total Banks
Total
Share
Total Asset
30,145
1.66%
1 ,820,388
Depoosit Fund
23,309
1.67%
1 ,392,668
Credit/Financing Extended
24,638
2.76%
893,497
FDR/LDR
105.70 %

64.16 %

Padahal Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk menggerakkan ekonomi ummat, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank syariah sangat besar, yaitu sebesar 105,70 persen lebih tinggi daripada bank konvensional rata-rata hanya sebesar 64 persen. Dengan tingginya tingkat FDR tersebut, bank syariah mempunyai peluang yang besar untuk menumbuhkan iklim investasi dan jiwa entrepreneurship nasabah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengangguran di masyarakat. Minimnya total asset bank syariah disebabkan oleh faktor-faktor antata lain yaitu:
1.      Kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat tentang produk-produk bank syariah, sehingga banyak masyarakat yang belum menggunakan jasa layanan keuangan bank syariah.
2.      Terbatasnya pakar dan SDM yang ahli dalam perbankan syariah.
3.      Kurang inovatif dan minimnya produk yang dapat mengakomodir kebutuhan nasabah.
4.      Sistem regulasi atau perundang-undangan yang belum memadai.
5.      Dukungan Pemerintah dinilai masih kurang dalam upaya pengembangan bank syariah. Hal ini dilihat dari dari sisi alokasi dana yang dikeluarkan untuk edukasi, sosialisasi dan promosi tentang bank syariah masih sangat minim.
6.      Kurangnya instrumen moneter yang berbasis syariah untuk membantu kebutuhan likuiditas dan instrumen investasi bank syariah. Ketujuh, terjadi pajak ganda dalam suatu transaksi produk pembiayaan di bank syariah (murabahah), sehingga menyebabkan produk tersebut kurang kompetitif.
Selain masalah tersebut bank syariah juga kurang memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya memberdayakan ekonomi ummat, hal ini terlihat dari portofolio pembiayaannya yang masih didominasi oleh pembiayaan non-bagi hasil, yaitu pembiayaan murabahah dan ijarah. Hal ini terlihat dalam statistik pembiayaan bank syariah, bahwa tingkat pembiayaaan murabahah hampir mencapai 60 persen, sedangkan pembiayaan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah) hanya mencapai sekitar 35 persen.
Dengan kondisi tersebut sungguh ironis, karena berdasarkan prinsip dasar produk tersebut, bank syariah sesungguhnya memiliki core product pembiayaan bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah (Muhammad, 2005). Hal ini berarti keberadaan bank syariah harus mampu memberikan kontribusi yang meningkatkan pertumbuhan sektor riil. Fungsi tersebut akan terwujud bila bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing (mudharabah dan musyarakah) sebagai core productnya (Beik, 2005) dalam (Muhammad, 2005).
Menurut (Beik, 2007) tingginya pembiayaan non-bagi hasil dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya inflasi, dimana harga komoditas barang cenderung meningkat selain itu, skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas barang dan jasa. Tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya menimbulkan masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya perolehan pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun dengan risiko yang lebih tinggi produk pembiayaan bagi hasil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk pembiayaan non-bagi hasil, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan bank syariah itu sendiri. Selain itu menurut (Agustianto, 2007) Pembiayaan non bagi hasil sesungguhnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangkan sektor riel, karena bentuknya dominan konsumtif Dengan tingginya pembiayaan non bagi hasil, mengindikasikan bank syariah terkesan sangat menghindari risiko .
SOLUSI PERMASALAHAN
Upaya pengembangan kinerja dan daya saing industri perbankan syariah membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari stake holder perbankan syariah, yaitu pemerintah, ulama, perbankan syariah maupun masyarakat umum. Sehingga perlu di lakukan sinergisitas peran masing-masing pemegang kepentingan untuk saling bekerja sama mengembangkan industri perbankan syariah.
Peran Pemerintah
Keberpihakan pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan, yaitu dalam mendukung perkembangan perbankan syariah, yang dapat direalisasikan dengan pengeluaran kebijakan-kebijakan yang mendukung. Ironisnya peran tersebut belum terlihat nyata, hal ini terlihat dari belum keluarnya UU khusus tentang perbankan syariah yang mengatur kegiatan operasional bank dan adanya pajak ganda dalam suatu transaksi bank syariah, selain itu penyediaan instrumen moneter yang sesuai prinsip syariah masih kurang sehingga dapat menghambat perkembangan likuiditas perbankan syariah karena bank syariah terkesan menahan laju pertumbuhan DPK karena mengalami kendala dalam penyaluran dana karena tidak cukupnya instrumen syariah yang digunakan untuk melakukan investasi, kondisi ini sangat berbeda dengan bank konvensional yang diuntungkan dengan adanya SBI sehingga mampu menarik DPK dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu kontribusi dari pihak pemerintah sebagai regulator yang paling diharapkan saat ini dalam pengembangan industri perbankan syariah adalah :
Pertama, mengeluarkan UU khusus yang mengatur tentang perbankan syariah, sehingga dalam kegiatan operasionalnya bank syariah dapat bergerak dengan optimal, serta mampu menarik investor asing untuk ikut serta mengembangkan bank syariah karena ada kejelasan hukum dan perundang-undangan yang mengaturnya.
Kedua, menerbitkan Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dengan terbitnya UU SBSN maka penerintah dapat menarik dana yang melimpah dari investor timur tengah yang sedang menikmati untung besar akibat lonjakan harga minyak dunia, namun yang lebih penting dengan adanya SBSN, pemerintah dapat menerbitkan sukuk negara yang menjadi produk investasi alternatif bagi bank syariah dalam menyalurkan DPK nasabah dan menjadi media pengelolaan likuiditas, dimana bank syariah dapat menginvestasikan dana seoptimal mungkin, tetapi juga dapat dicairkan sewaktu-waktu bila bank syariah membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dengan adanya sukuk negara diharapkan bank syariah dapat menarik DPK dengan jumlah yang besar tanpa ada kesulitan untuk menyalurkan nya ke sektor yang produktif .
Ketiga, menghapus pajak ganda atas transaksi keuangan bank syariah, dalam transaksi pembiayaan bank syariah (murabahah) dikenai pajak ganda, sehingga produk ini menjadi kurang kompetitif dan dapat menjadikan ekonomi biaya tinggi karena dapat bersifat inflatoar, sehingga dengan dihapuskan nya pajak ganda dalam transaksi ini diharapkan produk pembiayaan ini ini lebih diminati oleh nasabah.
Keempat, meningkatkan simpanan dana pemerintah di bank syariah, dengan adanya simpanan dana dari pemerintah, menyebabkan struktur DPK bank syariah menjadi kuat sehingga bank syariah dapat mengelola dana yang murah dan mampu mengambil pilihan investasi yang beragam yang mampu memberikan tingkat keuntungan yang di harapkan sehingga mampu memberikan imbal hasil yang kompetitif kepada nasabah. Contoh riil dari upaya ini dapat dilakukan melalui institusi Departemen Agama (Depag) yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan dana haji oleh industri perbankan syariah.
Kelima, melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang produk-produk perbankan syariah. Hal ini sudah terlihat dengan adanya pencantuman logo IB (Islamic Banking) di situs maupun publikasi Bank Indonesia ataupun program “AYO KE BANK”.
Keenam, mengeluarkan serangkaian kebijakan yang mendung perkembangan industri keuangan syairah, di antaranya dapat di lakukan melalui pelatihan SDM atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan kualitas SDM industri perbankan syariah, keringanan biaya dalam pembukaan office channeling untuk meningkatkan kualitas dan akses pelayanan nasabah maupun meningkatkan kinerja industri perbankan syariah
Ketujuh, menaikkan bagi hasil instrumen uang bank syariah, yaitu SWBI minimal mendekati dengan perolehan bunga SBI bank konvensional, sehingga bank syariah dapat menempatkan dananya untuk sementara di SWBI sebelum diinvestasikan ke sektor produktif. Menurut Riawan Amin (2007) dengan dinaikkannya bagi hasil SWBI yang mendekati SBI bank konvensional dapat tercipta iklim persaingan yang seimbang diperbankan nasional.
Namun dalam penyimpanan dana bank syariah di SWBI sebaiknya dibatasi baik jumlah maupun batas waktunya, karena dengan naiknya bagi hasil SWBI mendekati instrumen SBI pada bank konvensional, dikhawatirkan perilaku bankir syariah akan menjadi sama dengan bank konvensional, yaitu terkesan menghindari risiko sehingga menempatkan dana DPK dalam jumlah besar ke instrumen SWBI yang akhirnya peran perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi dalam pembangunan masyarakat yang berkeadilan tidak berjalan dengan optimal.
Peran Ulama
Ulama mempunyai kedudukan yang sangat vital dikalangan masyarakat, terutama masyarakat religius. Ulama ditempatkan sebagai penerus para nabi sebagai pembawa risalah kebenaran, sehingga keteladanannya sangat diharapkan dalam pengembangan bank syariah kedepan. Peran ulama bukan hanya pada aspek ibadah mahdhah saja, seperti yang terlihat pada materi bahasan dakwah para ustadz di masjid melalui khutbah jum’at, majelis ta’lim yaitu mengenai aspek ibadah saja, tetapi juga mencakup berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya untuk kesejahteraan hidup ummat manusia. Menurut (Agustianto, 2007) ulama mempunyai peran yang sangat penting dalam memasyarakatkan perbankan syariah di kalangan masyarakat, karena ulama mempunyai figur penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat menuju perubahan yang lebih baik melalui ucapan dan perilaku ulama yang dapat dijadikan teladan dan panutan oleh masyarakat. Sehingga nanti diharapkan dalam melakukan kegiatan dakwahnya, cakupan bahasan mengenai aspek muamalah yaitu mengenai perbankan syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya hendaknya disampaikan ke kalangan masyarakat.
Selain itu, penggunaan masjid sebagai sarana sosialisasi, edukasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang produk-produk lembaga keuangan syariah sangat menentukan keberhasilan dalam pengembangan bank syariah
Peran Bank Syariah
Upaya yang dilakukan bank syariah merupakan faktor yang terpenting dan paling utama bagi pengembangan bank syariah ke depan untuk memberdayakan perekonomian ummat, karena bank syariah sendiri yang menjadi subjek dan motor penggerak dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu dalam setiap pengambilan kebijakan dan keputusan diharapkan mendukung perkembangan bank syariah itu sendiri. Namun saat ini perbankan syariah mengalami masalah-masalah yang cukup kompleks dalam upaya pembangunan ekonomi masyarakat. Sehingga dalam upaya pengembangan ke depan, bank syariah harus mensinkronkan fungsi dan tujuan bank syariah, artinya dalam pengembangan ke depan bank syariah harus menyesuaikan sesuai fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang ikut berperan serta dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, dengan tetap memperhatikan tujuan bank syariah tersebut yaitu meningkatkan pertumbuhan market share baik deposit fund maupun financing fund untuk meningkatkan peran perbankan syariah dalam pembangunan ekonomi masyarakat yang berkeadilan.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh bank syariah untuk meningkatkan peran dan fungsinya dalam memberdayakan ummat adalah sebagai berikut :
Pertama, Meningkatkan kualitas SDI bank syairah, peningkatan SDI bank syariah sangat penting karena berkaitan erat dengan kualitas produk-produk yang dikeluarkan oleh bank syariah. Menurut (Ramzi Zuhdi, 2007), keterbatasan SDI yang andal pada bank syariah menyebabkan bank syariah terkesan mengerem laju pertumbuhan DPK bank syariah. Hal ini terjadi karena SDI di perbankan syariah masih terfokus pada sektor jasa dan perdagangan sehingga sektor-sektor lain yang lebih produktif seperti industri pertambangan dan pembangkit tenaga listrik belum bisa dikelola dengan optimal.
Kedua, Inovasi produk-produk yang sesuai syariah, kebutuhan inovasi terhadap produk syariah merupakan suatu kebutuhan yang mendesak karena untuk meningkatkan market share dan daya saing bank syariah secara berkelanjutan dibutuhkan inovasi produk untuk menghasilkan produk baru yang menawarkan kemudahan bertransaksi dan mampu memenuhi kebutuhan nasabah yang semakin kompleks terhadap suatu produk syariah. Menurut (Agustianto, 2007) Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Langkah yang mudah untuk digunakan saat ini adalah dengan mengadopsi produk-produk perbankan syariah diluar negeri yang sudah maju perkembangan bank syariahnya dan melakukan rekayasa finansial, misalnya menerbitkan produk tabungan dengan berbagai macam fasilitas transaksi yang sesuai dengan prinsip syariah untuk diterapkan di Indonesia.
Ketiga, Kepatuhan terhadap prinsip syariah, kepatuhan terhadap prinsip syairah merupakan syarat yang sangat penting untuk meningkatkan image bank syariah terhadap nasabah, karena dengan adanya kepatuhan terhadap prinsip syariah bank syariah mampu menghasilkan produk dan sistem operasional yang sesuai dengan prinsip syariah. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dapat menjadi ciri khas yang melekat dan membedakannya dengan bank konvensional, contohnya dalam pembiayaan profit and loss sharing yang seharusnya tanpa adanya jaminan (collateral), dengan prinsip trust financing pembiayaan bagi hasil dapat menjadi produk inti bank syariah untuk menarik nasabah, sehingga dengan produk ini diharapkan adanya anggapan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional dapat dihilangkan karena dapat menghambat pertumbuhan bank syariah itu sendiri. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dapat ditingkatkan melalui optimalisasi peran DPS di bank syariah, sehingga produk dan operasional industri perbankan syariah tidak keluar dari koridor syariah.
Keempat, Optimalisasi pembiayaan profit and loss sharing (musyarakah dan mudharabah). Pembiayaan bagi hasil merupakan produk inti bank syariah yang membedakannya dengan sistem fixed-rate return dalam sistem bunga bank konvensional dan optimalnya pembiayaan profit and loss sharing sangat menentukan kualitas pembiayaan bank syariah itu sendiri, selain itu pembiayaan bagi hasil lebih mencerminkan prinsip keadilan karena terdapat prinsip saling berbagi hasil dan risiko antara kedua belah pihak terhadap usaha yang dibiayai. Oleh karena itu bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar dalam membangun perekonomian ummat yang berkeadilan melalui optimalisasi pembiayaan bagi hasil karena rasio dana pihak ketiga yang disalurkan ke nasabah (FDR) bank syariah mencapai 105,70 persen, lebih tinggi daripada bank konvensional yang rata-rata sebesar 60 persen. Selain itu pambiayaan bagi hasil berpotensi menghasilkan return yang lebih tinggi daripada pambiayaan non bagi hasil apabila dijalankan dengan memperhatikan prinsip prudential banking dengan mengantisipasi risiko yang akan muncul terhadap jenis usaha yang akan dibiayai.
Kelima, Meningkatkan kualitas pelayanan dan jasa perbankan syariah, untuk meningkatkan daya saing perbankan syariah maka peningkatan kualitas pelayanan dan jasa merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini terjadi karena pertumbuhan jumlah nasabah bank syariah yang kompleks. Nasabah tidak hanya membutuhkan bank sebagai tempat transaksi keuangan yang sesuai syariah, tetapi juga membutuhkan suatu produk yang memberikan jasa pelayanan kebutuhan lain yang dapat memberikan fasilitas dan kemudahan kepada nasabah. Alternatif ini dapat di tempuh dengan melakukan kerjasama dengan bank maupun lembaga lain dalam hal produk, layanan, dan jaringan untuk memenuhi kebutuhan nasabah.
Keenam, meningkatkan akses pelayanan dan sistem teknologi informasi bank syariah. Peningkatan teknologi informasi dan akses pelayanan bertujuan untuk menciptakan kepuasan pelanggan melalui penciptaan produk baru dan kualitas pelayanan. Menurut Ani Sulasiah (2007), kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Apabila pelayanan yang diterima nasabah sesuai dengan harapan pelanggan maka pelanggan akan merasa puas, sebaliknya apabila pelayanan yang diberikan kepada nasabah tidak sesuai dengan harapan pelanggan maka pelanggan akan merasa tidak puas.
Kepuasan pelanggan sangat erat kaitannya dengan service excellence, yaitu suatu bentuk pelayanan dimana kualitasnya lebih baik dari yang dijanjikan, lebih baik dari yang diperkirakan pelanggan, dan rata-rata yang lebih baik daripada kualitas layanan perusahaan pesaing. Ada beberapa unsur pokok dalam service excellence dalam Fandy Tjiptono (2002) dalam Ani Sulaisiah (2007), yaitu antara lain;
*      Kecepatan Pelayanan. Pelayanan uang cepat dan akurat dapat tercapai melalui ketersedian teknologi dan sarana yang memadai serta ketersediaan tenaga yang terampil dalam system pengoperasianya.
*      Kenyamanan dalam pelayanan. Kenyamanan dalam pelayanan bagi perusahaan jasa adalah merupakan bagian dari produk yang ditawarkan oleh karena itu, tingkat kenyamanan dalam pelayanan akan menentukan tingkat kepuasan pelanggan.
*      Keramahan pelayanan. Keramahan dalam pelayanan kadang dapat mentralisir kekurangan – kekurangan yang lain. Keramahan dalam pelayanan hendaklah diberikan secara ikhlas dan efektif.
*      Kebenaran Pelayanan. Kebenaran di dalam pelayanan dipengaruhi oleh ketelitian petugas, tersedianya sarana pendukung, ada tidaknya kerja sama yang baik antar unit atau antar sesama karyawan.
Langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatn kualitas dan akses pelayanan adalah dengan melakukan Office Channeling di cabang bank-bank konvensional untuk membuka layanan syariah. Penerapan kebijakan Office Channeling ini bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap jasa dan layanan keuangan syariah serta dapat menghemat biaya untuk penyediaan teknologi informasi dengan pemanfaatan fasilitas dan teknologi informasi pada bank konvensional. Selain itu upaya peningkatan kualitas dan akses pelayanan dapat dilakukan adalah menjalin aliansi dengan mitra strategis seperti bank syariah, lembaga keuangan syariah lain, maupun instansi-instansi lain. Kerjasama aliansi diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan syariah untuk melakukan simpanan ataupun penarikan tunai tanpa harus datang langsung ke bank yang dituju.
Ketujuh, Meningkatkan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat tentang manfaat produk-produk bank syariah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat umum, sehingga peningkatan akses layanan syariah dipengaruhi oleh sisi permintaan masyarakat dengan mau menggunakan jasa layanan bank syariah. Peningkatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat harus secara berkelanjutan yang bertujuan untuk:
*      Memperluas cakupan wilayah edukasi melalui kerjasama dengan media massa baik media cetak maupun elektronik untuk meningkatkan awareness masyarakat terhadap kelembagaan, produk dan jasa layanan industri perbankan syariah.
*      Memperluas dan mengintensifkan program edukasi masyarakat, melalui integrasi program edukasi dengan materi kurikulum sekolah dengan memberikan materi tentang system keuangan, perbankan maupun ekonomi yang sesuai prinsip syariah di lingkungan sekolah baik.
*      Meningkatkan cakupan program, sasaran dan wilayah edukasi melalui kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik formal maupun non formal untuk meningkatkan permintaan masyarakat terhadap jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.
*      Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi, peranan dan kelembagaan perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional, sehingga tercipta brand awareness di benak nasabah.
Kedelapan, Fokus terhadap potensi tipe nasabah yang rasionalis . Sebuah keadaan yang memprihatinkan dimana lebih dari 80 persen penduduk di indonesia adalah muslim, tapi tidak memberikan manfaat yang berarti bagi perkembangan bank syariah itu sendiri karena market share nya baru sekitar 1,66 persen. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia adalah tipe nasabah rasionalis yang mengharapkan nilai tambah dan kepuasan pelanggan yang lebih tinggi, sehingga diharapkan dalam melakukan pendekatan ke masyarakat bank syariah dapat menawarkan nilai tambah yang lebih tinggi dari bank konvensional. Karena kondisi saat ini sangat memungkinkan terjadinya migrasi nasabah bertipe rasionalis menjadi nasabah bank syariah, karena pada saat ini terjadi kecenderungan bahwa tingkat SBI berada pada tingkat yang rendah yaitu 8,25 persen dan dimungkinkan lagi dapat turun pada level yang lebih rendah, menyebabkan nasabah yang bertipe rasionalis pindah menjadi nasabah bank syariah yang berpotensi mampu memberikan imbal bagi hasil yang lebih tinggi daripada bank konvensional.
Kesembilan, lebih berpihak pada pengembangan Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM). Upaya pemberdayaan ummat yang berkeadilan dapat tercapai apabila bank syariah lebih berpihak kepada UMKM, karena UMKM mempunyai potensi yang sangat besar yaitu mampu menyerap lebih dari 98 persen tenaga kerja dan jumlahnya mencapai lebih dari 90 persen sektor usaha di Indonesia. Sehingga memungkinkan terjadinya pemerataan pendapatan dan dapat mengurangi pengangguran secara signifikan.
Kesepuluh, menawarkan imbal bagi hasil yang kompetitif, langkah ini digunakan untuk menarik nasabah yang bertipe rasionalis yang menginginkan bagi hasil yang lebih tinggi dari pada return tingkat suku bunga pada bank konvensional. Strategi ini dapat dilakukan dengan efisiensi dan pengelolaan DPK yang dilakukan oleh menajer investasi yang andal dengan menggunakan prinsip manajemen risiko pada pembiayaan kreditnya, sehingga sektor usaha yang dibiayai oleh bank syariah dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi yang pada akhirnya imbal bagi hasil kepada nasabah dapat menjadi kompetitif.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Peningkatan daya saing bank syariah tidak hanya dilihat dari jumlah total asset saja, tetapi lebih dilihat dari kemampuan untuk memberikan manfaat dan nilai tambah kepada nasabah serta mampu memberdayakan perekonomian ummat secara umum. Sehingga upaya pengembangan bank syariah diharapkan dapat menyelaraskan pertumbuhan market share dan permodalan yang kuat dengan tetap memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian ummat yang sesuai prinsip syariah melalui pembiayaan yang berkualitas yang mampu memberikan manfaat kepada ummat.
Upaya pengembangan kinerja dan daya saing industri perbankan syariah membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari stake holder perbankan syariah, yaitu pemerintah, ulama, perbankan syariah maupun masyarakat umum. Sehingga perlu di lakukan sinergisitas peran masing-masing pemegang kepentingan untuk saling bekerja sama mengembangkan industri perbankan syariah.
SARAN
Dalam upaya pengembangan industri perbankan syariah di perlukan kerjasama dengan pihak-pihak yang pemegang kepentingan dalam perkembangan industri perbankan syariah di masa yang akan datang. Para stake holder perbankan syariah mempunyai peran dan fungsi yng berbeda-beda sesuai dengan karakteristik tugas dan wewenangnya masing-masing, yang dapat di integrasikan secara bersama-sama untuk kemajuan perkembangan industri perbankan syariah.
Bentuk harmonisasi peran dan fungsi stake holder perbankan syariah dapat di implementasikan melalui komunikasi yang efektif dan dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan masing-masing pihak yang saling mendukung pihak lain untuk pengembangan industri perbankan syariah di masa yang akan datang.

 DAFTAR PUSTAKA

Muhammad. 2005. Permasalahan Agency Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: UII Yogyakarta
Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Bulan September 2007. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia.
Beik, Irfan Syauqi. 2007. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil. Jakarta: pesantrenvirtual.com.
Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007
Agustianto. 2007. Peranan Ulama dalam Sosialisasi Perbankan Syariah. Jakarta: pesantrenvirtual.com
Amin, Riawan. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007
Republika.co.id. 2007. Situs resmi harian umum republika.
Agustianto. 2003. Sepuluh Pilar Pengembangan Bank Syariah. Jakarta: Pelita.or.id. Harian Umum Pelita.
Fadjriah, Siti Ch. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM.
Kiryanto, Ryan. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM, dalam www.bisnis.com.
Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007.
Suliasih, Ani. 2007. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Tabungan Pada Bank Muamalat Indonesia Kediri. Skripsi. Malang : Universitas Brawijaya Malang.
S.E., Hilmy. 2005. Risiko Bank Syariah lebih Kecil. Jakarta : Harian umum Republika edisi 06 Juni 2005.


 

Blogger news

Blogroll