A. PENDAHULUAN
Islam sebagai system kehidupan
mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (al-ibadat), dan hubungan manusia
dengan makhluk (al-muamalah) dalam seluruh aspek ekonomi, politik, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan negara. Prinsip ajaran Islam pada dasarnya
memecahkan semua masalah kehidupan yang tidak bertentangan dengan fitrah
manusia.Ajaran Islam merupakan dasar semua perbaikan sosial, yang tidak hanya
terbatas pada secara makro sesuatu perekonomian tidak terlepas dari peran
pemerintah, dimana menurut Maududi pemerintah tidak menggunakan kekerasan dalam
memimpin suatu Negara, kembali pada subjek masalah zakat dan pajak
Dalam makalah ini penulis membahas antara
zakat yang diatur oleh Islam dan pajak yang dilaksanakan sebagai hasil pemikiran
dan system keuangan moderen, dan membahas tentang persamaaan dan perbedaan antara
zakat dan pajak. Zakat ialah, nama atau sebutan dari sesuatu hak Allah Ta’ala
yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin. Sedangkan pajak adalah, iuran rakyat
kepada kas Negara berdasarkan undang – undang sehingga dapat dipaksakan denda tiada
mendapat balas jasa secara langsung.
Zakat dan pajak meskipun keduanya merupakan
kewajiban dalam bidang harta, namum keduanya merupakan falsafah yang khusus
yang keduannya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran,bagian serta
kadarnya, disamping itu berbeda pula prinsip, tujuan dan jaminan.[1]
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Zakat dan Pajak
a.
Zakat
Zakat adalah
hak tertentu yang diwajibkan Allah terhadap harta kaum muslimin yang diperuntukkan
bagi fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah
dan untuk mendekatkan diri kepada –Nya serta membesihkan diri dari hartanya.
Dasar hukum terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 110:
(#qßJÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur
no4q2¨9$#
4 $tBur
(#qãBÏds)è?
/ä3Å¡àÿRL{
ô`ÏiB
9öyz
çnrßÅgrB
yYÏã
«!$#
3 ¨bÎ)
©!$#
$yJÎ/
cqè=yJ÷ès?
×ÅÁt/
ÇÊÊÉÈ
’’dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan’’. (QS. Al-Baqarah:
110)
b.
Pajak
Pajak menurut
para ahli keuangan ialah : kewajibab yang ditetapkan terhadap wajib
pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa dapat
prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran –
pengeluaran umum disatu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi.[2]
Pajak oleh
Masdar F. Mas’udi dibagi dalam tiga kategori:
1)
Pajak sebagai
upeti:
a)
Berlaku dalam sistem
pemerintahan Veodal dibawah kekuasaan Raja.
b)
Dibayarkan oleh
rakyat sebagai persembahan (offering) buat sang raja selaku penguasa jagat
bendoro rakyat.
c)
Raja sebagai
penerima persembahan adalah satu- satunya pihak yang berwenang menentukan untuk
apa/ siapa dana pajak dibelanjakan.
2)
Pajak sebagai
kontra prestasi
a)
Berlaku dalam
sistem pemerintahan “Liberal- Kapitalis“.
b)
Pajak yang
dibayarkan rakyat sebagai imbang jasa “perlindungan dan pelayanan publik“.
c)
Negara berperan
sebagai „“penjual jasa“ dan rakyat adalah “pembelinya“. Sesuai dengan besar
kecilnya pajak yang dibayarkan.
3)
Pajak sebagai
zakat
a)
Diterapkan pada
pemerintahan Nabi, Khulafaur Rasyidin, dan pemerintahan masa datang yang
berwatak demokratis- populis
b)
Pajak yang
dibayarkan bukan sebagai persembahan keapada Raja, juga sebagai imbalan jasa
dengan negara, melainkan sebagai sedekah Lillah yang diamantkan kepada Negara
atau pemerintah.
c)
Terhadap dana
pajak, negara/ pemerintah bukan sebagai pemilik, melainkan hanya sebagai “Amil“
yang bertindak semata- mata berdasarkan mandate. Pemilik uang pajak secara
hakiki adalah Allah atau dalam bahasa sosiologi “Rakyat“.
2.
Persamaan dan
Perbedaan antara Zakat dan Pajak
a.
Persamaan Zakat
dan Pajak
Sama – sama mempunyai unsur paksaan dan
kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam
zakat.
Bila pajak
harus disetorkan kepada lembaga masyarakat (negara) pusat maupun daerah, maka
zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus diserahkan pada
pemerintah sebagai badan yang disebut dalam Al-Qur’an : amil zakat.
Dalam ketentuan pajak ialah tidak adanya imbalan tertentu, demikian
halnya dalam zakat. Seseoarang membayar zakat adalah selaku masyarakat islam.
Pajak pada zaman modern mempunyai
tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan, maka
zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada
aspek –aspek yang disebutkan tadi dan aspek –aspek lain, semua itu
sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.[3]
b. Perbedaan Zakat
dan Pajak
1)
Dari Segi Nama
dan Etikanya:
Kata zakat menurut bahasa, berarti suci,
tumbuh dan berkembang. Dalam syari’at islam zakat untuk mengungkapkan arti
dari bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahik
lainya. Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat: 276 yang
artinya:’’Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah“ Sedangakan pajak diambil dari kata dharaba, yang artinya utang,
pajak, tanah atau upeti.Yaitusesuatu yang mestidibayar, sesuatu yang
menjadi beban. Seperti yang dikatakan dalam Al- Qur’an surat
Al-Baqarahayat: 61 yang artinya: “ Dan timpakan
atas mereka kehinaan dan kemiskinan”.
2)
Mengenai
Hakikat dan Tujuannya
Zakat adalah ibadah yang diwajibkan
kepada orang islam, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT dan mendekatkan diri
kepadanya. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara semata –mata yang tidak
ada hubungannya dengan makna ibadat dan pendekatan diri.
3)
Mengenai Batas
Nisab dan Ketentuanya.
Zakat adalah hak yang ditentukan oleh Allah, sebagai
pembuat syariat. Dialah yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda
juga Allah memberikan ketentuan atas kewajibab zakat itu seperlima,
sepersepuluh, separuh, sampai seperempat puluh. Berbeda dengan pajak yang
tergantung pada kebijaksanaan dan kekuatan penguasa baik mengenai objek,
presentase, harga dan ketentuannya, bahkan ditetapkan dan dihapuskan pajak
tergantung pada penguasa sesuai dengan kebutuhan.
4) Mengenai Kelestarian dan Kelangsungan
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus –
menerus, adapun pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan terus – menerus, baik
mengenai macam, presentase, dan kadarnya.
5) Mengenai Pengeluaranya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah
SWT dalam Qur’an dan dijelaskan oleh Rosulullah SAW dengan perkataan dan
perbuatantya, sasaran itu kemanusiaan dan keislaman, sedangkan pajak dikeluarkan
untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum negara, sebagai mana ditetapkan
pengaturan oleh penguasa.
6) Hubungannya dengan Penguasa
Pajak selalu berhubungan antara wajib pajak dengan
pemerintah yang berkuasa. Karena pemerintah yang mengadakan, pemerintah yang
memungutnya dan juga membuat ketentuan wajib pajak, adapun zakat adalah
hubungan pezakat dengan Tuhannya, Allah lah yang memberinya harta dan mewajibkan
membayar zakat.
3.
Manfaat Zakat
Zakat juga mempunyai manfaat yang sangat besar dalam upaya
mencapai keberimbangan
hidup antar sesama mahluq Allah swt. Bagi pemberi, zakat adalah upaya
mensucikan diri dan harta dari hak-hak pihak lain yang diamanatkan Allah,
sebagaimana dalam surat Adz Dzariat 19 “Pada setiap kekayaan itu ada hak
orang lain, diminta atau tidak”. Bagi pihak penerima, zakat adalah salah
satu sumber keberkahan hidup dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk dapat
mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan.
Oleh
karena itu, konsep zakat adalah konsep kesetaraan antar manusia baik pemberi
maupun penerima sebagai upaya perangsang (stimulus) kehidupan perekonomian yang
berkeadilan dan merata.Dengan demikian, zakat juga dapat dijadikan sebagai
salah satu entry point (titik masuk) penggerakan perekonomian. Akumulasi zakat
adalah potensi ekonomi yang sangat besar untuk dapat menghidupkan kembali
usaha-usaha dalam menumbuhkembangkan pergerakan transasksi ekonomi.
Jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 200 juta merupakan potensi besar
dalam pengakumulasian modal dari penggalangan zakat, baik zakat mal maupun
zakat fitrah. Dari zakat fitrah saja, jika dijumlahkan dalam rupiah kurang
lebih 1, 2 trilyun rupiah (7.500 x 160 juta dengan asumsi 80% muslim)
untuk satu kali penarikan. Belum lagi jika kita dapat mengoptimalkan penarikan
dari zakat mal bagi kalangan muslim.
Pajak
adalah pengalihan sebagian kekayaan dari swasta kepada negara melalui
pemerintah sebagai pelaksana atas dasar undang-undang dengan tanpa mendapat
kontraprestasi yang dapat ditunjuk secara langsung dan dananya digunakan sebesar-besarnya
untuk membiayai pembangunan nasional.
Dari
pengertian ini, zakat setidak-tidaknya mengandung tiga dimensi.Pertama,
dimensi pendapatan.Pajak adalah sumber pendapatan negara diantara sumber
pendapatan lainya. Semakin besar sumber ini diterima, maka pembiayaan
pembangunan negara dapat lebih mandiri tanpa harus bergantung pada pihak lain. Kedua,
aspek ekonomi dimana melalui alat kebijakan pajak diharapkan dapat
mengembangkan ekonomi yang berkeadilan dan dapat mengurangi kesenjangan yang
terjadi antar masyarakat dan antar daerah.Ketiga, aspek pendistribusian
kembali pendapatan kepada masyarakat.Melalui pajak yang dipungut dan kemudian
dikembalikan kepada masyarakat (dalam berbagai program pembangunan) sesuai
kebutuhan tanpa melihat asal pajakdiperoleh. Dengan demikian, akan terjadi
pemerataan pembangunan dengan lebih mempertimbangkan tingkat kebutuhan
dan manfaat dari pada harus menggunakan dasar asal sumber pendapatan diperoleh.[4]
4.
Konsep Zakat
Sebagai Pengurang Pajak
a.
Pandangan Ulama
tentang Zakat dan Pajak
Bagi muslim
Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, mereka menanggung dua
kewajiban yaitu zakat dan pajak. Padahal pada zaman Nabi SAW, umat islam
diwajibkan zakat dan kharaj diwajibkan atas non muslim yang tunduk dibawah
peraturan Islam. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana bagi muslim Indonesia
seharusnaya atau sebaiknya menunaikan dua kewajiban tersebut?. Para Ulama
berbeda pandangan mengenai apakah zakat itu identik dengan pajak atau tidak?
Apakah orang yang sudah membayar zakat sudah tidak berkewajiban membayar zakat?
Dari beberapa pandangan
ulama yang ada bisa dipilih menjadi :
1)
Pandamgan yang
menyatakan bahwa zakat dan pajak berbeda, satu sama lain berdiri sendiri dan
tidak bisa disamakan. Zakat harus ditunaikan sebagaimana pajak harus dibayar.
Kebanyakan ulama Indonesia menganut pandangan ini. Mereka antara lain Alie
Yafie.
2)
Berpendapat
bahwa zakat dan pajak hakikatnya sama. Bagi seorang muslim yang meniatkan
pembayaran pajak pemerintah Indonesia sebagai pembayaran zakat sah dan ia pun
dianggap telah menunaikan kewajiban sosialnya terhadap (lewat) Negara. Dengan
demikian, ia juga telah menegakan hak politiknya untuk mengontrol Negara
sebagai sarana penegak kemaslahatan dan keadilan bersama.[5]
Pandangan ini didasrakan pada paradigma berfikir filosofis tentang kehidupan
sosial, bahwa zakat dan pajak diibaratkan sebagai ruh dan badan. Zakat dan
pajak memang berbeda, tapi bukan untuk di pisahkan, apalagi di hadapkan. Oleh
karena itu, barang siapa dari umat beriman yangtelah membayarkan pajaknya
(dengan niat zakat) kepada Negara, maka terpenuhilah kewajiban negaranya.
Sebagai seorang muslim (pasrah kepada Tuhan), ia telah menunaikan tanggyung
jawab sosialnya secara benar dan semestinya. Sebaliknya, seberapapun besarnya
sumbangan atau infaq seorang muslim kepada pihak- pihak tertentu tanpa lewat
otoritas Negara, maka sumbangan itu jatuhnya sedekah biasa (tathawwu’) yang
bersifat ekstra (nafilah) dan tidak bisa menggugurkan kewajiban pajaknya
(sedekah zakat)- nya.
3)
Pendapat Syekh Ulaith
Syekh Ulaith dalam fatwanya dari mazhab Maliki
menyebutkan bahwa seseoarang yang memiliki ternak yang sudah mencapai nisabnya
dan dipungut uang setiap tahunya tetapi tidak atas nama zakat, maka iatidak
boleh berniat zakat dan jika ia berniat zakat maka kewajibannya tidakmenjadi gugur sebagaimana telah diftwakan oleh Nasir al- Hatab.
4) Fatwa
Sayid Rasyid Ridha
Seseorang
yang mempunyai tanah dan telah dipungut uangnya separuh dan seperempat oleh
orang nasrani tidaklah termasuk kewajiban zakat, karena sesungguhnya dari hasil
bumi itu adalah dari harta zakat yang wajib dikeluarkan pada delapan sasaran
(delapan ashnaf) menurutnash, maka bebaslah pemilik tanah dari kewajibanya.
Harta yang dipungut orang nasrani tadi dianggap sebagai pajak dan tidak
menggugurkan wajib zakat, hal ini berarti bahwa pajak tidak dapat dianggap
sebagai zakat.
5)
Fatwa Syakh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang dibicarakan, bahwa
zakat bukanlan pajak. Pada prinsipnya pendapat beliau sama dengan ulama – ulama
yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan sasaranya. Zakat
kewajibab atas Allah sedangkan pajak kewajiban kepada pemerintah (penguasa)[6].
Dari lima pendapat diatas dapat
dipahami bahwa zakat harus dikeluarkan sesudah memenuhi persyaratan, walaupun
seseorang telah membayar pajak. Sebaiknya pajak tetap dipungut walaupun sudah
menunaikan zakat.[7]
6) Menurut K.H. Abdurahman Wahid (Gusdur)
Merasuknya
spirit zakat kedalam rongga badan pajaktidak perlu mengusik ketentraman agama
lain yang mresa tidakmembawakan ajaran itu. Karena, apa yang menjaadi seruan
atau permohonan dari hati ke hati (appeal)- nya adalah:
a)
Hendaknya
rakyat tidak lagi membayar pajak semata- mata kerena takut sanksi negara yang
bersifat lahiriah dan bisa diakali, melainkan justru harus dihayati sebagai
panggilan agama (Illahiyat) yang jika diaabaiakan dapat mengakibatkan sanksi
rohaniyah yang tidak dihindari. Appeal ini sifatnya personal, langsung pada
kesadaran imaniyah dalam lubuk hati masing- masing manusia atau rakyat sebagai
pribadi yang otonom dan independen.
b)
Kepada negara
atau pemerintah sebagai pihak yang diberi wewenang untuk mengelola, hendaknya
tidak lagi beranggapan bahwa uang pajak atau apa saja stilahnya, merupakan uang
rakyat yang cuma- cuma, melainkan adalah amanat Tuhan yang harus di Tasarufkan
untuk menegakan keadilan, terutama bagi kalangna rakyat yang paling tak berdaya
serta ke3sejahteraan bagi semua, apapun agam dan keyakinannya.[8]
b.
Akomodasi zakat
sebagai pengurang pengahsilan kena pajak.
Pajak dan zakat, keduanya merupakan instrumen dana
masyarakat. Pajak dipahami sebagai instrumen penghimpunan dana oleh pemerintah
untuk membiayai jalannya roda pemerintahan, sedangkan zakat dipahami sebagai
instrumen penghimpun dana yang teklah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran bagi
umat islam. Berbeda dengan pajak penggunan dana zakat lebih terbatas. Dengan diberlakukannya
UU Pengelolaan Zakat tahun 1999 dan UU NO. 17 tahun 2000 tentang pajak
penghasilan, maka secara eksplisit diakaui adanya perbedaan antara pajak dan
zakat. Pemberlakuan dua UU tersebut memisahkan dengan tegas antara kewajiban
menunaiakan zakat bagi umat islam, dan kewajiban bagi wajib pajak.
Sampai sekarang, zakatbaru di tetapkan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak (PKP) berdasarkan UU No. 17 tahun 2000. Dalam beberapa
tahun terahir ini, issu zakat sebagai pengurang pajak terus menguat, pasalnya,
zakat memiliki peran yang sama dengan pajak, yaitu untuk mengentaskan
kemiskinan. Karena itu, sebagian masyarakat berpendapat bahwa sudah selayaknya
zakat bisa dijadikan sebagai pengurang pajak.[9]
Sebagaimana dituturkan Noor Aflah, ketua umum Baznas K.H.
Didin Hafiduddin berpandangan bahwa usulan zakat sebagai pengurang pajak
penting direalisasikan, sebab kedua instrumen tersebut memiliki kesamaan, yakni
untuk kepentingan bersama. Bila pemerintah mendorong zakat bisa menjadi
pengurang pajak, maka kedua instrumen tersebut bisa saling mendukung tanpa
harus menjadi beban ganda bagi muslim indonesia.
Jika potensi zakat digali secara maksimal dengan dorongan
pemerintah, maka dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah tidak perlu
berhutang ke luar negeri, sebab, dari zakat profesi (saja) dalam setahun bisa
mencapai trilyun, kata Eri Sudewo.
Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak
(dalam hal ini pajak penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”),
dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang menggantikan UU
38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU
23/2011”). Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal
14 ayat (3) UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa
kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni
kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang
terbaru yakni dalam Pasal 22 UU 23/2011:
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ
dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak
adanya UU No. 17 Tahun
2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, yakni
diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:“Yang
tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat
yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
Dalam ketentuan pasal tersebut baru diatur secara
eksplisit bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas
kewajiban pembayaran sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal
ini memang berpotensi menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang juga diakui
di Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”) pasal
tersebut mengalami perubahan sehingga berbunyi:“Yang dikecualikan dari objek
pajak adalah:bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan
serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
Selain itu, Pasal 1 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto juga menentukan:“Zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto meliputi:
1)
zakat atas
penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam
dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama
Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah; atau
2)
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib
Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam,
yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh Pemerintah.”
Sedangkan, badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011,
yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa
Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen
Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma
Parisad (BDDN YADP) - yang keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga.
Karena semua peraturan yang telah disebutkan di atas
telah berlaku efektif, maka ketentuan pengecualian zakat atau sumbangan
wajib keagamaan dari objek pajak sudah berlaku efektif di Indonesia. Mekanisme pengurangan zakat dari
penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No.
PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti
Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagai berikut:
Pasal 2
1)
Wajib Pajak
yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran
pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
2)
Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a)
dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui
transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM),
dan
b)
paling sedikit
memuat:
Ø
Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
pembayar;
Ø
Jumlah pembayaran;
Ø
Tanggal pembayaran;
Ø
Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
Ø
Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat;
atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti
pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
Ø
Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila
pembayaran melalui transfer rekening bank.
Pasal
3
Zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto apabila :
a.
tidak
dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau
lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b.
bukti
pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2).
Pasal 4
1)
Pengurangan
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib tersebut.
2)
Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan,
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1)
dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.[10]
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menetapkan
20 Badan/Lembaga sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib. Nantinya, zakat atau sumbangan keagamaan ini dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dan bisa dijadikan pengurang pajak.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Dedi Rudaedi dalam
siaran persnya mengatakan, Badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat
atau sumbangan meliputi satu Badan Amil Zakat Nasional, 15 Lembaga Amil Zakat
(LAZ), 3 Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shaaqah (LAZIS) dan 1 Lembaga Sumbangan
Agama Kristen Indonesia.
Ke-20 Badan/Lembaga penerima zakat atau sumbangan itu
adalah sebagai berikut:
1.
Badan
Amil Zakat Nasional
2.
LAZ
Dompet Dhuafa Republika
3.
LAZ
Yayasan Amanah Takaful
4.
LAZ
Pos Keadilan Peduli Umat
5.
LAZ
Yayasan Baitulmaal Muamalat
6.
LAZ
Yayasan Dana Sosial Al Falah
7.
LAZ
Baitul Maal Hidayatullah
8.
LAZ
Persatuan Islam
9.
LAZ
Yayasan Baitul Mal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia
10. LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra
Umat
11. LAZ Dewan Da�wah Islamiyah Indonesia
12. LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat
Indonesia
13. LAZ Yayasan Baitul Maal wat Tamwil
14. LAZ Baituzzakah Pertamina
15. LAZ Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid
(DUDT)
16. LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia
17. LAZIS Muhammadiyah
18. LAZIS Nahdlatul Ulama (LAZIS NU)
19. LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia (LAZIS IPHI)
20. Lembaga Sumbangan Agama Kristen
Indonesia (LEMSAKTI)
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 mengatur bahwa
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto. Zakat itu meliputi penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib
Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/ atau oleh Wajib Pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Selain itu, sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib
Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam,
yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh Pemerintah.
"Dengan penetapan Badan/Lembaga penerima Zakat atau
Sumbangan Keagamaan ini, Direktorat Jenderal Pajak berharap Wajib Pajak dapat
dengan mudah menjalankan kewajiban perpajakannya,"[11]
Jadi jika dilihat dari hak setiap warga Negara untuk
diperlakukan secara adil, juga dilihat dari kacamata keutuhan NKRI, akomodasi
zakat dalam undang-undang pajak penghasilan telah melanggar asas keadilan
pemungutan pajak dan menjadi bibit disintegrasi bangsa, yang lama kelamaan bisa
diibaratkan sebagai bara api dalam sekam, yang setiap saat akan meledak
bagaikan bom waktu.
Meski demikian, realitas yang kita hadapi sekarang adalah
bahwa zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak bagi muslim secara legal
telah disahkan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono pada 20 Agustus 2010 yang
lalu dan sudah mulai berlaku pada 23 agustus 2010. [12]
C.
KESIMPULAN
Zakat adalah hak tertentu yang
diwajibkan Allah terhadap harta kaum muslimin yang di peruntukkan bagi fakir
miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan untuk
mendekatkan diri kepada –Nya serta membersihkan diri dari hartanya. Sedangkan,
pajak menurut para ahli keuangan ialah : kewajiban yang ditetapkan terhadap
wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa
dapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran –
pengeluaran umum disatu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi.
Zakat dan pajak meski keduanya sama-sama
merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang
khusus dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasarannya,
begian serta kadarnya, disamping itu berbeda pula mengenai prinsip tujuan dan
jaminannya.
Berdasarkan
peraturan dan UU yang berlaku di Indonesia zakat memang dapat mengurangi pajak,
karena zakat dikecualikan dari objek pajak. Pengurangan pajak ini juga berlaku
atas sumbangan wajib keagamaan bagi pemeluk agama lain yang diakui di Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dan peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif di
Indonesia, demikian pula dengan mekanisme yang telah diaturnya.
[2]
Supani, M.A., Zakat Di Indonesia Kajian Fikih dan Perundang-undangan,Stain
press Purwokerto, 2010, hlm 175
[3]
Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
hlm.27
[5]
Supani, M.A., Zakat Di Indonesia Kajian Fikih dan Perundang-undangan,Stain
press Purwokerto, 2010, hlm 180
[6] Ali Hasan, Op.cit, hlm.88-89
[7]
Supani, M.A., Zakat Di Indonesia Kajian Fikih dan Perundang-undangan,Purwokerto:Stain
press Purwokerto, 2010, hlm 182
[8]
Ibid..
[9] M. Ali Hasan, zakat dan
infak: salah satu solusi mengatasi
masalah sosial di indonesia, jakarta : kencana, 2006 hlm. 58
[10]
: http://www.pajak.go.id/content/article/kompleksitas-penentuan-tarif-pajak
[12]
Supani, M.A., Zakat Di Indonesia Kajian Fikih dan Perundang-undangan,Stain
press Purwokerto, 2010, hlm 199